Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERUSUHAN di Pulau Rempang pada Kamis, 7 September lalu, dan di kantor Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam), Senin, 11 September lalu, membuat Tomy Winata mempercepat kunjungannya di Eropa. Seharusnya pengusaha 65 tahun pendiri Artha Graha Network itu baru pulang pada Sabtu, 16 September lalu. Tomy pulang tiga hari lebih cepat. Para investor pelbagai negara menanyakan perihal bentrokan polisi dengan penduduk yang menolak relokasi untuk pembangunan Rempang Eco-City itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anak usaha Artha Graha, PT Makmur Elok Graha, menjadi pemegang konsesi pembangunan pusat bisnis, industri, perumahan, dan pariwisata di pulau seluas 16.583 hektare itu sejak 2001. Tomy yang melawat ke Eropa sejak Kamis, 7 September lalu, juga menawarkan proyek ini kepada sejumlah investor di beberapa negara. Salah satunya, Tomy berpresentasi soal Rempang Eco-City di depan pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang Belanda.
Tomy bercerita, ada satu investor Belanda yang menyatakan minat menanamkan modalnya di Pulau Rempang. “Tapi kalau jadi ramai mungkin dia akan mundur,” ucapnya kepada Tempo pada Kamis, 14 September lalu. "Ramai" yang dimaksud Tomy adalah keributan penolakan masyarakat atas pengosongan pulau yang dihuni sekitar 7.500 penduduk itu. (Baca wawancara Tomy Winata: Ini Hanya Miskomunikasi)
Bentrok warga Pulau Rempang dengan aparat kepolisian , 7 September 2023/Dok. BP Batam
Sebagian besar warga Pulau Rempang yang menghuni 12 kampung tua menolak relokasi ke Pulau Galang—40 kilometer dari Pulau Rempang yang terhubung dengan Jembatan 5 Barelang. BP Batam, pengelola Pulau Rempang, menolak tuntutan masyarakat atas hak kepemilikan lahan. BP Batam mengirim polisi untuk mengosongkan pulau tersebut setelah dua bulan sosialisasi relokasi tak membawa hasil.
Pasukan gabungan Brigade Mobil Kepolisian Daerah Kepulauan Riau dan Tentara Nasional Indonesia merangsek masuk ke tiga kampung tua. Penghuni Rempang menghadang polisi dengan menutup jalan masuk ke perkampungan. Polisi membalasnya dengan menembakkan gas air mata. Sekitar 20 orang terluka akibat bentrokan itu.
Rusuh kembali terjadi pada Senin, 11 September lalu. Ribuan penduduk kampung berunjuk rasa di kantor BP Batam. Polisi menangkap 43 orang yang dituduh merusak kantor BP Batam. Kepala Kepolisian Resor Kota Barelang Komisaris Besar Nugroho Tri Nuryanto mengatakan polisi masih memburu aktor utama kerusuhan yang menjadi provokator. “Tiga koordinator lapangan aksi itu saya minta menyerahkan diri,” tuturnya. (Baca suasana Pulau Rempang setelah kerusuhan: Di Rumah Takut, Melaut Kalut)
Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam yang rusak akibat aksi unjuk rasa warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, 11 September 2023/Antara/Teguh Prihatna
Tomy Winata mengaku sempat kewalahan meladeni pertanyaan sejumlah pengusaha yang ingin mengetahui situasi mutakhir di Pulau Rempang. Manajemen Xinyi, perusahaan Cina yang hendak membangun pabrik kaca terbesar kedua di dunia di Pulau Rempang, salah satu yang mengontak Tomy. Ia berusaha meyakinkan situasi Rempang masih terkendali. “Sejauh ini semua investor masih berkomitmen melanjutkan rencana bisnis di Rempang,” ucapnya.
Tomy menjelaskan, ada 12 perusahaan dunia yang tertarik membangun di Rempang bersama perusahaannya. Ia membantah kabar bahwa operasi pengosongan polisi dijalankan atas permintaannya. “Status lahan Rempang masih berada di BP Batam,” katanya. “Kami baru menggarap setelah serah-terima lahan.”
Tomy mengklaim sudah meminta BP Batam dan polisi tak melakukan kekerasan dalam pengosongan Pulau Rempang. Soalnya, dia menambahkan, para investor butuh kenyamanan. Karena itu, ketika kerusuhan meletus, koleganya yang sudah ia bujuk berinvestasi di Rempang bertanya ihwal kekacauan itu. Menurut Tomy, nilai investasi di Rempang mencapai hampir Rp 400 triliun. “Sedikitnya menyerap 35 ribu tenaga kerja,” ujarnya.
Pengembangan kawasan Pulau Rempang lahir dari gagasan Bacharuddin Jusuf Habibie sewaktu menjabat Menteri Riset dan Teknologi pada 1992. Habibie berhasrat mengoneksikan Singapura-Johor-Riau atau Sijori dengan membangun enam jembatan yang menghubungkan enam pulau di sekitar Batam. Totalnya ada 39 pulau yang masuk kawasan berikat Badan Otorita Batam.
Pada 2001, BP Batam menunjuk PT Makmur Elok Graha sebagai pemilik konsesi Pulau Rempang sebagai kawasan wisata terpadu eksklusif. Nota kesepakatan antara BP Batam dan PT Makmur Elok pada 2004 menyebutkan anak usaha Grup Artha Graha tersebut berhak atas pengelolaan pulau itu selama 80 tahun.
Izin perpanjangan kawasan harus diurus PT Makmur Elok menjelang tahun ke-20 dan bisa diperpanjang lagi pada tahun ke-50. Kepala BP Batam Muhammad Rudi mengatakan pemerintah ingin mempercepat pengosongan lahan lantaran PT Makmur sudah mengantongi komitmen investasi dengan banyak pengusaha. “Ibarat rumah, kalau mau dijual ke orang lain kan harus kosong,” ucap Rudi, yang juga menjabat Wali Kota Batam. (Baca wawancara Kepala BP Batam: Pengosongan Pulau Rempang Perintah Pemerintah Pusat)
Tomy Winata di Tambling Wildlife Nature Conservation/Dok. Tambling Wildlife Nature Conservation
Rudi mengatakan pulau itu belum bisa diserahkan kepada PT Makmur Elok lantaran masih dihuni oleh 2.700 keluarga. Pemerintah berencana merelokasi mereka dengan kompensasi lahan pengganti bagi tiap keluarga seluas 500 meter persegi di Pulau Galang. Setiap keluarga juga akan mendapat rumah seluas 45 meter persegi. Selama masa pembangunan, pemerintah menyediakan rumah susun di Pulau Batam untuk hunian sementara. “Opsi lain, kami berikan uang untuk menyewa rumah,” tutur Rudi.
Dalam rencana BP Batam, pengosongan Pulau Rempang dilakukan secara bertahap. Tahap awal adalah relokasi penghuni Kampung Sembulang Hulu, Sembulang Hilir, dan Pasir Panjang. Ketiga kampung itu berdekatan dan menempati area 2.000 hektare. Di tiga kampung tua ini Xinyi bakal membangun pabrik kaca dan panel surya. “Jadi yang direlokasi sekarang bukan seluruh kampung, cuma sebagian,” ucap Rudi.
•••
kABAR mengenai pembangunan Pulau Rempang menghangat setelah kunjungan Presiden Joko Widodo ke Chengdu, Cina, pada 27-28 Juli lalu. Selain bertemu dengan Presiden Cina Xi Jinping, delegasi Indonesia yang diikuti sejumlah menteri ekonomi kabinet Jokowi menjajaki peluang bisnis dengan sejumlah pengusaha.
Peluang bisnis tersebut menyasar kerja sama pembangunan industri bidang petrokimia, energi terbarukan, dan kesehatan. Sepulang dari Cina, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengumbar kabar gembira lewat keterangan pers. Dia mengungkapkan, pertemuan itu berhasil menjaring komitmen investasi senilai US$ 11,5 miliar. “Saya ingin menyampaikan oleh-oleh yang paling paten. Hari ini Presiden menyaksikan penandatanganan nota kesepakatan dengan Xinyi,” katanya.
Xinyi Glass Holdings Limited adalah produsen kaca terbesar di dunia yang menguasai 26 persen pangsa pasar. Bahlil menjelaskan, pemerintah bersedia memfasilitasi kebutuhan lahan untuk pembangunan pabrik baru di Pulau Rempang. Xinyi berminat menanamkan investasi karena Indonesia memiliki pasir kuarsa dan silika sebagai bahan baku kaca. “Sekitar 90 persen hasil produksi untuk kebutuhan ekspor, sisanya untuk dalam negeri,” ujarnya Bahlil.
Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo berbincang degan Presiden Xi Jinping di Chengdu, Cina, 27 Juli 2023/BPMI Setpres
Rencana investasi Xinyi disambut Kementerian Koordinator Perekonomian. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto memasukkan Rempang Eco-City ke daftar proyek strategis nasional. Rempang dinyatakan sebagai Program Pengembangan Kawasan Eco-City melalui Peraturan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 pada Rabu, 28 Agustus lalu. (Baca Profil Xinyi Glass Limited: Asa Pabrik Kaca Raksasa)
Beberapa bulan sebelumnya, Menteri Airlangga juga menyurati Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional guna memuluskan rencana proyek tersebut. Surat tertanggal 4 Mei 2023 itu memuat permintaan agar Kementerian Agraria mendukung percepatan pengembangan kawasan Rempang sesuai dengan kewenangannya. Pemerintah ingin memperjelas status penguasaan lahan di pulau tersebut.
Menteri Agraria dan Tata Ruang Hadi Tjahjanto menjawab surat itu lewat warkat bernomor B/PF.01/1404/V/2023 tanggal 26 Mei 2023. Dia menerangkan, penataan wilayah Rempang merujuk pada rencana tata ruang yang diterbitkan pemerintah Kepulauan Riau dan Kota Batam. Pengembangan Pulau Rempang diproyeksikan sebagai kawasan wisata berbasis perdagangan, jasa, maritim, logistik, dan industri bertaraf internasional.
Hasil pendataan menyebutkan Pulau Rempang masih berstatus hutan lindung, hutan produksi, hutan produksi terbatas, hutan produksi yang dapat dikonversi, dan kawasan suaka alam. Hadi mendukung penataan kawasan itu di bawah kendali PT Makmur Elok Graha. Untuk itu, ia meminta perusahaan milik Tomy Winata tersebut berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan guna mendapatkan pelepasan status kawasan hutan.
Karena itu, Menteri Hadi menolak klaim ribuan penduduk Pulau Rempang atas penguasaan lahan di pulau ini. Menurut dia, tak satu penduduk pun mengantongi bukti kepemilikan lahan. Legalitas lahan baru diterbitkan Kementerian Agraria untuk PT Makmur Elok Graha melalui surat hak pengelolaan lahan seluas 600 hektare pada April lalu. “Masyarakat tidak satu pun yang memiliki sertifikat,” ujarnya saat menghadiri rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kepala BP Batam Muhammad Rudi menambahkan, dari hampir 17 ribu hektare luas Pulau Rempang, seluas 10 ribu hektare berstatus kawasan hutan. BP Batam akan menyerahkan lahan yang berstatus hak pengelolaan itu jika relokasi penduduk sudah selesai. “Jika sudah ada serah-terima, pemerintah baru bisa menarik sewa lahan dari PT Makmur,” ucapnya.
Kewajiban retribusi ini juga yang membuat PT Makmur Elok pernah terseret urusan hukum. Pada 2007, Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa pemilik PT Makmur Elok, Tomy Winata. Polisi menduga kerja sama BP Batam dengan PT Makmur Elok Graha merugikan negara Rp 3,6 triliun. Potensi kerugian terlihat dari perjanjian keduanya dengan nomor 66 yang diteken pada 26 Agustus 2004.
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia (kiri) bersama CEO Xinyi Group Gerry Tung dalam kunjungan kerja ke fasilitas produksi Xinyi Group di Wuhu, Cina, 18 Juli 2023/Antara/HO-Kementerian Investasi/BKPM
Dalam akta itu tertera bahwa kesepakatan BP Batam dan PT Makmur Elok tidak berdampak secara finansial bagi perusahaan. Padahal lahan Rempang ditujukan untuk kawasan wisata dengan tarif sewa Rp 21.750 per meter persegi. Ini berarti PT Makmur Elok bisa mendulang rezeki lebih dulu untuk membiaya pembangunan kawasan Rempang. Ketika dimintai konfirmasi, Tomy menilai kesepakatan itu belum jadi masalah hukum. “Kan, belum ada serah-terima?” tuturnya.
Perjanjian yang ditandatangani notaris Nurhayati Suryasumirat itu mengungkap PT Makmur Elok tak hanya menguasai Pulau Rempang, tapi juga Pulau Setoko dan Pulau Galang, yang dulu dihuni pengungsi Vietnam, sebagai kawasan penyangga. Luas setiap pulau sekitar 300 hektare. Di atas lahan itu, dalam rencana bisnis, PT Makmur Elok berencana membangun gelanggang bola ketangkasan, gelanggang mekanik dan elektronik, panti pijat, klub malam, diskotek, dan tempat karaoke.
Menurut Tomy Winata, akta itu masih berlaku. Hanya, ia membantah kabar bahwa pengembangan kawasan itu ditujukan untuk arena perjudian. PT Makmur Elok, Tomy mengimbuhkan, punya rencana baru mengembangkan Pulau Rempang sebagai kawasan hijau terpadu. Selain untuk industri, di dalamnya juga akan dibangun pusat perkantoran, tempat wisata, dan hunian. Tomy berjanji tidak akan mengokupasi seluruh kawasan pulau. “Yang kami pakai cuma 25 persen,” katanya.
•••
RENCANA pembangunan Pulau Rempang memaksa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merevisi sejumlah putusan. Dalam rapat kerja dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pada Senin, 12 Juni lalu, Komisi Kehutanan Dewan Perwakilan Rakyat mencecar Siti dengan pertanyaan soal penerbitan izin pelepasan kawasan hutan kepada PT Camel Asia Internasional.
Perusahaan biofarmasi itu mendapat konsesi di Pulau Rempang seluas 148 hektare pada 2021. Belakangan, terungkap surat pelepasan lahan hutan itu cacat hukum. Pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan seharusnya untuk BP Batam sebagai pengelola, bukan kepada perusahaan yang menjalin kerja sama. Menteri Siti akhirnya membatalkan pelepasan lahan itu pada Selasa, 20 Juni lalu. Tapi dia menolak menjelaskan kekeliruan itu. “Aku enggak mau ngomong soal itu. Nanti aku bikin tertulis saja,” ujarnya.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. mengatakan pembatalan surat keputusan pelepasan kawasan hutan juga dilakukan terhadap lima perusahaan lain di pulau ini. Alasannya, pelepasan lahan mengabaikan kerja sama BP Batam dengan PT Makmur Elok. “Ternyata lahan itu sudah ditempati masyarakat,” katanya.
Mahfud mengatakan sudah meminta anak buahnya menyelisik legalitas penguasaan lahan Pulau Rempang. Konflik tanah di Pulau Rempang, Mahfud melanjutkan, bukan lagi urusan legalitas lahan, melainkan proses pengosongannya. Karena itu, ia meminta PT Makmur Elok berdialog dengan penduduk Pulau Rempang guna membicarakan kompensasi uang kerahiman, bukan ganti rugi. “Jangan sampai ada kekerasan,” tuturnya.
Permintaan Mahfud seputar penyelesaian status lahan di Pulau Rempang jauh panggang dari arang. Menjelang rencana pengosongan besar-besaran pada 28 September nanti, polisi melapis kekuatan pengamanan dengan mengerahkan empat kompi personel Brigade Mobil. Panglima Tentara Nasional Indonesia Laksamana Yudo Margono akan turun tangan jika polisi tak sanggup menangani protes masyarakat yang anarkistis. “Kalo ada seribu, kita kirim seribu orang. Kami piting satu per satu,” ucapnya dalam video yang ditayangkan Pusat Penerangan TNI.
Naharuddin, warga Tanjung Banon, Kelurahan Sembulang, menyesalkan ancaman itu. Menurut laki-laki 79 tahun ini, penghuni pulau Rempang layak mendapat pengakuan karena menempati Pulau Rempang jauh sebelum pemerintah menetapkan rencana pengembangan kawasan Barelang. Kartu tanda penduduk milik kakak kandungnya, Siah, bahkan tercatat lahir di Sembulang pada 1934.
Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang, di Pulau Rempang, tampak sepi karena pasca terjadi bentrokan dengan aparat keamanan, warga memilih untuk berkumpul dan tak banyak beraktivitas, 14 September 2023/Tempo/Egi Adyatama
Batu nisan bertulisan tahun kematian 1953 juga menguatkan keberadaan penghuni kampung tersebut sejak dulu. Kehadiran Jepang pada masa awal kemerdekaan Indonesia juga tercatat di Sembulang. Di salah satu sudut kampung, terpacak sebuah monumen kecil yang menyebutkan nama 112.708 warga Jepang. Mereka singgah di Rempang pada 1945-1946 sebelum dipulangkan ke negara mereka.
Laporan P. Wink menguatkan keberadaan penduduk Pulau Rempang yang sudah lama di sana. Dalam tulisan “Sebuah Kunjungan ke Orang Darat di Pulau Rempang” dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkunde, Deel LXX Aflevering I, edisi 12 Februari 1930, pejabat pemerintah kolonial Belanda di Tanjungpinang itu melaporkan keberadaan penduduk Pulau Rempang yang ia sebut sebagai “orang darat” atau “orang utan”. Menurut Wink, penduduk membangun kampung-kampung di Pulau Rempang sejak abad ke-19.
Tanjung Banon, Naharuddin menambahkan, merupakan bagian dari 16 kampung tua di Pulau Rempang. Penghuni kampung itu umumnya hidup dengan mengandalkan hasil tangkapan ikan. Sebagian kecil menekuni pekerjaan sebagai peternak, petambak udang, dan menggarap kebun. Rempang dulu tergabung dengan wilayah Tanjungpinang. Selepas penerbitan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1992, pulau itu dikelola BP Batam. (Baca kolom Bivitri Susanti: Problem Hak Menguasai oleh Negara)
Naharuddin mengaku resah mendengar rencana pengosongan tanah kelahirannya. Sejak kabar itu berembus dua bulan lalu, tidurnya tak lagi nyenyak. “Jantung sering berdebar,” ucapnya. Ia menolak tawaran relokasi meski rumah yang ia tempati di Pulau Rempang tak layak huni. “Meski buruk begini, tak mengapa,” katanya. “Kami masih bisa makan sehari-hari dari hasil alam.”
Awang Cik, mantan Camat Tanjung Banon, mengatakan status administrasi lahan penduduk Pulau Rempang selama ini tak pernah jelas. Alas hak yang mereka miliki sebatas surat keterangan tanah yang diterbitkan kepala desa setempat. Upaya masyarakat memperjelas status tanah pun tak pernah berhasil. “Kami selalu menanyakan status tanah ini ke kantor pertahanan. Selalu dijawab status quo. Padahal kami bayar pajak tanah juga,” tutur Awang.
Ketidakjelasan status tanah di Pulau Rempang ini menjadi masalah saat pembersihan dari hunian masyarakat. Kepolisian Daerah Riau memeriksa penduduk Sembulang pada awal Agustus lalu dengan tuduhan penyerobotan lahan. Penduduk yang diperiksa polisi mengaku mendapat intimidasi dan paksaan menyerahkan lahan rumah dan kebun mereka secara sukarela.
Doni, warga Sembulang yang namanya disamarkan, memenuhi panggilan penyidikan polisi Riau. Saat pemeriksaan ia diminta menandatangani kesepakatan pelepasan lahan. “Kalau tak mau tanda tangan, saya akan disidang dan pasti kalah,” ujarnya. Dia berkukuh menolak menandatangani klausul itu. Doni setuju jika BP Batam mengambil sebagian lahannya untuk Rempang Eco-City. “Kalau semuanya, saya tak mau,” katanya.
Naharuddin (79 tahun) melihat dari Jendela masjid tempat dia tinggal di kampung Tanjung Banon, Sembulang, Pulau Rempang , 12 September 2023. Naharudin salah satu yang menolak relokasi/Tempo/Yogi Eka Sahputra
Direktur Utama PT Makmur Elok Graha Nuraini Setiawati tak menampik keberadaan penduduk di 16 kampung tua di Pulau Rempang. Ketika perusahaannya memperoleh konsesi pada 2001, Pulau Rempang sudah dihuni sekitar 300 keluarga. Selama 20 tahun lebih, jumlah penduduk di pulau ini makin banyak. “Ada yang membuka usaha peternakan dan tambak,” ujarnya.
Lembaga Bantuan Hukum Ansor Batam menerima permintaan advokasi delapan warga Sembulang yang mempertahankan lahan mereka. Menurut Sekretaris LBH Ansor Batam Sholihul Abidin, selain menemani pemeriksaan di kepolisian, tim hukum LBH Ansor Batam mendampingi warga Pulau Rempang di rumah mereka ketika didatangi polisi. “Intimidasi seperti ini menjadi alat paksa warga untuk meninggalkan kampung halaman mereka,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Fajar Pebrianto, Aisha Shaidra, Rini Rahayu dari Jakarta, Yogi Eka Sahputra dari Batam, dan Egi Adyatama dari Rempang berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Setelah Jokowi Bertemu Xi Jinping"