Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TRAGEDI enam tahun lalu itu masih membayanginya. Bambang Triyanto baru bekerja tiga minggu di Hotel JW Marriott, Mega Kuningan, Jakarta. Bom dengan daya ledak tinggi mengoyak hotel bintang lima itu pada 5 Agustus 2003.
Bambang istirahat total, dan menjalani sembilan operasi selama setahun. Tangan, kaki, dan punggungnya masih menyimpan bekas luka akibat ledakan itu.
Pria 30 tahun itu kembali bekerja sebagai anggota satuan pengaman Hotel JW Marriott. Jumat pekan lalu, ia giliran tugas pagi. Ia mengucap salam kepada ibunya dan berangkat dari rumahnya di Kebayoran Lama dengan kendaraan umum. Tak ada firasat apa pun. Semuanya berlangsung seperti biasa.
Menjelang pukul 08.00, ketika ia berpatroli di lantai dua, ledakan itu mendegam lagi. Lantai bergetar. Kaca jendela bersetai-setai. Ruangan gelap, penuh asap dan debu. Bambang lintang-pukang menuju tangga darurat, tanpa menoleh kanan-kiri.
Tangga darurat itu membawa Bambang ke pintu belakang gedung. Ia lalu dibawa ke Rumah Sakit Jakarta, sesak napas dan pusing karena terlalu banyak menghirup asap. Setelah di-roentgen, ternyata paru-parunya normal.
Bambang hanya mengalami luka bakar ringan di sikunya. Seperti enam tahun lalu, ia tak berpikir berhenti kerja atau pindah dari tempatnya sekarang. ”Saya harus kerja. Nanti enggak makan, dong,” katanya.
Dadang Hidayat juga mengalami dua kali ledakan di JW Marriott. Enam tahun lalu, supervisor Restoran Sailendra ini tak cedera karena sedang melakukan salat zuhur di ruangan yang cukup jauh dari lokasi ledakan.
Ledakan sekarang hanya beberapa meter dari batang hidungnya. Pria asal Bogor ini mengalami luka bakar di sekitar wajah dan bahu. Sabtu pekan lalu, Dadang masih dalam perawatan di Rumah Sakit Pertamina.
I Gusti Ayu Darsini, 63 tahun, menginap di Hotel JW Marriott sejak Rabu pekan lalu. Ia menemani suaminya, I Gusti Agung Rai, anggota Badan Pemeriksa Keuangan, yang mengikuti seminar tentang korupsi dan pencucian uang.
Jumat pekan lalu adalah hari terakhir seminar. Semua peserta dan panitia sarapan bersama di lantai dasar. Setelah sarapan, Darsini kembali ke kamarnya di lantai 27 menggunakan lift.
Belum sampai dia di lantai dua, terdengarlah ledakan bom jahanam itu. Lift terguncang dan mendadak mati. Ia dan dua petugas hotel yang terkurung berteriak minta tolong. Berkali-kali mereka memencet tombol darurat, bantuan tak kunjung datang.
Setengah jam Darsini terperangkap di dalam lift. Begitu ada petugas yang membukakan, ia melihat ruangan berantakan. Bau sangit menusuk hidungnya. Ia dievakuasi ke dapur hotel di bagian belakang. Kondisinya pun amburadul. Plafon banyak yang runtuh.
Darsini bertemu dengan suaminya di Rumah Sakit Metropolitan Medical Center. Agung Rai luka kena serpihan kaca dan material lain di betis, pelipis, dan bawah matanya. ”Suami saya bilang, syukurlah masih selamat,” kata Darsini.
Daniar Moore, 43 tahun, kaget bukan main saat dihubungi petugas Rumah Sakit Metropolitan Medical Center, Kuningan, Jumat pagi pekan lalu. ”Saya diberi tahu, suami saya ada di sana,” katanya dengan wajah masih menyisakan cemas.
Suaminya, Kevin Moore, 50 tahun, adalah Presiden Direktur Husky Oil, perusahaan minyak yang berbasis di Kanada. Pria Amerika itu sedang menghadiri breakfast meeting dengan CastleAsia di Hotel JW Marriott ketika bom meledak.
Separuh wajah Kevin mengalami luka bakar. Juga sebagian bahu dan kakinya. Serpihan-serpihan kecil kaca tertanam di kaki kanannya. ”Ini masih menunggu operasi, supaya tidak ada infeksi,” kata Daniar. Kevin tampak tegar pasca-insiden ini. ”Saya tidak apa-apa, cuma luka,” katanya menenangkan sang istri.
Daniar masih tak percaya suaminya menjadi korban ledakan bom di salah satu hotel dengan penjagaan paling ketat di Ibu Kota. ”Saya sebenarnya sempat punya feeling buruk,” katanya. ”Semalam saya tak bisa tidur.”
Bersama Kevin, semua peserta rapat pagi itu terkapar. Komisaris PT Freeport Indonesia Adrianto Machribie dan Wakil Direktur Utama Bidang Eksplorasi Freeport David R. Potter menderita luka bakar serius. ”Saya sempat bertemu dengan mereka. Keduanya sadar tapi belum bisa berbicara banyak,” kata pengamat ekonomi, H.S. Dillon, yang dekat dengan kedua korban. Mereka dipindahkan ke Singapura pada Jumat sore pekan lalu. Tuan rumah rapat, James Castle, juga terluka dalam ledakan. ”Padahal dia dan istrinya juga sempat jadi korban pada pengeboman enam tahun lalu,” kata Dillon.
Fathul, 40 tahun, mengantarkan bosnya, Presiden Direktur PT Holcim Indonesia Timothy Mackay, ke pelataran depan Hotel JW Marriott, sekitar pukul 07.15, Jumat pekan lalu. ”Dia memang sering sarapan di hotel itu,” kata Fathul pekan lalu.
Tanpa firasat apa-apa, sopir perusahaan ini memarkir Mercedes-Benz seri E hitam milik Mackay agak jauh, di lapangan lingkar Mega Kuningan. Ketika berjalan santai menuju hotel, belum sampai 200 meter, dia mendengar dentam ledakan disusul kepulan asap tebal. ”Saya langsung lari mencari bos saya,” ujarnya.
Menerobos ratusan karyawan dan tamu hotel, karyawan yang sudah 12 tahun bekerja di Holcim ini akhirnya menemukan Mackay terkapar di trotoar depan hotel. Tubuhnya nyaris telanjang. Seluruh pakaiannya terbakar habis. Separuh tubuhnya terluka parah. ”Langsung saya larikan ke rumah sakit,” kata Fathul.
Manajer Pelayanan Medis Rumah Sakit Medistra, dokter Albertus Anto, menjelaskan kondisi Mackay sudah parah saat diantarkan ke sana. Padahal dia pasien pertama yang ditangani Medistra pada Jumat nahas itu. ”Kami langsung mencoba menolong pernapasannya, tapi dia tidak tertolong,” katanya. Satu jam setelah tiba di rumah sakit, Mackay mengembuskan napas terakhir. Sesuai dengan prosedur polisi, jenazahnya dipindahkan ke Rumah Sakit Polri Dr Sukanto di kawasan Kramat Jati, Jakarta Timur, untuk menjalani otopsi.
Di sana, puluhan karyawan Holcim sudah menunggu. Semuanya tampak tertegun dengan pandangan mata nanar. Beberapa menangis sesenggukan. Di mata anak buahnya, Timothy Mackay adalah pemimpin yang baik hati dan ramah. ”Kami sangat kehilangan,” kata satu anggota stafnya, Steven Changi.
Sampai Jumat petang pekan lalu, silih berganti rombongan warga negara asing dan staf kedutaan dari Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat datang ke rumah sakit itu. Beberapa tampak terpukul saat keluar dari ruang jenazah. Isak tangis mereka membuat suasana rumah sakit itu makin sendu.
Yandi M.R., Retno Sulistyowati, Amandra Mustika, Munawwaroh, Agung Sedayu, Ismi Wahid, Puti Noviyanda
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo