Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Inilah Perguruan Tinggi Karya Konglomerat

Tak sedikit perguruan tinggi swasta yang berkembang menjadi pilihan favorit. Salah satu alasannya, pendidikan tinggi swasta ini menghasilkan lulusan "layak pasar": bisa langsung terserap pasar kerja, atau lebih baik lagi, mampu menjadi wirausaha pencipta lapangan kerja. Untuk itulah buku Panduan Memilih Perguruan Tinggi 2010, yang diterbitkan Pusat Data dan Analisa Tempo tahun ini, mengambil tema Universitas Swasta Terbaik.

Seperti biasa, Tempo juga menurunkan laporan panjang untuk "mendampingi" buku tersebut. Topik yang kami pilih adalah perguruan tinggi yang dibangun para konglomerat. Pertimbangannya, para taipan ini sudah memiliki visi jelas untuk bisnis dan pasar. Maka lembaga pendidikan yang mereka dirikan pun tidak jauh dari visi itu, yang tentu saja ditambah dengan misi nonkomersial. Lembaga pendidikan tinggi ini dikenal royal beasiswa terutama kepada si cerdas yang miskin. Beasiswa menjadi bagian dari program tanggung jawab sosial mereka dan pebisnis kolega mereka.

19 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rosyid belum lagi lulus sekolah menengah atas. Namun, karena nilainya cemerlang, siswa Global Islamic School, Condet, Jakarta Timur ini mampu bersaing dengan 5.000 siswa untuk mendapat kursi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Anak tanpa ayah ini lulus, diterima di fakultas teknik elektro melalui jalur prestasi. "Aku senang diterima di kampus ternama itu," katanya.

Sayang, nilai yang moncer saja tak cukup. Langkah Rosyid terhenti lantaran sang ibu tak mampu membayar Rp 40 juta, karena dia mengikuti ujian masuk Penelusuran Bakat Swadana. Sampai pekan lalu, ibu Rosyid belum juga mendapat dana untuk membayar uang muka yang disyaratkan. Kini anak sulung itu masih menunggu tes masuk lewat jalur biasa di Universitas Indonesia, yang biayanya lebih murah. "Ibu saya akan mengusahakan uangnya, jika diterima di UI," katanya.

Yang dialami Rosyid sudah jamak terjadi di negeri ini. Apalagi setelah perguruan tinggi negeri dituntut mandiri dengan diterapkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan pada 2002. Biaya kuliah di universitas negeri di sini melambung ke langit. Meski undang-undang itu sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, 31 Maret lalu, biaya belum tentu turun. Biaya perkuliahan perguruan tinggi swasta juga pasti mahal, yang tak terjangkau oleh anak-anak muda segolongan Rosyid.

Selain biaya kuliah tak terjangkau, perguruan tinggi belum menjamin lulusannya produktif terserap kepasar kerja atau membuka usaha sendiri. Karena persoalannya memang seperti lingkaran setan: lulusan diploma dan perguruan tinggi tak terserap ke pasar karena pasar kerja tak seluas samudra. Data survei tenaga kerja yang dikeluarkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada 2009 makin meyakinkan kita. Ada sekitar 21,2 juta orang masuk sebagai angkatan kerja, 4,1 juta atau 22,2 persen di antaranya pengangguran, yang lebih dari setengahnya lebih dari dua juta orang lulusan diploma dan sarjana.

Lulusan tak terserap pasar, tapi secara keseluruhan jumlah mahasiswa di Indonesia masih sedikit. Rasionya dengan populasi usia kuliah, 19-24 tahun, hanya 18 persen, sedangkan Malaysia 35 persen, Thailand 45 persen, dan Korea Selatan 91 persen. Inilah yang menyebabkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di dunia yang terutama ditentukan tingkat pendidikan di Indonesia masih rendah, yaitu urutan ke-111. Bandingkan dengan Malaysia, yang menduduki posisi ke-24, Thailand ke-36, dan Cina ke-95.

Di antara sengkarut masalah tersebut, ada solusi yang ditawarkan oleh para pengusaha besar, yang mengendalikan konglomerasi. Mereka mendirikan perguruan tinggi yang didesain menjawab dua persoalan besar: lulusan yang tidak siap kerja dan menambah panjang barisan pencari kerja. Perguruan tinggi itu adalah Universitas Ciputra, Surabaya; President University, Cikarang, Jawa Barat; Prasetiya Mulya, Jakarta; Universitas Pelita Harapan, Karawaci, Banten; dan Universitas Ma Chung, Malang, Jawa Timur. Daftar akan segera diperpanjang dengan Putera Sampoerna School of Business, yang akan buka pada September ini.

Lembaga pendidikan tersebut memiliki kesamaan dalam menawarkan model pendidikan: siap kerja di jajaran manajerial, mampu menjadi wirausaha, dan memiliki standar internasional. Yang juga merupakan jawaban konkret, terutama bagi pemuda seperti Rosyid, perguruan tinggi bikinan para taipan ini royal beasiswa. Meski biaya kuliah resminya mahal, mahasiswa bisa kuliah gratis melalui program beasiswa.

Para konglomerat memang menjadikan perguruan tinggi yang mereka dirikan sebagai proyek nonkomersial. Sejarahnya bisa dilacak jauh ke masa lalu, pada 1980. Ketika itu ada ratusan pengusaha besar yang mengikuti Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Pada akhir acara, Sudomo, yang ketika itu menjabat Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, meminta pengusaha meningkatkan rasa nasionalisme dengan memberikan sumbangsih di bidang pendidikan, karena Indonesia kekurangan entrepreneur.

Malam itu, sebelum penataran ditutup, para pengusaha berkumpul dan sepakat mendirikan yayasan pendidikan bisnis. Dana langsung digalang, terkumpul Rp 80an miliar dari sumbangan Liem Sioe Liong, William Soeryadjaya, Eka Tjipta Widjaja, Ciputra, The Nin King, dan Sukanto Tanoto. William Soeryadjaya (almarhum) spontan memberikan tanahnya di Cilandak, Jakarta Selatan. Nama sekolah Prasetiya Mulya diberikan presiden saat itu, Soeharto, yang artinya janji mulia.

Pada prakteknya kemudian, para pengusaha sulit mendapat izin mendirikan perguruan tinggi. Bahkan ada yang sampai "membeli" sekolah yang sudah sekarat hingga Rp 150 miliar. Namun, setelah reformasi 1998, perizinan lebih mudah dan masuk akal. Paling tidak hal itu dijamin Wakil Menteri Pendidikan Fasli Jalal.

Menurut Fasli, banyak unsur positif bila para taipan ini mendirikan perguruan tinggi. Konsultan pendidikan dari Universitas Melbourne, Australia, Profesor Nasser Spear, juga sepakat. Pembangunan universitas yang berbasis bisnis akan membuat perubahan pada sistem pendidikan. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga akan berkontribusi untuk dunia. "Jangka panjangnya membuat perubahan, menjadi inovatif, kreatif, sekaligus berharga di mata para pemegang saham," kata Spear, konsultan untuk Putera Sampoerna School of Business.

Materi ajar mereka untuk bidang bisnis lebih tepat sasaran, karena pas dengan kondisi riil, yang sering jauh dari teori. Menurut Spear, dalam mata kuliah akunting, misalnya, akan diberikan kasus perusahaan yang tumbang karena manipulasi akuntansi. "Para siswa diajari mengerti sifat bisnis beserta segala tekanan yang diterimanya, mulai pasar hingga pemegang saham," ujarnya.

Tujuannya agar para mahasiswa mengerti ihwal penanganan perusahaan (corporate governance) bahkan sebelum mengerti asas-asas dasarnya seperti yang diajarkan dalam teori. Yang berharga, mahasiswa mendapat kesempatan kuliah umum dari para konglomerat atau pengusaha lain, mitra bisnis pendiri perguruan tinggi.

Cerita pengalaman berbisnis para konglomerat pendiri pendidikan tinggi seperti Ciputra, keluarga Bakrie, Mochtar Riady, Sofjan Wanandi, dan Setyono Djuandi Darmono pasti sangat inspiratif. Satu kesamaan mimpi mereka: mencetak lebih banyak wirausaha. Seperti pendapat sosiolog David McClelland: suatu negara bisa makmur bila terdapat entrepreneur setidaknya 2 persen dari jumlah penduduk. Singapura kini miliki 7,2 persen entrepreneur, sedangkan di Indonesia baru ada 0,18 persen. Kita tertinggal jauh.


Tim Liputan Khusus Perguruan Tinggi 2010

Penanggung Jawab: Bina Bektiati.

Koordinator : Ahmad Taufik.

Penulis: Ahmad Taufik, Gunanto, Harun Mahbub, Rini K., Rudy Prasetyo, R.R.Ariyani, Yuliawati.

Reporter: Rochman Taufiq (Surabaya), Abdi Purmono (Malang).

Editor: Bina Bektiati, L.R. Baskoro, Nugroho Dewanto, Purwanto Setiadi.

Editor Bahasa: Uu Suhardi, Kartika Teguh W., Sapto Nugraho

Fotografer: Donang Wahyu (Koordinator), Arnold SImanjuntak, Jacky Rachmansyah, Suryo Wibowo.

Desain: Eko Punto, Gilang Rahadian, Ajibon, Kiagus, Hendy Prakarsa, Agus Darmawan, Triwatno W.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus