Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Susanto Pudjomartono
Bisa dipastikan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono terpilih menjadi presiden dan wakil presiden untuk masa 2009-2014. Bagaimana pola hubungan mereka kelak?
Tampaknya Presiden SBY tidak akan mengulangi ”kesalahannya” dengan mengikuti model hubungan SBY-Jusuf Kalla. Keduanya terbukti tidak akur di akhir masa jabatan setelah JK bersaing dengan ikut pemilu presiden. Dalam kampanye, keduanya saling kecam dan menonjolkan prestasi masing-masing, sesuatu yang sebetulnya agak memalukan karena membuka ”borok” masing-masing.
Bisa diduga, Boediono bukanlah tipe wakil presiden yang akan ”berani” mengkritik presiden. Ia adalah akademisi dan birokrat yang setia dan lurus. Ia hanya akan menjalankan tugasnya sebagai wakil presiden sebaik mungkin. Namun bertahun-tahun menjadi ”bawahan” mungkin akan mempengaruhi mindset-nya menjadi ”Pak Turut”. Agar bisa berperan maksimal, ia perlu menyadari bahwa ia adalah wakil presiden yang sesuai dengan konstitusi menjadi pembantu presiden memegang kekuasaan pemerintahan dan berperilaku selayaknya.
Di sisi lain, SBY mestinya tidak memperlakukan Boediono sebagai pembantunya semata. Jabatan wakil presiden adalah jabatan nomor dua tertinggi di negeri ini. Wakil presiden harus ditempatkan dan diperlakukan sesuai dengan aturan main dan kesepakatan. Dalam praktek, melihat pengalaman kerja sama SBY-JK, sebagai wakil presiden yang punya banyak inisiatif dan cenderung ingin get things done, JK bisa ”keluar” dari ruang lingkup tugasnya (bidang ekonomi dan kesejahteraan rakyat) dan masuk ranah politik seperti dalam kasus penyelesaian masalah Aceh. Tapi Boediono pasti akan berbeda dengan JK.
Kelemahan duet SBY-Boediono ini adalah apakah Boediono akan sanggup mengambil alih peran SBY seandainya di tengah masa jabatannya sesuatu terjadi (semoga tidak) hingga SBY tidak bisa melakukan tugasnya. Sebab, sesuai dengan konstitusi, wakil presiden akan menggantikan presiden sampai habis masa jabatannya.
Ada yang berpendapat model hubungan presiden-wakil presiden yang ideal adalah Soekarno-Hatta, hingga mereka disebut Dwitunggal. Keduanya memang berasal dari mazhab yang sama: pejuang yang percaya bahwa kemerdekaan bisa dicapai dengan menggunakan soft power, dengan diplomasi serta kekuatan massa, dan (menggunakan istilah Soekarno) bukan dengan ”bom dan dinamit”. Keduanya menganggap ditahan dan diasingkan bertahun-tahun oleh Belanda bukanlah sesuatu yang memalukan, dan merupakan bagian dari perjuangan. Padahal menyerah kepada musuh dipandang hina oleh kelompok tentara waktu itu, yang dididik Jepang dengan semangat bushido.
Namun, dalam konsep pemikiran, Soekarno dan Hatta ternyata banyak berbeda, misalnya dalam pembangunan ekonomi, hak asasi, dan pelaksanaan demokrasi. Dwitunggal pun pecah ketika pada 1956 Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden.
Yang pasti, SBY akan menghindari terjadinya ”matahari kembar”. Istilah ”matahari kembar” dalam politik kontemporer Indonesia dipopulerkan Ali Murtopo. Pada 1966/1967, Kepala Operasi Khusus dan kemudian asisten pribadi Presiden Soeharto ini berulang kali mengumandangkan bahwa ”matahari kembar tidak boleh dan tidak akan pernah ada di Indonesia”.
Dalam beberapa kali pertemuannya dengan wartawan yang tergabung dalam kelompok ”Fokus” di markas Operasi Khusus di Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat, pada 1967, ia menekankan bahwa ”adanya matahari kembar di Indonesia hanya akan membawa bencana bagi bangsa Indonesia. Karena itu, matahari kembar harus dicegah dan tak boleh dibiarkan terjadi”.
Meski Ali Murtopo tidak terbuka menyebut nama, hampir semua orang waktu itu tahu bahwa sasaran yang dituju adalah Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, yang waktu itu menjabat Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang kini disebut Kopassus.
Situasi Indonesia pada 1966/1967 sangat kacau. Presiden Soekarno telah digusur dan diisolasikan hingga kesehatannya makin parah. Partai-partai politik diobrak-abrik dan ketakutan serta curiga-mencurigai sangat merajalela dan ”ancaman bahaya laten komunis” terus didengungkan. Setiap orang bisa diciduk dan disingkirkan apabila kena tuduhan ”terlibat Gestapu” atau dianggap ”mengganggu stabilitas”.
Dalam situasi itu, Sarwo Edhie yang muda dan ganteng menjadi sangat populer dan kehadirannya selalu dielu-elukan massa karena dianggap pahlawan. Hal ini tentu membuat gerah Soeharto dan kawan-kawan. Ia pun dianggap ancaman bagi kepahlawanan dan kepemimpinan Soeharto. Waktu itu muncul desas-desus bahwa Sarwo Edhie berencana menggusur Soeharto dan akan menjadi ”matahari” baru.
Yang kemudian terjadi adalah Sarwo Edhie digusur dan ditunjuk sebagai Wakil Panglima Kodam Bukit Barisan di Medan. Maka lenyaplah ancaman terhadap Soeharto.
Baru belasan tahun kemudian, pada 1978, saya memperoleh konfirmasi langsung ketika (bersama rekan wartawan Tempo, Salim Said) saya mengunjungi Sarwo Edhie di rumahnya di Cijantung. Sarwo Edhie (almarhum) mengungkapkan bahwa pada 1967 ia memang dipanggil Soeharto ke Cendana. Soeharto kemudian menunjukkan sebuah dokumen (yang ditandatangani beberapa orang) yang mengungkapkan bahwa Sarwo Edhie berencana ”me-Najib-kan” Soeharto.
Jenderal Najib adalah tokoh yang bersama Kolonel Nasser menggulingkan kekuasaan Raja Farouk di Mesir pada 1952. Ia sempat menjadi perdana menteri dan kemudian presiden dalam pemerintahan baru, tapi pada 1954 ia digusur oleh Gamal Abdul Nasser, yang lebih muda dan lebih populer. Nasserlah yang kemudian menjadi Presiden Mesir.
Menurut Sarwo Edhie, kepada Soeharto ia tegas membantah adanya rencana itu. ”Pak Harto diam saja mendengar bantahan saya,” ujarnya. Kenyataannya, ia kemudian dicopot dari jabatannya di RPKAD dan dipindahkan ke Medan. Ia menduga dokumen itu rekayasa untuk menjatuhkan dia yang dianggap bisa menjadi ”matahari” yang menyaingi Soeharto.
Sejak 1967 itulah semua yang bisa mengancam kepresidenan Soeharto selalu dibabat habis, dan ”ancaman bahaya laten komunis” terus dikumandangkan. Soeharto sendiri kemudian selalu memilih wakil presiden yang ”aman”, tidak ambisius dan tidak berpotensi mengancam posisinya. Mereka antara lain Umar Wirahadikusumah, Hamengku Buwono IX, Adam Malik, Sudharmono, dan Try Soetrisno.
Gejolak kecil terjadi ketika pada 1978 secara mendadak Hamengku Buwono IX menyatakan tidak bersedia menjadi wakil presiden untuk satu masa jabatan lagi. Sempat terjadi upaya mendiskreditkan Hamengku Buwono IX sebelum Adam Malik ditunjuk sebagai wakil presiden baru.
Komunikasi Presiden Soeharto dengan Wakil Presiden Adam Malik ternyata tidak selalu mulus. Seusai pembukaan sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Maret 1983, saya menemui Adam Malik dan menanyakan kansnya untuk tetap menjadi wakil presiden. Adam Malik mengatakan yakin akan diminta Soeharto menjabat lagi wakil presiden. Alasannya, beberapa hari sebelumnya, Soeharto telah meminta dia ”terus membantu pemerintahannya”.
Ketika saya tanyakan apakah Soeharto secara spesifik meminta dia menjabat wakil presiden lagi, Adam Malik menjawab bahwa Soeharto tidak tegas mengatakan hal itu, tapi ia tetap yakin akan diminta menjadi wakil presiden untuk satu masa jabatan lagi. Saya berargumentasi, kalau Soeharto tidak tegas meminta Adam Malik menjabat wakil presiden lagi, itu berarti ia akan memilih orang lain. Tapi Adam Malik kukuh yakin ia akan diminta menjabat wakil presiden lagi. Sejarah kemudian mencatat bahwa Adam Malik memang tidak dipilih lagi menjadi wakil presiden.
Komunikasi ”Jawa” model Soeharto ini hendaknya tidak akan dilakukan oleh SBY nanti. Bisa-bisa nanti publik (yang tidak paham alias tidak njowo) akan mengartikannya sebagai sikap yang tidak tegas dan ragu-ragu.
Hubungan Presiden Soeharto dengan Wakil Presiden B.J. Habibie yang dianggap mesra ternyata berakhir dengan kegetiran. Sewaktu gelombang reformasi berhasil membuat Soeharto mundur dari kursi kepresidenan, alih-alih membela Soeharto dan ikut mengundurkan diri, Habibie malah bersedia menggantikan Soeharto. Tampaknya, Soeharto menganggap tindakan Habibie ini sama seperti beberapa menterinya yang sebelumnya membelot dan meninggalkan dia. Sejak itu, dia tidak mau berbicara lagi dengan Habibie. Bahkan, ketika Soeharto dirawat di rumah sakit, keluarga Soeharto tidak mengizinkan Habibie menemui Soeharto.
Hubungan Presiden Abdurrahman Wahid dengan Wakil Presiden Megawati bisa dikatakan cordial. Masalahnya, sifat Abdurrahman Wahid susah ditebak dan selama masa kepresidenannya ia melakukan hal-hal yang membingungkan publik dan susah diterima nalar. Hingga akhirnya ia dimakzulkan.
Hubungan Megawati sebagai presiden dan Hamzah Haz juga tanpa gejolak yang berarti. Riak perbedaan baru muncul setelah terjadi serangan 11 September oleh Al-Qaidah terhadap World Trade Center, New York. Sewaktu Megawati mengunjungi Gedung Putih sekitar dua pekan setelah 11 September, seorang wartawan Amerika menanyakan kepadanya soal pernyataan Wakil Presiden Hamzah Haz di Jakarta bahwa teroris sebenarnya bukan Al-Qaidah, melainkan Amerika Serikat sendiri. Dengan tegas waktu itu Megawati menjawab bahwa pernyataan Hamzah Haz bukanlah sikap resmi Indonesia. ”I’m the President and I’m in charge,” ujarnya waktu itu.
Periode 2009-2014 adalah masa jabatan kedua dan terakhir Presiden SBY. Ia harus selalu ingat bahwa sejarahlah yang akan mencatat prestasinya, apakah dengan tinta emas atau tinta merah. Ia telah memperoleh dukungan, kepercayaan, dan amanat sebagian besar rakyat. Mengatur hubungan dan kerja sama dengan Wakil Presiden Boediono yang pas adalah salah satu kunci ke arah keberhasilannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo