Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jack the Ripper "hidup" kembali. Koran-koran di London menempatkan beritanya pada headline dan halaman muka. Jumlah turis yang mengikuti wisata napak tilas Jack the Ripper di ibu kota Inggris ini meningkat. Tur tersebut membawa pengunjung ke semua lokasi pembantaian lima wanita tunasusila yang terjadi pada 1888.
"Animo pengunjung mencapai puncaknya ketika seorang ilmuwan mengungkap jati diri sang pembantai, yakni seorang imigran Yahudi Polandia berusia 23 tahun yang bernama Aaron Kosminski," ujar Richard Jones, salah satu pemandu tur. Jones mengenakan ongkos 10 pound sterling atau sekitar Rp 200 ribu kepada wisatawan. Dalam setiap perjalanan malam itu, ada 8-10 grup, dan satu grup diikuti sampai 50 pengunjung.
Kami sepakat berkumpul di stasiun kereta Tower Hill. Alayna, perempuan paruh baya asal Prancis, bergabung dengan tur horor ini karena ia terobsesi oleh misteri rangkaian pembunuhan brutal tersebut. Ia mengaku mengoleksi buku fiksi yang terilhami cerita Jack the Ripper. "Saya ingin merasakan pengalaman langsung menjejaki situs-situs pembantaiannya. Suasana tur yang dilakukan pada malam hari di musim gugur yang berangin dingin ini pasti akan membuat situasi lebih mencekam," tuturnya.
Wilayah utama yang akan ditelusuri adalah area The East End of London atau London Timur. Pada era Ratu Victoria (1837-1901), daerah ini merupakan kawasan industri yang kotor, tempat tinggal buruh kasar dan imigran, yang padat dan sangat kumuh.
"Berbeda dengan The West End of London atau City of London, yakni bagian barat London, yang identik dengan kawasan komersial, pusat bisnis, pemerintahan, dan tempat tinggal kaum elite, London Timur dikenal sebagai area berkembangnya kriminalitas, kemiskinan, dan prostitusi," ucap Jones.
Jones sendiri telah mempelajari dunia "Ripperologi" atau kajian dan analisis mengenai kasus Jack the Ripper selama puluhan tahun. Ia akhirnya terjun ke area turisme untuk meneruskan wawasannya kepada peminat The Ripper.
Bergerak menuju lokasi pembunuhan pertama, ia menggarisbawahi: pembantaian beruntun terhadap lima pramuria terjadi hanya dalam sepuluh minggu. Korban pertama ditemukan pada 31 Agustus dan korban terakhir pada 9 November 1888. Empat dari lima korban ditemukan di Distrik Whitechapel dan Spitalfields, London Timur. Hanya satu korban yang ditemukan di City of London atau pusat Kota London.
"Tragedi ini adalah pembunuhan berantai perdana yang terjadi di Inggris, sehingga dua kesatuan kepolisian dari dua wilayah The Metropolitan Police untuk London Timur dan The City of London Police pada masa itu bekerja sama menginvestigasi kasus ini," ujar Jones.
Sesaat kemudian, tibalah saya dan turis lainnya di lokasi kejadian pertama, tempat jenazah Mary Ann Nichols, perempuan pekerja seks, ditemukan terbaring di atas trotoar Buck's Row Road. Jones menjelaskan secara detail bagaimana kondisi korban saat ditemukan.
"Tenggorokannya tersayat melintang dengan perut terburai," kata Jones. Para pengunjung pun tak bisa menyembunyikan ekspresi ketakutan sekaligus tak percaya terhadap apa yang didengar.
Adapun Buck's Row Road telah berganti nama menjadi Durward Street atas permintaan warga sekitar dan demi kenyamanan mereka. Sekilas lingkungan ini tampak sepi dan jarang sekali saya lihat kendaraan bermotor, apalagi orang yang melintas—karena memang bukan lintasan utama. Lingkungan kumuh London Timur yang dideskripsikan Jones pada awal tur belum tampak jelas di mata kami. Mungkin karena jalanan sudah beraspal dan gedung-gedung tua sudah dipugar menjadi permukiman penduduk berbentuk flat.
Kini kami melintasi terowongan tua yang hanya cukup dilintasi satu mobil, tapi di sisi ujung terowongan ada satu area yang cukup luas. Langkah kami berhenti di area yang dipenuhi tong sampah, juga drum besar, yang tampak berfungsi sebagai ruang terbuka penyimpanan barang atau pembuangan sementara. Dinding terowongan berwarna cokelat kusam, dipenuhi lumut, dan lembap.
"Hampir dua dekade lalu, kolong jembatan ini adalah tempat prostitusi yang kondisinya paling buruk di London Timur. Coba bayangkan, rentetan peristiwa pembunuhan terjadi di musim gugur saat hujan dan angin tak hentinya menerpa daratan Inggris," tutur Jones. Ia memberikan gambaran bagaimana sebelumnya di bawah terowongan ini terbangun sekat-sekat berukuran 2 x 2 meter dengan lantai yang becek dan licin.
"Akibat kesulitan ekonomi, kebanyakan perempuan pada masa itu tidak memiliki pilihan selain bekerja sebagai pramuria. Padahal harga jasa mereka tergolong paling murah di antara profesi lain," Jones menambahkan.
Kami pun melanjutkan perjalanan ke sebuah gereja tua bernama St Botolph's Church, Aldgate. Seperti tipikal bangunan bersejarah Inggris, gereja ini terbuat dari batu bata kecokelatan. Namun yang membuat kami tersentak saat Jones mengemukakan bahwa gereja yang berusia lebih dari seribu tahun ini dikenal sebagai gereja prostitusi pada era Ratu Victoria.
"Setiap malam, sekitar 200 pekerja seks berdiri di sekeliling gereja. Mereka mengincar pelanggan yang baru pulang bekerja, dari kalangan bawah hingga menengah ke atas." Richard Jones mengajak kami mengitari gereja. Situasi di sekitar Gereja St Botolph kini tampak normal dengan aktivitas pejalan kaki yang lalu-lalang di trotoar sekitar bangunan zaman Abad Pertengahan itu. Ternyata dua lokasi prostitusi yang ditunjukkan Jones diduga kuat adalah tempat para korban bekerja melayani pelanggan, juga kemungkinan pertemuan mereka dengan Jack the Ripper.
Angin malam semakin menusuk kulit ketika saya dan rombongan kembali melanjutkan perjalanan. Kami melangkah lebih cepat menuju Hanbury Street di Distrik Spitalfields. Bangunan yang masih tampak baru ini merupakan lokasi penemuan korban kedua Jack the Ripper, yakni Annie Chapman. Pada 8 September 1888, jenazah Chapman tergeletak di halaman belakang rumah yang kini telah berubah menjadi gedung parkir mobil.
"Metode pembunuhan hampir sama dengan korban pertama, leher disembelih dan perut terkoyak. Namun rahim Annie tidak ditemukan oleh petugas forensik saat itu."
Korban ketiga, Elizabeth Stride, ditemukan tak bernyawa pada 30 September 1888 di trotoar Berner Street, yang kini berubah nama menjadi Henriques Street. Saat pembunuhan terjadi, kemungkinan besar si pembantai terganggu oleh kedatangan seseorang, dan ia pun tidak melakukan metode pembunuhan yang serupa seperti sebelumnya.
"Darah yang mengalir dari leher Elizabeth masih segar ketika ditemukan oleh seorang pegawai klub bernama Louis Diemschutz. Dan tidak ada tanda mutilasi di bagian perutnya kecuali luka cabikan di sepanjang leher," Jones menjelaskan.
Tempat pembunuhan korban ketiga dan keempat hanya berjarak satu jam perjalanan. Lokasi kejadian selanjutnya adalah satu-satunya tempat di luar London Timur, tepatnya di Mitre Square, City of London. Kali ini Jones menjelaskan jenazah Catherine Eddowes ditemukan dalam posisi telungkup oleh polisi City of London di salah satu sudut lapangan kecil ini.
"Menurut kesaksian dokter yang melakukan otopsi, metode pembunuhan sama persis dengan pola mutilasi Jack the Ripper terhadap korban yang pertama dan kedua. Namun, setelah diperiksa lebih lanjut, cara pelaku memindahkan organ sangatlah teliti, tidak seperti menyembelih hewan. Tampak seperti orang yang memiliki wawasan medis. Maka pada saat itu muncul spekulasi bahwa pelaku adalah seorang dokter atau mahasiswa kedokteran," Jones menerangkan.
Area Mitre Square tempat kami berdiri persis di samping lokasi jenazah Eddowes ditemukan ini tengah dibangun dan banyak terjadi perubahan sejak 126 tahun silam. Namun inilah satu-satunya tempat yang namanya tetap bertahan.
Lokasi pembunuhan terakhir yang kami kunjungi adalah Dorset Street, Distrik Whitechapel, London Timur. Jones meminta kami melihat gedung pertokoan yang berhadapan persis dengan bangunan parkir lima lantai yang tampak masih baru. Di salah satu ruko, aktivitas bongkar-muat barang dagangan masih berlangsung pada malam itu. Para pekerja tampak bersenda-gurau seraya melihat ke arah kami yang berdiri persis di depan toko mereka. Kami tak merasa tercekam sama sekali dengan suasana lingkungan tersebut.
Mary Jane Kelly merupakan korban pembantaian yang paling brutal—sampai Jones sendiri tak mau mendeskripsikannya. Kelly ditemukan tak bernyawa di atas ranjang pada 9 November. Ia angkat tangan. "Silakan Anda melihat sendiri foto korban yang tersedia di Internet. Saya jamin Anda tak ingin saya menjelaskannya secara detail," kata Jones.
Lokasi terakhir yang kami kunjungi adalah Old Spitalfields Market atau Pasar Lama Spitalfields. Secara fisik, pasar ini sama sekali jauh dari label "tua". Justru seperti pasar urban yang dipenuhi gerai makanan hingga berbagai toko busana trendi yang bernaung di sebuah gedung modern dengan pelataran luas. Pasar Spitalfields merupakan pusat perdagangan terbesar di London Timur sejak 1603. Segenap anggota masyarakat East Londoner hampir pasti singgah di pasar ini, begitu juga Jack the Ripper.
Sampai akhir penyidikan, tim gabungan kepolisian dan detektif pada masa itu tak bisa menjawab tiga poin penting dari misteri kasus Jack the Ripper. "Pertama, siapa pelaku di balik Jack the Ripper, meskipun saat ini sudah ada teori baru yang berusaha menjawab pertanyaan ini, motif pelaku ,dan alasan ia berhenti membunuh," tutur Jones.
Menanggapi berita yang mengungkapkan jati diri Jack the Ripper, Jones memiliki pendapat berbeda. Ia menginginkan identitas pembunuh sebenarnya tetap menjadi misteri. Ia berpendapat bahwa ratusan teori dan nama muncul sepanjang 126 tahun, tapi tak ada yang bisa membuktikan kevalidannya hingga 100 persen. Malam semakin larut, dan Richard Jones pun menghentikan tur di situ.
Amanda Valani (London)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo