Islam Wetu Telu: Benteng Terakhir Budaya Sasak Di Desa Bayan, 80 kilometer dari Mataram, ibu kota Lombok, ada budaya pembacaan lontar yang penting artinya dalam pelestarian nilai-nilai adat. Mereka mengenal apa yang disebut maliq, sekumpulan larangan baku, sebagai "aturan main" yang harus dipegang dari satu generasi ke generasi. Masyarakat Bayan juga mengenal "Islam Wetu Telu" -Islam Waktu Tiga. Perpaduan antara Islam dan Hindu. Konon, itu ciptaan Belanda dahulu, sebagai taktik untuk menaklukkan Lombok. LAMAT-LAMAT terdengar tembang menyisiri rumah-rumah penduduk Desa Bayan. Sebuah perkampungan di kaki Gunung Rinjani. Istri lanang sami sembahyang, Perawan lan jejaka sami bisa maca quran. Tenana durgo hing hati, Hatine sami becik, Hadil hing kawumipun, Wis takdir ing pangeran, Haring Raja Merdengkasmi, Sing karsane hana huga kapanggih". Itu bagian pertama dari tembang Sinom, yang dikutip dari lontar Da'jal. Artinya kurang lebih: "Wanita dan pria semua sembahyang. Semua gadis dan jejaka bisa membaca Quran. Tiada kebencian di hati, semua berhati baik, adil terhadap rakyatnya, sudah kehendak Tuhan. Pada raja Merdengkasmi, semua keinginannya bisa tercapai." Memang ganjil, di sebuah desa Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, yang letaknya ratusan mil dari Pulau Jawa itu, masih terdengar pembacaan tembang Jawa Kawi. Di Jawa sendiri, sebagai tempat asalnya, hal itu sudah sulit ditemukan. Bayan, yang setiap malam dipeluk dingin hawa pegunungan, memang istimewa. Desa ini bagai benteng terakhir budaya Sasak. Letaknya hampir 80 kilometer dari Mataram, ibu kota Lombok. Seakan-akan berada di ujung utara, hingga membantu tidak terusiknya adat istiadat masyarakat asli setempat. Sementara itu, bagian lain dari pulau yang cantik itu, perlahan mulai digerayangi arus wisata. Listrik sudah menyala dalam rumah-rumah yang umumnya masih tradisional, dengan dinding bambu dan tanpa jendela. Namun, kehidupan masyarakat di Bayan tak goyah. Mereka masih meneruskan apa yang sudah dilakukan oleh orangtua mereka sejak dahulu. Apa yang sudah digariskan oleh adat sampai kini masih terjaga. Masyarakat Bayan yang mayoritas petani itu, menurut kebanyakan masyarakat Lombok yang lain, adalah contoh, bagaimana adat, bisa "mengendalikan" perilaku warganya. Ini tak hanya berlaku di Desa Bayan dengan 10.000 penduduknya. Juga melingkupi Kecamatan Bayan yang terdiri dari sejumlah desa itu. Bahkan juga kelihatan, di kecamatan lain. Seperti Kecamatan Gangga, sampai ke Desa Sembalun, di Kecamatan Aikmel, sebelah timur Bayan. Suara tembang tadi dibawakan oleh Raden Singaderia, pemangku adat -pemimpin adat -yang paling disegani masyarakat Bayan. Duduk bersila di selembar tikar, lelaki berusia 50 tahun ini melantunkan tembang dengan khidmat dari lembaran fotokopi -aslinya ditulis di lembaran lontar. Di kelilingnya, duduk sekitar sepuluh lelaki lain, dengan sikap yang sama. Mereka terbenam keasyikan mengikuti pembacaan. Baru ketika terdengar kokok ayam menyeru fajar, pembacaan ini usai. Lontar adalah salah satu bentuk karya tulis klasik, yang kini masih banyak dijumpai di desa-desa Lombok. Ditulis baik dengan huruf Arab maupun Jawa Kawi (Jawa Kuno). Pada lembaran lontar ini, banyak ditulis mengenai ajaran-ajaran kehidupan, filsafat, agama, sampai ke cerita-cerita rakyat. Dari budaya lontar inilah kemudian lahir tata nilai bermasyarakat di suku Sasak, khususnya masyarakat Bayan. Salah satu wujudnya adalah yang disebut oleh mereka dengan maliq atau pantangan. "Maliq, bagi masyarakat suku Sasak di Bayan, bukan hanya sekumpulan larangan atau pantang yang sudah baku, tetapi juga 'aturan main' yang harus dipegang dan harus diturunkan dari satu generasi ke generasi," kata Raden Gedarip, 40 tahun, Kepala Urusan Pembangunan Desa Bayan, yang juga salah seorang pemangku adat. Maliq, yang menurut hukum adat tidak boleh dilanggar ini, mempunyai beberapa tingkatan, yang dimulai dengan maliq atau pemaliq leket, yakni pantangan yang memiliki tingkat "larangan" paling keras. Termasuk dalam pemaliq ini antara lain menghilangkan nyawa orang lain dan berzina. Bagi orang yang melakukan perbuatan ini, hanya ada satu hukumannya: mati! Mencuri juga termasuk dalam kategori maliq leket. Orang yang ketahuan doyan mencuri akan berhadapan dengan hukuman diusir dari kampung. "Meskipun bukan hukuman mati, hukuman ini termasuk hukuman yang berat," kata Raden Gedarip. Dengan adanya ancaman yang berat ini, tidak heran jika angka kriminalitas di Desa Bayan yang penduduknya hampir 10.000 itu rendah. Contoh yang baik bagaimana ancaman hukuman adat lebih ditakuti daripada hukum negara kebetulan terjadi ketika TEMPO berada di sana, awal April lalu. Sore itu, Kepala Desa Bayan, R. Gonda Kusuma, didatangi belasan penduduk. Melihat kehadiran mereka yang tergopoh-gopoh dengan wajah tegang, kepala desa sudah dapat menduga ada sesuatu yang tidak beres. Ternyata, benar. Begini. Salah seorang warga Bayan tidak puas dengan kebijaksanaan kepala desa yang melarangnya menjual tanah kas desa. Orang itu kemudian berusaha menamatkan riwayat kepala desa. Ia mengupah seseorang untuk meletakkan botol berisi cairan guna-guna di sekitar halaman rumah R. Gonda Kusuma. Guna-guna ini kelak akan mendatangkan ajal si kepala desa. Tapi, apa lacur? Rupanya, si "pembunuh bayaran" tidak berani melakukan tugasnya mengingat hukuman dari warga desa yang bakal dia terima jika kelak perbuatannya diketahui. Satu-satunya cara untuk menghindari hukuman itu adalah melaporkan niat jahat itu meskipun untuk itu ia harus mendekam di tahanan polisi dan diinterogasi. "Saya takut, Pak," kata orang itu di hadapan R. Gonda Kusuma. Jika kerama gubuk atau musyawarah adat sampai ikut ambil bagian dalam penanganan kasus, hukumannya memang berat. Sebuah peristiwa yang mirip -- tuduhan penggunaan sihir untuk tujuan menghilangkan nyawa orang lain -pernah terjadi empat tahun yang lalu. Ketika itu, krama gubuk memutuskan bahwa orang yang melakukan guna-guna harus dihukum mati. Kemudian ada yang disebut hanya dengan pemaliq saja. Ini adalah pantangan tingkat kedua. Termasuk dalam larangan ini misalnya melanggar perintah orangtua yang mengarah kepada perbuatan anak durhaka. Bagi seseorang yang telah menjadi "anak durhaka", ia akan berhadapan dengan hukuman, disisihkan oleh masyarakat atau bisa juga diusir dari kampung. Kawin dengan saudara dekat (kandung) juga termasuk dalam pemaliq ini. Pemaliq tingkat paling ringan disebut sora kanggo tebait. Termasuk dalam pemaliq ini adalah perbuatan-perbuatan seperti memakan daging babi dan menjelek-jelekkan orang lain. Bagi yang melanggar, akan dikenakan denda. Karena itu, tak heran jika angka kriminalitas di Desa Bayan dan sekitarnya rendah. Jangan kata pembunuhan, pertengkaran mulut pun mereka hindari. Menurut R. Gedarip, dahulu, kambing dan sapi penduduk cukup dibiarkan di ladang atau di hutan-hutan. "Dijamin tidak ada yang hilang," katanya. Tapi, sesuai dengan perkembangan masyarakat, kini kambing-kambing dan sapi tadi sudah mereka buatkan kandang kolektif di tengah desa. Kini pencuri ternak sudah mulai bermunculan karena Bayan daerah terbuka yang kemasukan para pendatang. "Pelaku pencurian pasti bukan warga sini," kata Gedarip. Tapi tidak semua "mencuri" dilarang. Ada "mencuri" yang diperbolehkan adat. Yakni merari, "mencuri" anak perawan. Merari adalah upacara adat yang harus dilalui oleh seorang pemuda yang ingin menikahi seorang gadis. Jika seorang pemuda Bayan -begitu juga di desa-desa Sasak lainnya -"naksir" seorang gadis dan ingin meneruskan hubungan mereka ke ikatan perkawinan, si pemuda melakukan merari. Pada hari yang telah ditentukan oleh kedua keluarga mempelai, dicurilah gadis tersebut dari rumah orangtuanya. Si gadis dibawa ke sebuah tempat yang sudah disepakati. Di tempat itu, si gadis "disimpan". Pada hari keempat, barulah kiai mengesahkan mereka sebagai suami-istri dan kemudian disusul dengan pesta perkawinan. "Dengan merari, kita bisa menghindarkan hubungan di luar nikah," kata Drs. H. Lalu Wacana, Sekretaris Krama Adat Sasak. Sebab, kedua calon pengantin selama masa merari tidak diperbolehkan "kumpul". Tata nilai kemasyarakatan yang kuat ini mampu bertahan dan ditaati tentunya tidak hanya karena peranan pemuka adat. Tetapi juga peran kiai-kiai atau pemuka agama di daerah Bayan. Pemuka agama Islam merupakan unsur kepemimpinan informal lainnya, yang mempengaruhi napas kehidupan Bayan. Tidak ada acara adat yang tidak menyertakan pemuka agama, begitu pula sebaliknya. Tidak ada upacara keagamaan yang melupakan kehadiran pemangku. Hari itu, hari ke-14 dalam bulan Ramadan. Wajah rembulan yang hampir sempurna bergantung di langit Desa Bayan yang kehitam-hitaman. Sosok bangunan masjid "kuno" terlihat samar-samar. Pohon-pohon raksasa seakan menjaga dan menyembunyikan bangunan abad ke-16 itu, di bukit. Dalam ketemaraman malam, seusai saat berbuka puasa, tampak bayangan mendaki bukit. Bunyi jangkrik terhenti ketika kaki-kaki tanpa alas menerobos rumpun ilalang. Mengenakan ikat kepala berwarna putih dengan bagian depan membentuk sudut dan berbaju putih juga, para kiai Bayan itu bergerak hendak menunaikan tarawih. Inilah "keunikan" lain Desa Bayan. Para kiai malam itu mengenakan kain dililitkan membentuk untaian di bagian depan, dan tinggi kain bagian bawah hanya sampai antara mata kaki dan lutut. Mereka -22 kiai -bersila di tikar di dalam bangunan 4 m2 yang terletak di pinggir desa. Dalam ketemaraman cahaya yang berasal dari sebuah lampu getah jarak -- menggunakan penerangan lain, seperti listrik, dilarang di sini -mereka bersiap-siap menunaikan salat jamaah versi Islam Waktu Tiga, Wetu Telu (lihat Bagian II). Masih berlangsungnya Islam "kuno" ini -begitu masyarakat setempat menyebutnya -di samping adat, memang menjadi salah satu soal bagi aparat Departemen Agama NTB. Terutama bagi pihak pemerintah daerah Lombok Barat. "Adat leluhur mereka adalah aturan hidup yang baik. Meski begitu, pemahaman mereka tentang agama perlu disempurnakan," kata Bupati Lombok Barat, Drs. H. Mudjtahid. Di masyarakat Sasak lama, perbedaan antara pelaksanaan kegiatan adat dan praktek keagamaan memang dua hal yang sangat tipis pemisahnya. Banyak upacara adat mereka yang sebetulnya merupakan ritual keagamaan sehingga kadang, dalam pelaksanaan, dijumpai dua hal yang bertentangan. Untuk "menyempurnakan" praktek beragama inilah, Pemda NTB bersama-sama dengan Departemen Agama dan MUI, sejak tahun 1980 mengirimkan 1.000 da'i ke daerah-daerah yang Islamnya masih "tipis". Daerah penganut Islam Waktu Tiga, salah satu tujuan para da'i tersebut. Khusus untuk daerah Lombok Barat, pemda setempat, menggalang kerja sama dengan pesantren Nurul Hakim, Kediri, Lombok Barat. Desa Bayan, misalnya, dalam dua tahun belakangan ini, kedatangan para da'i asal pondok Kediri itu. Untuk menguatkan barisan penyempurna praktek beragama di daerah Bayan dan sekitarnya, tidak kurang para tuan guru -sebutan bagi kiai atau ulama besar di Lombok -diterjunkan ke desa-desa untuk memberikan ceramah. "Memang agak sulit mengubah pandangan penduduk, terutama yang tua," kata Najamuddin, 26 tahun, seorang da'i yang ditempatkan di Desa Bayan. Ketika dua tahun yang lalu memulai tugasnya di Bayan, ia harus berhadapan dengan reaksi masyarakat yang mengejek azan yang dikumandangkannya lewat pengeras suara. "Seperti melolong, kata mereka," kata da'i lulusan Madrasah Aliah Pesantren Nurul Hakim Kediri itu. Karena itu, sampai saat ini, ia tidak lagi menggunakan pengeras suara. Untunglah, situasi itu tidak berlangsung lama. Belakangan ini, Najamuddin mengalihkan sasaran penyebaran syiar Islamnya. Dibantu oleh istrinya Turkiyah, 22 tahun, ia kemudian menggarap generasi muda Bayan. Ia mulai dengan membentuk pengajian anak-anak. Dan usahanya ini, ternyata, tidak sia-sia. Berkat bantuan kepala desa dan tokoh-tokoh adat -juga para kiai kuno -kini mulai banyak anak-anak dan pemuda yang berjamaah di masjid Al Bayani. Kemajuan yang lain, kini Najamuddin diperbolehkan ikut mensalati orang meninggal. Suatu hal yang dulunya hanya boleh dilakukan oleh penghulu adat. Ketika para kiai melakukan tarawih di masjid kuno, puluhan warga Bayan lainnya, dari anak-anak sampai orang dewasa, melakukan tarawih di masjid Al-Bayani. Malam itu, seusai tarawih mereka mendengarkan ceramah agama yang diberikan oleh seorang mahasiswa Universitas Mataram (Unram) yang sedang ber-KKN di sana. Memang, Desa Bayan adalah salah satu desa binaan Unram -- artinya sasaran mahasiswa KKN -dua kali setiap tahun. Kehadiran mereka ini banyak membantu penyebaran syiar Islam di sana. "Kami tidak menganggap, yang dilakukan oleh mereka yang dikatakan Islam waktu lima itu salah. Itu benar dan baik, karenanya kami dukung," kata Kiai Itramaya, 71 tahun. Bahkan kiai penghulu ini -tingkatan kiai paling tinggi, selaku imam masjid kuno -selain menyelenggarakan salat di masjid kuno, juga ikut berjamaah di masjid Al Bayani -atau masjid "baru". "Apa yang saya dan kiai-kiai lakukan di masjid kuno hanyalah untuk meneruskan apa yang sudah dilakukan oleh leluhur kami," tambahnya sambil mengunyah sirih di siang bulan puasa itu. Usaha para da'i di Lombok sekarang ini sebetulnya bukan hal baru. Pada awal Orde Baru, masyarakat Lombok sendiri sudah berusaha membawa penganut Islam Wetu Telu menjadi muslim yang menjalankan lima kali salat. Akibatnya, Desa Sembalun Lawang dan Sembalun Bumbung -desa yang jaraknya cukup dekat dengan Bayan -yang semula penganut Islam Waktu Tiga, dapat diluruskan. "Tapi saya percaya, dengan cara bertahap dan perlahan kita akan berhasil menyempurnakan Islam mereka," kata Mudjtahid. Keyakinannya juga didukung oleh Kepala Desa Bayan. "Cerita tentang Islam Waktu Tiga sudah hampir selesai," katanya sambil menyandarkan dirinya di beruga -semacam balai-balai -di halaman rumahnya. Rustam F. Mandayun, Zed Abidien, Supriyantho Khafid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini