Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Covarrubias, Leak, dan Calon Arang

Salah satu bagian menarik dari pengembaraan Covarrubias di Bali adalah keingintahuannya akan leak. Leak sampai kapan pun tetap menjadi teka-teki.

27 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika saya tertarik mempelajari leak, teman Bali saya melarang. Ia mengingatkan, saya pasti bakal ketiban malapetaka….

Ya, Covarrubias begitu penasaran ingin melihat dengan mata kepala sendiri sosok leak. Di mana-mana ia mendengar cerita bahwa orang yang mempelajari ilmu teluh ini mampu berubah wujud menjadi bola api, binatang atau makhluk bertaring telanjang dengan lidah menjulur dan susu menggeloyor. Dan bisa terbang di atas wuwungan rumah, lalu mengisap darah orang dewasa atau menculik bayi-bayi.

Lelaki Meksiko ini menyusuri daerah Pemecutan. Daerah ini terkenal karena setiap malam terdapat bola-bola api misterius menyala berkelebatan di pepohonan kelapa. Covarrubias mencari mereka yang pernah belajar ilmu leak. ”Saya pernah mendapat pengakuan dari seorang teman bahwa proses transformasi itu sangat menyakitkan. Mula-mula kepala seperti pecah, lambat laun lidah membengkak besar, makin memanjang, memanjang sampai ke luar mulut…,” begitu ditulisnya.

Sampai suatu hari, terbetik kabar seorang bangsawan Bali akan mendemonstrasikan kepada turis yang menginap di hotel Bali bagaimana manusia berubah menjadi leak. Malam itu, Covarrubias beserta sejumlah orang asing serta pegawai pemerintah Belanda berkumpul di sebuah pekuburan di Pemecutan.

Sang bangsawan meminta agar mematikan senter. Suasana gelap-gulita. Setelah lama menunggu, mendadak ada cahaya hijau berkelebat di salah satu gundukan makam. Mereka menahan napas. ”Tapi seorang petugas Belanda di samping saya tiba-tiba menyalakan dan mengarahkan senternya, cahaya hijau jadinya lenyap.”

Pernah Covarrubias mendapatkan lontar yang isinya petunjuk-petunjuk menjadi leak. Dengan bantuan seorang guru, ia berusaha memahami. Di situ diuraikan ada 48 jenis transformasi, lengkap dengan rapalannya. Entah mencoba mempraktekkan atau tidak, yang jelas ia menuliskan, misalnya untuk berubah menjadi monyet seseorang harus merapalkan ”AH! Hreng hrang hrung, UH! Heh kwek kwek” sebanyak tiga kali. Untuk kembali ke normal, ia harus mengucap mantra pembersihan: ”Ong, Brahma mulih ring serira teka sedep telas, muksaning djati, teka purna, teka udep, teka udep, teka udep, ening djanma djati….”

Covarrubias juga aktif memburu pertunjukan Calon Arang. Calon Arang adalah drama yang dalam kisahnya terdapat seorang tokoh yang melakukan praktek pangleakan. Tersebutlah Janda Dirah. Lantaran putrinya, Ratna Menggali, yang cantik ditolak jadi istri raja, ia lalu berubah wujud menjadi rangda, makhluk mengerikan yang menyebarkan wabah. Para pemuda berkeris melawannya. Tapi, atas kesaktiannya, para pemuda itu malah terhipnotis menusuk-nusukkan keris ke dada sendiri.

Mpu Baradah mencegah agar darah tak mengucur. Oleh Mpu Baradah, lalu dimunculkan barong yang melawan leak. Barong melakukan eksorsisme atas daya-daya jahat. Terjadilah pertempuran abadi antara rangda dan barong. Covarrubias menyaksikan sering para penari keris sampai berguling-guling di tanah, histeris, menangis meraung-raung bak anak kecil, bercucuran air mata. Sementara pemain yang memerankan rangda kerap kerasukan, mengamuk tak terkontrol, lalu lari ke kegelapan pohon-pohon.

Sampai Covarrubias pulang, ia tetap belum melihat leak. Tapi bukunya meninggalkan cerita-cerita eksotik. Tentang perang teluh di malam hari—yang membuat langit seperti berpendaran. Tentang Calon Arang yang bisa membuat baik pemain maupun penonton trans. Yang bila dibaca orang bisa menimbulkan pertanyaan: benarkah mereka bisa menyaksikan semua itu?

Ilmu pangleakan, seperti kata I.G.B. Sudiasta—ahli lontar, mantan Kepala Gedung Krtya, gedung tempat penyimpanan lontar di Singaraja—sejatinya memang ada. Tapi ilmu itu sangat disakralkan, ditutup-tutupi. Sesuai dengan ajaran ”aje were” atau ketatasusilaan, ilmu tersebut memang tidak boleh disebarkan kepada orang lain yang tidak membutuhkan, apalagi turis. Di Bali, menurut dia, terdapat beragam lontar tentang pangleakan.

”Ajaran leak mengandung dua sisi pengiwa dan penengen. Pengiwa itu ilmu hitam, sementara penengen untuk penyembuhan.” Di Bali biasanya para balian (dukun) atau tabib-tabib pengobatan tradisional harus tahu juga hal-ihwal ilmu leak. Sebab, untuk mengobati penyakit, mereka harus mengenal penyakitnya. ”Jadi, kalau orang itu mempelajari ilmu leak, tidak berarti mereka selalu jahat. Karena tergantung dari tujuan atau visi-misi orang yang mempelajarinya,” tutur Sudiasta.

Menurut dia, ilmu pangleakan terdiri atas berbagai tingkatan. Dan orang yang mendapat celaka, menurut dia, tergolong pemula. ”Yang berubah menjadi bola api, monyet, kambing, babi, atau kerbau juga diklasifikasikan rendah,” katanya. Yang rendah menyerang dengan cara menanam rajah di pekarangan atau di kuburan. Sedangkan yang tinggi mampu menggunakan medium raganya sendiri. Mampu mengirim kekuatan sengatan seperti listrik. ”Korban biasanya terbujur kaku, lebam kebiru-biruan terbakar seluruh tubuhnya,” katanya.

* * *

Memang semua itu terlihat mustahil. Covarrubias pun menulis: mayoritas warga Bali tak pernah melihat keberadaan leak, tapi mereka tetap percaya. Itu diakui oleh peneliti Calon Arang, Prof I Wayan Dibia, dari STSI Denpasar. ”Saya sendiri tak pernah melihat perubahan wujud leak menjadi api, monyet. Tapi bukan berarti saya tak percaya. Kenyataan ada aroma magis. Itu saja sudah membuktikan.”

Prof Ni Luh Suryani pun berpendapat demikian. ”Sampai tahun 1965, di Denpasar masih terasa suasana magis dari pohon-pohon besar. Orang-orang tidak berani jalan kaki sendiri. Banyak sinar berseliweran, biru, merah, mungkin itu leak.”

Menurut Wayan Dibia, pertunjukan Calon Arang yang dideskripsikan Covarrubias adalah pertunjukan yang asli. Itu cocok dengan cerita yang pernah didengar dari kakek-kakeknya. ”Bayangkan ketika pertunjukan akan dimulai, tak ada cahaya sedikit pun. Suasana seperti memberi kesempatan kepada sel otak dan rasa manusia untuk menerima aspek terdalam dari kisah Calon Arang.”

Sampai tahun 1986, saat melakukan penelitian di daerah Timpag, Prof Ni Luh Suryani masih menemukan pertunjukan Calon Arang seperti itu. ”Di sana lampu dipadamkan, tidak boleh ada api, rokok dimatikan sewaktu ada upacara penyambungan kepala rangda dengan tubuhnya. Mereka juga mengundang leak-leak dengan cahaya bertebaran warna-warni. Tentu itu bagi orang yang bisa melihat. Semua itu masih ada,” tuturnya mengenang.

Menurut Suryani, atmosfer pementasan yang demikian sekarang sudah jarang. ”Itu karena tidak ada pohon-pohon besar yang mendukung suasana magis dan di mana-mana kini mobil berlalu-lalang.” Meski dicoba diciptakan suasana magis, sudah tidak bisa. Pernah ia melihat sebuah pertunjukan Calon Arang yang tak jadi digelar lantaran para pemain gamelan tidak datang. ”Padahal, menurut Covarrubias dan juga yang saya rasakan waktu kecil, pemain gamelan tidak akan berani mangkir jika diminta mengiringi Calon Arang.” Sekarang, katanya, semuanya berpikir uang, pertunjukan sakral pun ada tarifnya.

* * *

Wayan Dibia pun melihat fenomena ini. Sepuluh tahun terakhir, menurut dia, pertunjukan Calon Arang banyak mengalami perubahan. Muncul banyak pertunjukan yang mengedepankan sisi kesaktian, tapi dari duduk persoalan cerita terasa dangkal. ”Sekarang pertunjukan porsinya banyak untuk pameran kekuatan dan kekebalan,” Dibia menambahkan.

Dalam struktur pertunjukan Calon Arang, adu kekuatan itu biasanya terjadi saat Nyi Dirah menimbulkan kematian. Di situ para pemain sering menampilkan ”mayat-mayatan”. Lalu terjadi saling serang di antara pemeran, bahkan dengan orang ”yang dimatikan” itu. ”Ironisnya, penonton lebih tertarik dengan babak-babak tersebut dan menganggap itulah klimaksnya. Padahal inti Calon Arang, ya, terletak pada petuah-petuah yang biasanya muncul dalam adegan serius,” keluh Dibia.

Dibia bisa membayangkan, di zaman Covarrubias dahulu, sebuah pertunjukan yang serius lebih dari sekadar unjuk kekuatan dan banyolan. Sebagaimana sempat disaksikannya tahun 1960-an. Bila pulang menonton Calon Arang, kenangnya, segala perasaan seperti bercampur-baur, antara ngeri, segan, cemas, gembira, ada semua. Penonton akan pulang membawa filosofi yang meresap dalam tidur dan mimpi mereka. Bahwa gelap dan terang itu abadi—seperti pertempuran abadi Mpu Baradah yang terus-menerus menghidupkan orang mati yang diteluh oleh Sang Janda. Bahwa kejahatan dan kebaikan adalah dua sisi berbeda yang saling melengkapi—bersifat rwa bhineda. Ada saatnya ketika kebaikan akan menang dalam pertarungan, seperti pada satu titik ketika Nyi Dirah menyerah dan minta dibunuh.

Pertunjukan Calon Arang yang berlangsung empat jam sekarang ini, menurut Dibia, meliputi satu jam pembuka, dua jam petuah yang diwarnai banyak humor, satu jam unjuk kekuatan. ”Ada perubahan selera masyarakat. Anak muda sekarang cenderung ingin menampilkan hal-hal berbau kejutan. Dan itu dipengaruhi oleh budaya lain yang masuk ke Bali,” katanya.

Betapapun demikian, Dibia yakin pertunjukan Calon Arang yang magis seperti era dahulu masih ada. Terutama apabila datang ke pelosok-pelosok. ”Silakan ke Singapadu atau Karang Asem, di sana pertunjukan masih seperti dulu,” katanya. Di Karang Asem, misalnya, terkenal ada perguruan Sandhi Murti. Pemimpinnya Ngurah Harta, yang pada bulan-bulan tertentu menampilkan pertunjukan.

”Sebetulnya tubuh manusia itu tidak berubah. Tetapi, dengan melakukan sugesti lewat mantra, seseorang yang menguasai pangleakan bisa dipandang berubah menjadi makhluk tertentu.” Harta berusaha menjelaskan ke Tempo tentang pandangan umum yang salah yang melihat perubahan wujud seorang yang belajar leak adalah perubahan secara fisik.

Menurut Ngurah Harta, asal-usul ilmu leak sesungguhnya adalah ajaran Tantrayana—pemujaan terhadap Sakti Siwa. Itu tertera dalam lontar Durga Purana Tatwa. Guru besar Fakultas Sastra Universitas Udayana, Prof Dr A.A. Putra Agung SU, 68 tahun, kelahiran Karang Asem, juga melihat ilmu pangleakan berakar pada ajaran Tantrisme. Salah satu jejaknya menurut dia adalah adanya patung laki-laki sedang menari dengan kelamin telanjang di Candi Kebo Edan, Pejeng.

Tapi, betapapun magisnya, apa yang ditampilkan kelompok Harta menurut Prof Putra Agung tetap berbeda dengan masa lalu. Dahulu ilmu pangleakan adalah ilmu tertutup dan hanya ada di kalangan tertentu. Kini orang seperti Ngurah Harta berani menyatakan diri secara terbuka sebagai penekun ilmu itu dan malah mengajarkannya—dan mau diwawancarai. Itu hal baru….

Seno Joko Suyono, Rilla Nugraheini, Alit Kertaraharja, Rofiqi Hasan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus