Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Bukan Berhaji ala Backpacker

Seorang pemuda berkeliling ke sembilan negara lantaran kecewa terhadap Tuhan. Tapi film tak cukup kuat menampilkan pergolakan eksistensialnya.

13 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Haji Backpacker
Sutradara: Danial Rifki
Skenario: Danial Rifki, Jujur Prananto Produser: H.B. Naveen, Frederica
Pemain: Abimana Aryasatya, Laudya Cynthia Bella, Dewi Sandra, Laura Basuki
Durasi: 107 menit

Mada (Abimana Aryasatya) marah kepada Tuhan. Ia gagal menikahi Sofia (Dewi Sandra), gadis dambaannya. Hatinya koyak, imannya porak-poranda. Dalam protesnya, Mada mogok salat. Ia juga bertengkar dengan ayahnya (Ray Sahetapy). Itu mendorongnya menjauh dari Indonesia untuk berkeliling ke berbagai tempat sebagai backpacker. Thailand menjadi negara pertama yang disambanginya. Di sana dia mempraktekkan gaya hidup hedonis sampai akhirnya ketiban masalah: terlibat perkelahian berdarah dan dicari-cari gerombolan preman.

Berbekal bantuan Marbel (Laudya Cynthia Bella), tenaga kerja Indonesia yang berprofesi sebagai tukang pijat, Mada pun melarikan diri ke Vietnam. Seperti efek domino, peristiwa ini melempar Mada dari satu negara ke negara lain. Meski tak direncanakan sejak awal, pelarian ini ternyata membawanya kembali ke rumah Tuhan, Masjidil Haram.

Film garapan sutradara Danial Rifki yang bertajuk Haji Backpacker ini kelihatannya sejalan dengan dua tren saat ini. Yang pertama tren jalan-jalan irit ala backpacker. Yang kedua tren film religi. Bagi Danial, film ini adalah film layar lebar keduanya setelah La ­Tahzan (2013), yang juga bertema religi.

Meski terinsprasi buku karangan Agus Irawan yang berjudul serupa, film ini sama sekali tak bercerita mengenai pemuda miskin yang nekat berhaji ala backpacker. Film yang skenarionya ditulis Danial bersama Jujur Prananto ini lebih berfokus pada perjalanan spiritual seorang hamba Allah dalam menemukan kembali keimanannya. Film ini bahkan nyaris tak menyuguhkan adegan prosesi ibadah haji. Ibadah yang ditampilkan ke layar pun ternyata adalah umrah.

Sebagai film perjalanan (road movie), film ini dengan ambisius mengambil latar di sembilan negara, dari Indonesia, Thailand, Vietnam, Cina, Tibet, Nepal, India, Iran, dan berakhir di Arab Saudi. Tak hanya moleknya lanskap pegunungan Cina, ditampilkan juga sisi gelap masyarakat urban Thailand dan Vietnam. Salah satu adegan yang paling kuat, meski cukup singkat, adalah saat Mada dan seorang nenek di Tibet berbincang-bincang dengan bahasa ibu masing-masing tanpa saling mengerti.

Meski mengingatkan pada film tahun 2004, Le Grande Voyage, yang juga merupakan film perjalanan dengan destinasi Tanah Suci, Haji Backpacker mengambil pendekatan berbeda. Sementara film Prancis tersebut memainkan konflik ayah dan anak saat menunaikan ibadah haji, Haji Back­packer lebih banyak berkutat pada konflik internal sang tokoh utama.

Sayangnya, konflik ini pun tak dijabarkan secara jelas. Pergolakan kemarahan terhadap Tuhan itu kurang tampil. Film tak cukup kuat meyakinkan penonton bagaimana seorang pemuda masjid kemudian memilih murtad dan meninggalkan kampung halaman. Kemarahan Mada terhadap sang ayah juga menyisakan pertanyaan kepada penonton.

Danial, yang mendapat Piala Citra sebagai penulis cerita asli terbaik dalam film Tanah Surga… Katanya (2012), tak hanya enggan mengeksplor lebih mendalam pergolakan eksistensial sang tokoh. Film ini juga nyaris berjalan tenang tanpa letupan dramatis. Untungnya, Abimana Aryasatya, yang memerankan Mada, mampu mencegah munculnya kebosanan dari plot yang relatif lurus itu. Sesungguhnya ada beberapa tokoh menarik dalam film ini. Gadis muslim di Cina bernama Su Chun (Laura Basuki), yang mengubah perspektif sempit Mada tentang beragama, misalnya. Sayang, plot cerita menampilkan sosok ini hanya sebentar dan hilang begitu saja.

Di beberapa bagian, film ini terasa menggurui. Bahwa hidup manusia telah diskenariokan Allah, berkali-kali ditampilkan secara eksplisit lewat dialog tokoh-tokohnya. Juga ada adegan yang terasa dipaksakan untuk memudahkan alur cerita. Yang paling menonjol adalah ketika Mada terangkut ke Cina karena tertidur di dalam kardus, tanpa dicek sama sekali oleh orang yang menggotong kardus tersebut. Duh….

Catatan terakhir tentang film ini, di awal-awal muncul tampilan visual indah, terutama suguhan lanskap di beberapa negara. Tapi kemudian di bagian lain efek visualnya terasa njomplang. Sampai timbul pertanyaan, jangan-jangan syuting di sembilan negara itu telah memakan jatah bujet efek visual film ini.

Ratnaning Asih

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus