Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Postmortum Message to Miguel Covarrubias, Nacimiento de Miguel Covarrubias, Cremacion de Miguel Covarrubias, Vida y muerte de Miguel Covarrubias. Judul-judul itu diberikan oleh Sergio Lopez Orozco, 59 tahun. Lelaki itu jauh-jauh datang dari Meksiko ke Bali membawa lukisan-lukisannya yang istimewa. Dibuat di atas kertas-kertas buatan tangannya sendiri.
Bahannya adalah kambium pohon ficus, sejenis tanaman khas yang hanya tumbuh di Meksiko. Kertas-kertas itu diproses dengan teknik yang dipelajarinya dari sebuah suku indian kuno Meksiko. Semua buah karya Orozco itu adalah penghormatan yang ditujukan pada sebuah nama: Miguel Covarrubias.
Di Arma Museum, Ubud, yang asri milik Agung Rai itu sejak minggu lalu diadakan peringatan 100 tahun Covarrubias. Inilah nama yang seharusnya akrab dengan kita tapi mungkin terlupakan. Covarrubias adalah seniman tersohor Meksiko yang pada awal 1930-an mengembara—berbulan madu dengan istrinya, menyusuri Bali; dan pada 1937 meluncurkan buku Island of Bali. Sebuah buku yang disebut-sebut memiliki andil besar membuat Bali seterkenal sekarang ini.
Ketika diluncurkan pertama kali di New York, konon, buku itu membangkitkan ”Baliomania” di kalangan seniman. Covarrubias memang disebut-sebut mempengaruhi keinginan banyak peneliti Amerika dan Eropa untuk datang. Mereka ingin melihat pura, drama dan tari, kesurupan-kesurupan, ensambel besar gamelan, ritual-ritual, dan festival kematian yang melibatkan puluhan ribu orang—pendeknya, semua ”keajaiban” yang dikisahkannya.
”Sebetulnya, sebelum Covarrubias datang, banyak peneliti Belanda seperti Dr Goris yang menulis buku, tapi karena tulisannya ilmiah malah tak dikenal. Sementara itu, buku Covarrubias enak dibaca, populer sehingga sampai kini dicetak terus.” Kata-kata Prof Dr James Danandjaja, antropolog Universitas Indonesia, menandakan buku itu masih relevan digunakan sampai sekarang.
Covarrubias di negaranya dikenal sebagai seorang yang tertarik pada kebudayaan Pre-Kolombia: Inca dan Maya. Dari bukunya, Island of Bali, kita dapat melihat betapa ia tak dapat menyembunyikan keterpukauannya menemukan di Bali denyut kebudayaan arkais masih terjaga, bukan sekadar artefak. ”Bali adalah museum hidup.” Kata-kata terkenal ini sesungguhnya adalah kata-kata Covarrubias. Bahkan Soekarno pun terpikat oleh buku Covarrubias. ”Membaca buku Covarrubias, Soekarno memutuskan untuk mengirim duta budaya Gong Gunung Sari, sebuah kelompok gamelan Bali, ke Amerika dan Eropa pada 1942,” kata Agung Rai.
Covarrubias lahir pada 1904 di sebuah daerah bohemian Meksiko. Ayahnya adalah seorang insinyur yang bekerja untuk Presiden Porfino Diaz. Sejak muda, Covarrubias dikenal sebagai angry young man Meksiko. Ketika SMA ia menentang gurunya dan keluar dari sekolah. Orang selanjutnya mengenalnya sebagai otodidak. Ia berguru pada penyair Jose Juan Tablada-dan aktif membuat karikatur. Pada umur 19 tahun, ilustrasi-ilustrasinya telah menyebar ke surat-surat kabar Amerika Selatan dan Tengah.
”Ia seorang yang cerdas yang pada usia muda sudah bisa membuat merah telinga penguasa. Ia berkeliling Meksiko, membuat tulisan dan karikatur yang mengkritik kebijakan ekonomi-politik pemerintah,” kata Orozco.
Nama Covarrubias melambung saat ia pindah ke New York pada 1923. Bakatnya sebagai karikaturis melesat. Karya-karyanya menjadi langganan majalah Vanity Fair, Fortune, New Yorker, Life. Ia dianggap memelopori kartun satire gaya baru yang menyegarkan. Ia kerap membuat anekdot selebriti dan politikus. Sebuah karyanya yang berjudul Marlene Dietriech vs Senator Smith W. Brookhart menggambarkan bom seks asal Jerman itu berdiskusi serius dengan seorang senator Amerika yang konservatif. Di New York, Covarrubias masuk dalam lingkungan pergaulan elite. Rockefeller dan Alfred Knopft adalah temannya.
Covarrubias juga adalah sahabat baik pasangan pelukis masyhur Meksiko: Diego Rivera dan istrinya, Frida Kahlo. Beberapa foto mereka bertiga menunjukkan keakraban. ”Memang ada gosip di masyarakat antara Frida dan Covarrubias hahaha,” kata Orozco. ”Saya pernah melihat foto mereka bersama. Frida melirik ke Covarrubias, sementara Covarrubias memandang Frida dengan sorot sentimental.”
Pada 1924, Covarrubias berjumpa dengan Rosa Rolanda, seorang penari kelompok Morgan Dancers yang sering tampil di Broadway pada 1924. Ia lalu menikahi perempuan kelahiran Los Angeles itu.
Keterpesonaannya pada Bali lahir suatu hari pada 1930, saat Covarrubias melihat album foto dengan judul Bali karya Gregor Krause yang dibuat pada 1912. Hatinya berdesir. Hasratnya tak tertahankan untuk bisa tinggal di pulau ”ujung dunia” itu .
Beberapa bulan kemudian, pasangan suami-istri itu naik kapal Cingalese Prince menuju Jawa. Perjalanan ditempuh selama enam minggu. Dari Jawa, ia naik kapal Belanda, mendarat di Buleleng. Di Buleleng, mereka menyewa rumah milik bekas salah satu istri Raja Klungkung yang selamat dari Perang Puputan. Dari Klungkung, mereka menuju Denpasar. Di Denpasar mereka tinggal di sebuah rumah di daerah Belaluan milik Gusti Alit Oka, keturunan Raja Badung yang juga selamat dari Perang Puputan.
Dengan Chevrolet tua sewaan, tiap hari Covarrubias keluyuran mengunjungi berbagai sudut Bali. ”Walters Spies menjadi pembimbingnya,” kata Agung Ray. Memang, Spies, pelukis asal Jerman itu, menjadi semacam mentor pertamanya tentang Bali. ”Saya tak menduga ia bakal menjadi kawan akrab saya. Saya pernah melihat lukisannya dan kagum,” tulisnya. Lalu ia bercerita bagaimana Spies gemar mengoleksi serangga, laba-laba aneh, siput untuk digambar, kemudian dilepas lagi.
Saat balik ke Amerika, pasangan ini sempat transit di Paris. Saatnya bertepatan dengan diselenggarakannya Expo Kolonial 1932—di antaranya, rombongan Bali yang dipimpin Tjokorde Ubud menggetarkan seniman Prancis, termasuk komponis Debussy dan dramawan Antonin Artaud. Gara-gara itu, tiba-tiba Covarrubias merasa sayang meninggalkan Bali. ”Saya merindukan Bali,” tulisnya.
Pada 1933, Covarrubias mendapat beasiswa dari Guggenheim Foundation untuk meneliti Bali. Ia dan Rosa balik ke Bali. Mereka sempat tinggal di rumah Walter Spies dekat Sungai Campuan, Ubud. Kemudian kembali ke Belaluan, Denpasar, menyewa rumah Gusti Oka.
Pada kunjungannya yang kedua itulah ia intens menyelami detak kehidupan Bali. Bila di sela-sela petualangannya ia membuat ilustrasi, Rosa, istrinya, sibuk dengan kameranya.
Dalam Island of Bali kita dapat melihat jepretan kamera Rosa merekam mulai dari peristiwa yang paling riuh seperti Ngaben sampai yang paling senyap seperti perahu yang sendirian di pinggir pantai. Bila banyak foto Rosa yang menampilkan para maestro seniman Bali seperti penari I Mario atau pemusik Wayan Lotring, itu karena Covarrubias berteman dan saksi kehidupan mereka yang mengharukan.
Minat Covarrubias pada suatu ”perbandingan” bangkit di Bali. ”Spies sangat antusias terhadap sesuatu yang berbau megalitik. Ia sampai mencari ke tempat terpencil, patung-patung batu yang tidak terpengaruh kebudayaan Hindu,” tulis Covarrubias. Ia melihat di Bali memang banyak terdapat patung berbentuk aneh seperti altar batu di Batu Kandik, Nusa Penida. Patung-patung itu mengingatkan bentuknya pada patung Dayak, Batak, bahkan seni-seni Polynesia. Ini menimbulkan spekulasi tentang asal-usul masyarakat asli Bali.
Covarrubias bersama Spies melakukan ekspedisi masuk hutan lebat antara Gunung Batur dan Bratan. Mereka menuruni jurang-jurang yang licin. ”Kami menemukan banyak patung berlumut yang kentara sekali tak terpengaruh Hinduisme. Patung ini lebih dekat ke kebudayaan Polynesia,” tulisnya.
Covarrubias melihat desain-desain lamak atau cili, salah satu motif pra-Hindu yang populer di kalangan masyarakat. Lamak adalah dekorasi dari janur yang menampilkan simbol gunungan, kekayonan, bulan, bintang, matahari, sementara cili menggambarkan dewi kesuburan. Semuanya umum, ditampilkan dalam upacara-upacara.
Buku Covarubbias selanjutnya adalah saksi kehidupan sehari-hari orang Bali yang masih puitis. Bagaimana orang Bali melewatkan waktunya, dari kelahiran sampai kematian, semua digambarkan dalam harmoni; bagaimana orang Bali memiliki banyak waktu luang sehingga dapat menciptakan aneka bentuk karya kesenian.
Dalam sebuah bagian bahkan Covarrubias menggambarkan saat panen yang disambut orang Bali dengan bekerja sambil menyanyi gembira. Menurut Prof Luh Ktut Suryani, mereka yang masih kecil pada 1950-an, membaca buku Covarrubias seperti bernostalgia. ”Sekarang kan yang mengetam bukan lagi orang Bali, tapi orang luar yang selalu bergegas dan tidak bernyanyi; selalu berpikir cepat-cepat kelar,” katanya.
”Uraian Covarrubias memberi inspirasi untuk orang yang mau mendalami,” kata Prof James Dananjaya yang disertasinya tentang Trunyan. Menurut Dr I Nyoman Darmaputera, dosen Fakultas Sastra, Universitas Udayana, dalam meneliti Covarrubias lebih menggunakan perasaan dan tak terlalu berpretensi melakukan penilaian teoretis. ”Itu sebabnya uraiannya memikat, sementara antropolog seperti Clifford Geertz selalu berdasarkan riset yang diformat,” kata lulusan Universitas Queensland itu.
Salah satu bagian terpenting buku Covarrubias justru terletak pada bab terakhir. Setelah uraian panjang tentang segala hal di Bali, ia sampai pada pertanyaan tentang masa depan Bali: apakah Bali akan bertahan? Ia cenderung percaya: ya! Untuk itu ia mengetengahkan kegagalan misionaris di Bali. Selama lebih dari 200 tahun, para zending tak berhasil menyebarkan pengaruhnya di Bali karena berhadapan dengan benteng budaya yang ketat.
”Misionaris Katolik pertama adalah dua pastor dari Malaka yang datang pada 1635. Mereka adalah pastor Manuel Carualho SJ dan Azeuado SJ. Mereka datang setelah mendapat izin dari Raja Klungkung,” kata Romo Subanar SJ kepada Tempo.
Hal itu juga terdapat dalam buku Covarrubias. Pengaruh mereka tak begitu berarti. Covarrubias menceritakan kisah seorang remaja Bali yang masuk Protestan, lalu berganti nama menjadi Nicodemus. Ia diasingkan dan dianggap mati oleh warga dan sanak saudara. Secara mental ia tersiksa. Tidak kuat menanggung, ia lalu membunuh pendeta yang mengasuhnya. Ia meninggalkan agama barunya dam minta dihukum secara hukum adat. ”Itu terjadi pada 1881,” kata Romo Banar. Kasus ini menjadi ramai di Belanda. Gara-gara itu Belanda menetapkan Bali sebagai tempat konservasi budaya.
Seperti dicatat Covarrubias, datang zending lain pada 1891, 1920, dan 1922. Kali ini Katolik. Kemudian pada 1930-an, giliran misionaris Protestan Amerika. Saat itu Dr Kramer, pemimpin misionaris Amerika, datang sendiri ke Bali, meneliti, dan menyimpulkan bahwa agama di Bali telah makin pudar, dan ia melihat Bali membutuhkan Kristen. Tapi intelektual Eropa yang waktu itu tinggal Di Bali, termasuk Walter Spies, menentang habis-habisan pandangan ini.
Island of Bali yang terbit juga cenderung menyokong penolakan itu. ”Bali sama sekali bukanlah tempat kaum misionaris dapat memperbaiki standar fisik dan moral masyarakat. Agama bagi orang Bali lebih dari sekadar musik, tari, teater spektakuler untuk kesenangan belaka. Agama bagi mereka adalah hukum kekuatan-kekuatan yang menyatukan masyarakat…,” tulis Covarrubias.
Bali yang tangguh terhadap misionaris seyogianya, diharapkan Covarrubias, tangguh juga menghadapi gempuran pariwisata. ”Covarrubias optimistis Bali akan bisa bertahan. Dia yakin Bali akan mampu dengan inteligensianya mengadopsi kebudayaan luar,” kata Nyoman Darmaputra. Itulah tesis Covarrubias yang menjadi bahan perdebatan sampai kini.
”Saya dulu juga sepakat seperti Covarrubias bahwa Bali mampu bertahan, tapi sekarang tidak,” kata Prof Luh Ktut Suryani. Ia sendiri adalah seorang psikiater yang disertasinya menganalisis kepribadian orang Bali. Buktinya? Ia menunjuk Denpasar yang ”hampir tak bersisa”. Menurut Suryani, orang Bali mengalami kemerosotan luar biasa dalam mempertahankannya budayanya. ”Sekarang ini semua berbicara tentang uang, uang, dan uang.”
Memang, perubahan adalah sesuatu yang tak terelakkan. Dulu Covarrubias kagum karena di jalanan Bali tak terdapat gelandangan, sementara kini sebaliknya. ”Kini orang Buleleng dan Tabanan banyak jadi pembantu. Dulu tak mungkin karena terkenal dengan kesuburan tanah,” tutur Suryani. Salah satu biang keroknya, menurut dia, penjualan tanah besar-besaran untuk pariwisata kepada orang luar.
”Pemerintahlah yang merusaknya. Kalau dulu tidak ada pemaksaan penerapan sertifikasi tanah, tidak akan seperti ini” kata Suryani. Dulu, tanah-tanah milik keluarga itu tidak diatasnamakan perorangan, tetapi keluarga besar. Sertifikasi memaksa tanah-tanah keluarga bernama pribadi. Hal itu, menurut dia, memicu penjualan sekaligus permusuhan keluarga. Sertifikasi tanah telah membuat orang Bali bentrok dengan anggota keluarga sendiri.
Ruang kosong adalah konsep yang penting dalam kosmologi Bali. Covarrubias melihat di Bali di mana pun selalu ada pembagian ruang sakral dan profan. Yang mengesankan baginya bahwa di Bali selalu ada ruang-ruang sakral yang lapang. ”Sekarang jaba (bagian luar pura) banyak yang dipakai sebagai lapangan badminton, taman kanak-kanak, dan tempat senam. Kalau dewa-dewa ikut senam, kan tidak mengurusi kita lagi hahaha,” kata Suryani.
Menurut Suryani, Pura Uluwatu, misalnya, meski masih bernuansa Bali, kini gersang karena lumut-lumut dibersihkan, pohon ditebang. ”Tempat-tempat suci orang Bali itu sudah dipangkas oleh orang Bali sendiri sehingga dewa-dewa seperti dicukupkan masuk ke tempat sempit. Energinya tidak keluar….”
Dari Bali, Covarrubias dan Rosa kemudian kembali ke Meksiko. Rumah mereka di Tizapan, di luar Kota Meksiko, menjadi tempat berkumpul para maestro Meksiko seperti Rivera, Kahlo, Roberto Montenegro, Charlos Chavez, Rufina Tamayo. Juga menjadi tempat persinggahan para seniman dunia. Rumahnya seperti rumah Virginia Woolf di Bloomsbury atau rumah Gertrude Stein di Paris. Ia dijuluki Renaissance Man from Mexico. ”Covarrubias termasuk dalam gerakan intelektual besar di Meksiko,” kata Orozco.
Apalagi kemudian ia menjadi direktur museum purbakala. ”Covarrubias melakukan hal besar. Ia mengumpulkan, menata, mengklasifikasi, dan menempatkan serpihan artefak kuno peninggalan peradaban masa lampau, seperti peninggalan suku Aztec dan lain-lain,” tutur Orozco.
Dalam ”lingkaran seniman-intelektual” itulah nama Bali makin tersohor. Dalam sebuah tulisannya, Covarrubias menggambarkan Bali: penuh dewa yang bergerak bebas di ruang-ruang lapang, bukan di ruang-ruang yang disediakan pariwisata. Citra itu yang terus berlangsung setelah Covarrubias meninggal pada Februari 1957. ”Apa yang ditulis selalu menyisakan pertanyaan mengenai apa yang tidak ditulis. Kalau ingin melihat sejarah hitam Bali, jangan baca Covarrubias, tapi, misalnya, buku Jefry Robinson, The Dark Side of Paradise, sisi gelap Bali, tempat raja sangat kejam sampai pembunuhan massal pada 1960-an,” tutur I Nyoman Darmaputra.
Di New York, untuk memperingati 100 tahunnya (dihitung dari tahun kelahirannya), sebuah museum menampilkan pameran Miguel Covarrubias: Certain Clairvoyance. Tapi di sini, orang tak banyak yang mengingat, padahal refleksinya penting untuk membaca tanda-tanda zaman di Bali, kecuali sebuah pameran kecil di Ubud.
Seno Joko Suyono, Rilla Nugraheini, Rofiqi Hasan, Evieta Fajar, L.N. Idayani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo