Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Joko Tjandra diduga menyuap puluhan miliar rupiah dua jenderal di Kepolisian RI dan jaksa di Kejaksaan Agung.
Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo disebut bersahabat dengan salah satu tersangka kasus Joko Tjandra.
Penangkapan Joko Tjandra memantik isu panas pergantian kursi Kepala Polri.
SETELAH sepuluh menit di angkasa, Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo memanggil Joko Soegiarto Tjandra ke kabin eksekutif. Kepada buron korupsi hak tagih Bank Bali itu, Sigit bertanya soal aktivitas Joko selama berada di Malaysia dalam beberapa pekan terakhir. Alih-alih menjawab pertanyaan, Joko menumpahkan unek-uneknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dia merasa menyesal mengajukan peninjauan kembali ke pengadilan,” kata Sigit kepada Tempo pada Jumat, 21 Agustus lalu, menceritakan penjemputan Joko di Malaysia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Kamis sore, 30 Juli lalu, Polis Diraja Malaysia, antara lain dari unit Cawangan Khas atau kecabangan khusus, menangkap Joko di kamar nomor 20-A The Avare Condominium, Kuala Lumpur. Sebelum dibawa polisi untuk diserahkan kepada Sigit, Joko menelepon pengacaranya, Anita Dewi Anggraeni Kolopaking, tapi tak tersambung.
Belasan polisi Malaysia akhirnya memboyong Joko, yang hanya mengenakan kemeja merah marun dan celana pendek biru, ke Bandar Udara Sultan Abdul Aziz Shah di Subang, Selangor, yang berjarak sekitar 21 kilometer dari Kuala Lumpur. Di sana, Sigit bersama tim dari Bareskrim sudah menunggu.
Suasana kediaman Tommy Sumardi di Jl Kebon Pala 3, Jakarta, Jumat, 21 Agustus 2020./TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Untuk menjemput Joko, Bareskrim mencarter jet seharga Rp 700 juta. Menurut Sigit, timnya menyewa pesawat itu setelah mendapat kepastian bahwa Polis Diraja Malaysia bersedia membantu menangkap Joko. “Kami berkomunikasi intensif dengan polisi Malaysia sejak sepuluh hari sebelum penangkapan,” ujar Sigit. Upaya Tempo memeriksa detail kisah penangkapan ini dengan meminta bantuan wartawan MalaysiaKini sampai pekan lalu tak membuahkan hasil. Polis Diraja Malaysia belum merespons permohonan konfirmasi hingga Sabtu, 22 Agustus lalu.
Setiba di Jakarta, Joko mendekam di Rumah Tahanan Salemba Cabang Bareskrim. Sehari kemudian, Kejaksaan Agung sebagai pemohon peninjauan kembali kasus hak tagih Bank Bali mengeksekusi putusan Mahkamah Agung yang menyatakan Joko bersalah tersebut.
Joko Tjandra kabur ke luar negeri sehari sebelum Mahkamah mengeluarkan putusan peninjauan kembali kasus hak tagih Bank Bali pada 12 Juni 2009. Mahkamah memvonis Joko dua tahun penjara dan denda Rp 15 juta. Duit yang diklaim Joko di Bank Bali senilai Rp 546 miliar pun dinyatakan dirampas negara.
Tiga tahun setelah menjadi buron Kejaksaan, jejak Joko mulai tercium. Sejak 2012, ia mengantongi paspor Papua Nugini dengan nama Joe Chan. Ia rutin berkunjung ke Malaysia sejak enam tahun lalu. Di sana, Joko mengembangkan bisnis properti dan perdagangan. Meski Indonesia dan Malaysia memiliki kerja sama ekstradisi, Joko Tjandra tak pernah tersentuh.
Seorang penegak hukum mengatakan Joko memiliki jaringan politik yang kuat di negeri jiran. Koneksi ini terbangun karena ia menjadi donatur tetap salah satu partai politik besar di sana. Kepada Tempo, Muhammad Prasetyo sewaktu menjabat Jaksa Agung mengaku pernah dilobi oleh Jaksa Agung Malaysia Tan Sri Mohammad Apendi Ali untuk memutihkan kasus Joko Tjandra dengan iming-iming Joko akan membawa seluruh hartanya di luar negeri buat diinvestasikan di Indonesia.
Pemulangan Joko pada akhir Juli lalu tak benar-benar lancar. Seorang penjemput Joko mengatakan sejumlah orang dari lembaga pemerintah Indonesia yang berkedudukan di Kuala Lumpur sempat “mengganggu” ketika pesawat akan lepas landas. Menurut narasumber tersebut, sejumlah pria berjas hitam berupaya masuk ke kabin dan meminta ikut mengantar Joko ke Jakarta. Tim Sigit menolak kehadiran mereka. Ditanyai perihal ini, Sigit enggan menjawabnya. “Yang penting misi penangkapan tuntas,” ucapnya.
Pada Kamis malam akhir Juli, pesawat carteran itu mendarat mulus di Bandara Halim Perdanakusuma.
• • •
SETIBA di Jakarta, Joko Tjandra mendapat sangkaan baru. Badan Reserse Kriminal menjerat pemilik Grup Mulia ini dengan dua tuduhan: memalsukan surat jalan dan surat keterangan bebas Covid-19 serta menyuap polisi.
Penyidik juga menetapkan pengacara Joko, Anita Kolopaking, dan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo sebagai tersangka pemalsuan surat keterangan untuk keperluan bepergian itu. Dalam perkara suap, selain menjerat mereka, Bareskrim menjerat Kepala Divisi Hubungan Internasional Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte.
Napoleon diduga menerima duit dari pengusaha Tommy Sumardi alias Tommy Lulur, kawan lama Joko Tjandra. Komisaris PT Era Giat Prima itu meminta bantuan Tommy untuk menghubungi koneksinya di Markas Besar Polri agar upaya mengajukan permohonan peninjauan kembali kasus hak tagih Bank Bali yang menjeratnya tak terhalang oleh status buronnya.
Sebagai Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Napoleon membawahkan Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia. Surat NCB kepada Direktorat Jenderal Imigrasi pada 5 Mei 2020 menjadi latar penghapusan nama Joko dari data orang yang ditangkal Imigrasi. Dalam suratnya, NCB menyatakan Joko tak tercantum lagi dalam daftar red notice—permintaan menangkap buron kepada Interpol sedunia—karena tak ada permintaan perpanjangan status itu dari Kejaksaan. Kenyataannya, Kejaksaan tak pernah mengatakan demikian.
Foto pengusaha Tommy Sumardi yang memiliki kedekatan dengan Joko Tjandra./TEMPO/ Gunawan Wicaksono
Atas jasanya, Napoleon diduga menerima imbalan. Seorang penegak hukum yang mengetahui perkara ini mengatakan Tommy Sumardi ditengarai menyerahkan sekitar Rp 10 miliar dalam bentuk dolar Amerika Serikat dan Singapura kepada Napoleon, yang diduga berasal dari Joko Tjandra. Tommy juga disebut menyerahkan US$ 20 ribu kepada Prasetijo Utomo.
Duit itulah yang disita penyidik dari tangan Prasetijo. “Uang itu diduga upah untuk membantu kedatangan JST (Joko Soegiarto Tjandra) ke Indonesia,” kata Kepala Bareskrim Listyo Sigit.
Saat diperiksa Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Napoleon membantah tuduhan tersebut. Tempo belum berhasil mendapatkan keterangan dari Napoleon. Ia tak lagi berkantor di Divisi Hubungan Internasional sejak dicopot pada 17 Juli 2020. Hingga Jumat, 21 Agustus lalu, tiga nomor telepon seluler yang diketahui miliknya juga tak aktif.
Penasihat hukum Prasetijo Utomo, Petrus Bala Pattyona, menjawab singkat soal bongkahan US$ 20 ribu yang disita dari kliennya. “Klien saya membantah menerima uang itu,” ucapnya. Petrus juga menolak tuduhan pemalsuan surat terhadap Prasetijo. Adapun pengacara Joko, Soesilo Ariwibowo, berjanji menjelaskan perkara ini. Tapi, sampai artikel ini ditulis, ia tak memberikan respons lagi.
• • •
MENUMPANG Toyota Alphard berkelir putih, Tommy Sumardi dan Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo berkendara menuju suatu tempat di Jakarta pada Mei lalu. Dalam perjalanan, mata Prasetijo tertumbuk pada kantong kresek di atas jok mobil.
Plastik itu berisi gepokan dolar Amerika Serikat dan Singapura. Narasumber yang mengetahui penyidikan kasus ini mengatakan Tommy kemudian mengambil US$ 20 ribu, atau setara dengan Rp 290 juta, dari plastik tersebut, lalu menyerahkannya kepada Prasetijo.
Dalam dokumen pemeriksaan yang dilihat Tempo, Prasetijo mengaku mengenal Tommy sejak dulu. Tommy dan Prasetijo bertemu lagi pada awal April lalu. Tommy bertandang ke kantor Prasetijo di lantai 12 Gedung Awaloedin Djamin di kompleks Mabes Polri.
Prasetijo mengaku bersedia menerima Tommy di ruang kerjanya karena mengenal pria itu sebagai orang dekat Kepala Bareskrim Listyo Sigit Prabowo. Dalam dokumen tersebut, Prasetijo mengatakan Tommy juga menyebut nama Sigit pada pertemuan itu. Selain sebagai atasan, Sigit adalah sahabat Prasetijo karena sama-sama lulusan Akademi Kepolisian 1991.
Kepala Bareskrim Listyo Sigit Prabowo./Tempo
Kepada Prasetijo, Tommy menanyakan soal status buron Joko Tjandra, yang waktu itu diperkirakan berada di Kuala Lumpur. Prasetijo tak bisa menjawab pertanyaan Tommy. Maka, kata Prasetijo dalam dokumen itu, “Ia minta tolong kepada saya untuk diperkenalkan dengan Kepala Divisi Hubinter Polri.”
Prasetijo menyanggupi permintaan Tommy karena pernah bertugas di Divisi Hubungan Internasional di bawah Napoleon Bonaparte. Ia juga menganggap Napoleon, alumnus Akademi Kepolisian 1988, sebagai kakak asuhnya. Beberapa hari kemudian, Prasetijo membawa Tommy menghadap Napoleon.
Ketiganya bertemu di kantor Divisi Hubungan Internasional, yang juga terletak di kompleks Mabes Polri. Prasetijo menunggu di ruang tamu. Napoleon hanya ingin mengobrol empat mata dengan Tommy di ruang kerjanya. Belakangan, Tommy dijadikan tersangka pemberi suap.
Narasumber yang mengetahui pemeriksaan mengatakan Prasetijo sempat merasa heran Tommy meminta bantuannya. Padahal Tommy dikenal memiliki jaringan luas di kepolisian. Di antara sejumlah perwira, kabar kedekatan antara Tommy dan Sigit pun bukan rahasia lagi.
Tempo mendatangi rumah Tommy di Jalan Kebon Pala 3, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada awal dan pertengahan Agustus lalu. Tak satu pun penghuni keluar dari rumah berpagar baja hitam dan kuning keemasan itu. Tommy tak merespons surat permohonan wawancara hingga Jumat, 21 Agustus lalu.
Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengaku mengenal Tommy. Tapi ia membantah kabar bahwa Tommy pernah menemuinya untuk urusan Joko Tjandra. “Saya memang kenal,” tuturnya. “Tapi dia juga banyak sekali mengenal polisi karena memang lama bergaul di Polri.”
• • •
JOKO Tjandra menyusun rencana kepulangannya ke Jakarta sejak November tahun lalu. Ia hendak mengajukan permohonan peninjauan kembali putusan Mahkamah Agung yang menghukumnya dua tahun penjara. Untuk mendaftarkan permohonan tersebut, Joko wajib datang ke pengadilan tanpa boleh diwakilkan.
Ia membahas rencana ini saat bertemu dengan jaksa Pinangki Sirna Malasari dan pengacaranya, Anita Kolopaking, dalam sejumlah pertemuan di Kuala Lumpur. Rencana kepulangan tersebut sempat terhalang karena pandemi Covid-19. Pemerintah mewajibkan mereka yang akan terbang menunjukkan surat keterangan bebas Covid-19.
Anita menghubungi Prasetijo Utomo pada pertengahan Mei untuk mengurus surat tersebut. Anita mengenal Prasetijo setelah dikenalkan Tommy Sumardi. Selain mengurus surat jalan, Anita ingin mengobrolkan sengketa antara Joko Tjandra dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kepada Prasetijo. “Pembicaraan itu memang ada, tapi penyidik sedang mendalaminya,” kata Kepala Bareskrim Listyo Sigit Prabowo, membenarkan informasi yang diperoleh Tempo.
OJK menggugat PT Sanggarcipta Kreasitama, perusahaan milik Joko Tjandra, ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 13 Mei lalu agar mengembalikan duit sewa dan layanan gedung Wisma Mulia 1 dan 2 di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, senilai Rp 469,36 miliar karena urung menempatinya sebagai kantor. Kepada Prasetijo, Anita menyampaikan justru OJK-lah yang berutang karena tak membayar biaya perawatan gedung.
Lewat Prasetijo, Anita berniat melaporkan OJK dengan tuduhan keterangan palsu dan pencemaran nama. Tapi Prasetijo ingin mendengar sendiri penjelasan itu dari Joko Tjandra. Kepada pemeriksanya, Prasetijo berdalih menggunakan kesempatan itu untuk memuluskan karier. Ia akan dianggap berjasa jika berhasil membujuk Joko mengembalikan duit sewa ke kas negara.
Maka ia ikut menjemput Joko dari Pontianak pada 6 Juni lalu bersama Anita dengan jet sewaan. Untuk kelancaran penerbangan dari Pontianak ke Jakarta, Prasetijo membuatkan surat keterangan bebas Covid-19 dan surat jalan Joko Tjandra yang ditulis sebagai “konsultan” polisi.
Joko masuk Pontianak lewat Kuching, Sarawak. Ia lalu menggunakan jalur tikus di perkebunan sawit untuk sampai ke Kalimantan Barat tanpa melewati pemeriksaan imigrasi.
Dari Pontianak, pesawat carteran itu mendarat di Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada hari yang sama. Dua hari kemudian, Joko mengurus kartu tanda penduduk di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta Selatan. Ia langsung mendaftarkan peninjauan kembali hari itu juga. Pada 22 Juni malam, ia terbang kembali menuju Bandara Supadio, Pontianak, bersama Anita dan Prasetijo.
Foto-foto penjemputan Joko Tjandra oleh Anita dan Prasetijo di bandara beredar di media sosial pada pertengahan Juli lalu. Banyak informasi beredar mengenai asal-muasal foto dan dokumen kunci yang membongkar keterlibatan Prasetijo dan Napoleon Bonaparte. Semua data rahasia itu beredar leluasa di jagat maya.
Pihak yang getol meminta kasus ini dibongkar, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia Boyamin Saiman, enggan menyebutkan sumber datanya. "Nanti tahun 2025 pasti saya beri tahu," katanya Sabtu, 22 Agustus lalu.
Sementara itu, Ketua Presidium Indonesia Police Watch Neta S. Pane, yang turut menyuarakan keterlibatan jenderal polisi dalam kasus Joko Tjandra, tak merespons pertanyaan Tempo soal sumber data informasinya hingga Sabtu, 22 Agustus lalu. Upaya meminta konfirmasi dari sejumlah lembaga yang disebut membocorkan data itu pun tak direspons.
Isu keterlibatan jenderal polisi bersekongkol dengan Joko Tjandra mencuat sejak itu. Menurut seorang petinggi Polri, di kepolisian ada yang mengaitkan kabar itu dengan persaingan sejumlah perwira tinggi menjadi Kepala Polri. Awal tahun depan, Kepala Polri Jenderal Idham Azis akan pensiun.
Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjadi salah satu sasaran tembak. Surat kaleng yang mengaitkannya dengan Tommy Sumardi bertebaran. Apalagi Prasetijo Utomo adalah kawan satu angkatan di Akademi Kepolisian. Bekas Sekretaris NCB Interpol Indonesia, Brigadir Jenderal Nugroho Slamet Wibowo, yang dianggap turut bertanggung jawab dalam pencabutan red notice, juga sejawat satu leting. “Memang ada yang mengaitkan kasus Joko Tjandra ini dengan suksesi Kepala Polri,” ucap Sigit, ketika ditanyai perihal ini.
Seolah-olah menjawab tudingan, Sigit menjadikan dua karibnya, Prasetijo dan Tommy, sebagai tersangka.
MUSTAFA SILALAHI, LINDA TRIANITA, RIKY FERDIANTO, HUSSEIN ABRI DONGORAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo