Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KANTOR Kecamatan Galang di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, yang biasanya sepi selepas sore, ramai oleh lalu-lalang orang pada Selasa, 12 September lalu. Truk dan mobil bertulisan "BP Batam" serta mobil polisi berjejer parkir di halamannya. Polisi dan tentara berseragam keluar-masuk kantor. Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) menjadikan kantor Kecamatan Galang sebagai pos utama sosialisasi proyek Rempang Eco-City.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di jalan yang menghubungkan kantor kecamatan dengan perkampungan terdapat empat pos darurat yang dijaga polisi dan tentara. Melalui jalan itu petugas BP Batam menumpang mobil dengan pengawalan polisi mendatangi rumah-rumah penduduk guna mensosialisasi relokasi. “Kampung jadi seperti daerah operasi militer,” kata Hardi kepada Tempo, Rabu, 13 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hardi, 67 tahun, menjabat Ketua Rukun Warga 002 Kelurahan Sembulang. Ia sudah 30 tahun tinggal di kelurahan ini. Dia mengungkapkan, kedatangan polisi dan tentara ke kampungnya membuat suasana mencekam karena, selain mendampingi petugas BP Batam, polisi berkeliling kampung memakai mobil double cabin. “Saya muak kampung saya jadi begini,” ucapnya.
Polisi dan tentara datang mengawal petugas BP Batam setelah terjadi bentrokan polisi dengan penduduk kampung itu pada Rabu, 7 September lalu. Perkampungan-perkampungan tua di Pulau Rempang yang ada sejak abad ke-18 akan dijadikan area Rempang Eco-City, pusat ekonomi yang berisi aneka pabrik, perumahan, dan industri, sehingga harus kosong dari permukiman.
Suasana sepi di SD Negeri 024 Galang, 8 September 2023./Tempo/ Yogi Eka Sahputra
Penduduk Pulau Rempang menolak pindah. Mereka merasa tak mendapat sosialisasi ihwal rencana BP Batam itu. Pemaksaan aparat dan penolakan penduduk membuat bentrokan tak terhindarkan. Untuk menghalau hadangan massa, polisi menembakkan gas air mata.
Bentrokan terjadi sepanjang Jalan Trans-Barelang. Setidaknya 20 orang terluka, 8 penduduk ditangkap, dan 7 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka kerusuhan oleh Kepolisian Daerah Kepulauan Riau. Bentrokan itu membuat anak-anak Sekolah Menengah Pertama Negeri 022 Batam—yang tak jauh dari lokasi kerusuhan—mengalami trauma.
Salah satunya Ahmad Dani. Siswa kelas IX ini berlari ke bukit di belakang sekolah bersama teman-temannya untuk menghindari gas air mata. Sewaktu lari ke bukit, di tengah ketakutannya yang sangat mencekam karena kerusuhan itu, ia membantu seorang ibu yang membopong bayi kembar untuk menghindari gas air mata. “Saya lihat napas bayi itu sudah pendek-pendek,” tuturnya pada Rabu, 13 September lalu.
Sejak hari rusuh itu, Dani menolak ke sekolah. Dinas Pendidikan Batam memang menghentikan kegiatan belajar-mengajar di SMP Negeri 022. Tapi hanya dua hari. Dani tak mau pergi ke sekolah meski kelas dibuka lagi pada Senin, 11 September lalu. Di jalan, setelah kerusuhan itu, polisi masih berpatroli. “Saya bilang ke bapaknya, anak kita trauma,” ucap Sarinah, ibu Dani. Setelah dibujuk, Dani baru mau ke sekolah esoknya.
Trauma juga menghinggapi para siswa Sekolah Dasar Negeri 024 Galang yang berada di seberang SMP Negeri 022. Sekolah ini juga ditutup setelah kerusuhan pecah dan baru buka kembali pada Senin, 11 September lalu. Tapi, dari 324 siswa, hanya dua siswa yang hadir dengan diantar orang tua mereka. “Kata orang-orang tua siswa, anak-anak benar-benar ketakutan kembali ke sekolah,” ujar Syafri, Kepala SD Negeri 024 Galang. “Sewaktu rusuh, kami dengar tembakan, jeritan, dan orang berlarian.”
Di perkampungan, meski sepi, suasananya lebih mencekam. Penduduk berkumpul di satu rumah dan mengawasi siapa saja, terutama wajah asing, yang melintas di jalan. Wartawan Tempo yang datang ke kelurahan ini pada Selasa, 12 September lalu, juga tak luput dari pandangan penduduk yang penuh curiga. “Soalnya ada kabar polisi sedang mencari siapa saja yang ikut demonstrasi kemarin,” kata Amran, warga Sembulang.
Demonstrasi yang dimaksud Amran adalah unjuk rasa penduduk Pulau Rempang di kantor BP Batam pada Senin, 11 September lalu. Seperti penolakan masyarakat terhadap relokasi empat hari sebelumnya, unjuk rasa hari itu juga berakhir ricuh. Polisi menangkap 43 orang. Setelah kerusuhan itu terjadi, makin banyak polisi yang datang ke kampung-kampung tua mencari penduduk yang ikut berdemonstrasi.
Kedatangan polisi dan tentara dalam jumlah yang makin banyak setelah dua bentrokan itu membuat penduduk Pulau Rempang tak berani tinggal di rumah sendiri. “Tak tenang hati ini,” tutur Zainab, 63 tahun, penduduk Sembulang. Ia mengaku takut rumahnya didatangi BP Batam yang membawa polisi dan dipaksa menandatangani surat persetujuan relokasi. Sejak dua bulan lalu, Zainab tak lagi berjualan kue.
Para lelaki juga tak melaut. Yudi, salah seorang pelaut di sana, mengaku waktu melautnya makin pendek dalam dua bulan terakhir. Ia hanya satu-dua jam di laut mencari ikan. Sejak dua bulan itu, Yudi menambahkan, penduduk kampung mendengar BP Batam akan menggusur rumah mereka secara paksa. “Kalau ditinggal melaut, takut tiba-tiba rumah sudah tak ada,” kata nelayan 66 tahun ini. Setelah kerusuhan pecah, Yudi stop menjala ikan.
Yudi sudah melaut sejak berusia 10 tahun mengikuti ayahnya. Rumah yang ia tinggali bersama keluarganya adalah hasil jerih payahnya sebagai nelayan Batam. Karena waswas menjala ikan, Yudi hanya ke kebun kelapa di lahan peninggalan ibunya yang tak jauh dari Kampung Sembulang. Di kebun, ia juga tak berlama-lama karena cemas petugas BP Batam mendatangi rumahnya.
Petugas BP Batam memang kian agresif mendatangi rumah penduduk di Pulau Rempang yang dihuni warga 16 kampung tua. Jumlah pendata sebanyak 120 orang dan terbagi menjadi 10 tim. Mereka membujuk penduduk mengisi daftar kesediaan relokasi ke Pulau Galang, yang dihubungkan Jembatan 5 Barelang. BP Batam menyediakan lahan seluas 450 hektare di daerah Dapur III—40 kilometer dari Sembulang—untuk menampung 7.500 penduduk Pulau Rempang.
Saat disambangi Tempo, lokasi itu masih berupa hutan. Jalan masuk menuju ke sana belum jadi. “Bagaimana kami mau terima relokasi kalau tempatnya saja belum dibangun?” ujar Hardi. Tawaran hunian sementara di rumah susun dan menyewa rumah dengan biaya pemerintah plus uang makan Rp 1,2 juta sebulan per keluarga tak membuat penduduk Rempang tertarik.
Kantor Kecamatan Galang, Batam, Kepulauan Riau, dipadati mobil kepolisian setelah menjadi posko BP Batam untuk sosialisasi proyek Rempang Eco-City, 14 September 2023./Tempo/Egi Adyatama
Kepala BP Batam Muhammad Rudi menjamin pembangunan rumah di Pulau Galang akan segera mereka garap. “Kami akan membayar masyarakat sampai rumah permanen selesai,” tuturnya. Karena itu, sosialisasi relokasi makin gencar.
Ketua Satuan Gabungan Tugas Tim Percepatan Pembangunan Rempang Eco-City Harlas Buana tidak membantah kabar bahwa ada penolakan dari masyarakat terhadap relokasi. Untuk mempercepatnya, Harlas memberi tenggat 28 September mendatang. Ia menargetkan 650 keluarga di Sembulang menandatangani kesediaan pindah.
Saat sosialisasi digelar, petugas BP Batam juga memberi waktu sepekan kepada penduduk Pulau Rempang mengosongkan lahan mereka. “Tanggal 28 September Pulau Rempang harus clean and clear untuk diserahkan kepada pengembang,” ucap Kepala Kepolisian Resor Kota Barelang Komisaris Besar Nugroho Tri Nuryanto.
Makin kencang BP Batam meminta penduduk pindah, warga Sembulang makin berkeras. Naharuddin, warga kampung ini, mengatakan ia dan tetangganya tak menolak pembangunan Rempang Eco-City di sekujur pulau seluas 16.583 hektare tersebut. Mereka hanya menolak relokasi karena penghidupan mereka berada di Pulau Rempang. “Buat apa rumah bagus kalau hati tak tenang?” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Yogi Eka Sahputra dari Batam berkontribusi dalam penulisan artikel ini "Di Rumah Takut, Melaut Kalut"