Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NYARIS tak percaya Musfial menyaksikan makhluk yang melintas di depan matanya. Apakah karena pengaruh daun ganja yang sedang diisapnya? Tapi ketika istrinya—yang tentu tak ikut mengisap ganja—juga ikut menyaksikan, ia yakin ”penampakan” itu nyata: seekor ikan paus besar melintas di laut Tapak Tuan. Persis di depan rumah kayu miliknya di atas bukit!
Ia yakin, itulah isyarat alam yang dikirim Yang Mahakuasa. Apalagi sepekan kemudian, 26 Desember, isyarat lain muncul. Di tepi pantai, di atas batu karang, ia melihat seorang lelaki berjubah menyorongkan tangan ke laut. ”Ia menghalau gelombang,” kata Musfial.
Seketika lelaki plontos itu berteriak kepada orang-orang di pantai. ”Lari ke bukit! Lari!” Air lalu datang, tapi tak tinggi. Orang-orang selamat. Hanya sedikit bangunan rusak karena gempa.
Ahli geologi berpendapat, Tapak Tuan luput dari maut karena alur gelombang tak mengarah ke ibu kota Kabupaten Aceh Selatan itu. Tapi Musfial yakin: dua pengalamannya itu menjadi penyebab kuat. Tak sedikit penduduk kota itu yang mempercayai kisah Musfial. Ketika gempa kedua datang, Maret lalu, penduduk beramai-ramai mendaki bukit di atas rumah lelaki itu.
Hidup Musfial lalu berubah. Kafe Gulam di kaki Gunung Lampu, yang dimilikinya sejak Agustus 2000, ia tutup. ”Dulu di sini banyak orang dangdutan,” kata Martunis Umri, paman Musfial. Gulam juga sering dijadikan tempat pacaran. Musfial sendiri menghentikan kebiasaannya mengisap bakung.
Beberapa pekan setelah tsunami, pernah Musfial membuka kembali kedai miliknya. Tapi empat polisi ia dapati berasyik-masyuk di semak dekat warungnya. ”Saya usir mereka,” katanya, ”Lalu kafe ini saya tutup lagi.” Saat ini sebuah papan larangan pacaran terpacak di depan bekas kafe yang lapuk itu.
Tapak Tuan kota pesisir. Lebih dari 90 persen penduduknya pendatang dari tanah Minang. Di sini penduduk bicara dalam bahasa Padang. Keluarga Musfial, yang turun-temurun tinggal di Tapak Tuan, juga berasal dari Sumatera Barat.
Lebih dari sekadar kota pendatang, Tapak Tuan tumbuh di atas folklore. Syahdan, tersebutlah Teuku Tuan Tapa, seorang Aceh asal Arab Saudi yang tinggal di kota itu. Ketika bersemadi di pinggir laut, Teuku Tapa melihat seekor naga datang. Binatang itu tiba untuk menculik seorang putri. Tuan Tapa berusaha mencegah. Pertempuran tak terhindarkan.
Perang itu menyisakan sejumlah jejak. Bekas kaki Tuan Tapa dipercaya tertapak di pinggir pantai di kaki gunung, berbentuk karang besar yang lamur digerus ombak. Kopiah Tapa yang terlempar membuat atol karang tak jauh dari situ. Tongkatnya tertanam di bawah air, di sisi lain pantai. Darah naga membasahi sebagian daratan yang hingga kini tanahnya berwarna merah.
Sebuah gunung terbelah dua karena tertumbuk naga yang terluka. Karena tertutup air, bekas kopiah dan tongkat tak bisa dilihat dengan mata telanjang. Ketika laut surut sebelum gempa, Musfial mengaku melihat peninggalan sejarah itu. ”Dia beruntung sudah melihat keajaiban itu,” kata Martunis.
Cerita rakyat itu diperkuat dengan adanya makam Tuan Tapa di tengah kota. Sebuah makam besar 20 x 2 meter. Di pagar dengan tembok separuh badan, di atasnya tertabur batu dan kerang-kerang besar. Disiram air hujan, kerang itu basah dan berair. ”Banyak peziarah datang ke sini,” kata Martunis, lelaki 71 tahun, kuncen itu makam.
Di dekat kedainya, Musfial berdiri. Ia ingin membangun kembali restoran itu, namun tanpa maksiat. Dua kejadian aneh telah membuat hidupnya berubah.
Arif Zulkifli (Tapak Tuan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo