Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Profesor Soekry Erfan Kusuma samar-samar mengingat riuhnya identifikasi korban bom Bali I pada Oktober 12 tahun silam. Pada satu malam di Rumah Sakit Sanglah di Denpasar, ia melihat seorang pria yang sedang kebingungan mencari istrinya. Sewaktu terjadi ledakan, pria asal Kanada itu sedang berada di kamar hotel. Sedangkan sang istri, yang merupakan warga Korea Selatan, pergi dengan adiknya ke Paddy's Café.
"Ia menyebutkan istrinya mempunyai gigi yang dilapisi logam," kata Soekry, kini 71 tahun. Setelah dicari, ada satu jenazah dengan ciri fisik seperti itu. Kondisinya tak lagi dapat dikenali. Untuk mengkonfirmasi jati diri jenazah, Soekry, yang kala itu tergabung dalam tim Disaster Victim Identification (DVI), mengontak orang tua wanita tersebut di Korea.
Dari keterangan sang ayah diketahui bahwa korban pernah berobat ke dokter gigi. Penelusuran selanjutnya berbuah rekam medik odontogram alias catatan hasil pemeriksaan gigi. "Kami minta dikirim melalui faksimile untuk dicocokkan dengan hasil otopsi," Soekry menjelaskan. Namun dari otopsi diketahui ada dua sisi lapisan logam pada gigi korban. "Kalau begitu, anak saya masih hidup," kata ayah korban, seperti ditirukan Soekry.
Sang ayah berkukuh jenazah itu bukan anaknya. Ia pun meminta pembuktian. Melihat situasi itu, satu hal terlintas di benak Soekry. "Satu-satunya cara adalah dengan tes DNA," dia mengatakan. Bersama dr Indrayana Notoharjo (almarhum), Soekry melakukan analisis genetik. Hasilnya bikin miris sang ayah, karena DNA dari sampel bagian tubuh korban rupanya cocok dengan DNA dari darahnya.
Bom Bali I adalah kasus besar pertama yang melibatkan DNA forensik untuk identifikasi korban. Teknologi molekuler itu terbukti ampuh mengenali jejak genetik ratusan jenazah yang hancur atau terpotong. Dalam kasus wanita Korea itu, identitasnya terkuak karena berbagi separuh DNA dengan ayahnya. "Ada tujuh lokus DNA yang match," kata Soekry, ahli DNA forensik dan konsultan biomolekuler di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo.
Ketika kasus bom Bali I, metode dan alat tes DNA masih sangat sederhana. Saat itu, Soekry mengatakan, uji sidik DNA para korban akan dilakukan di Singapura, Australia, Malaysia, atau Kanada. Namun RSUD Dr Soetomo sempat ditawari karena berlokasi di Surabaya. "Memang alatnya belum sehebat sekarang. Tapi saya bilang, 'Kalau dipercaya, kami mau coba'," kata Soekry, ketika ditemui di ruang kerjanya, Selasa pekan lalu.
Kepala Laboratorium DNA Pusat Kedokteran dan Kesehatan Kepolisian RI Komisaris Besar Putut Tjahjo Widodo mengatakan sidik DNA sebenarnya diadopsi di Indonesia sejak 1992. Hanya, teknologi mutakhir ini mulai dikenal publik tatkala ramai penyelidikan kematian Marsinah pada medio 1993. "Kasus Marsinah sudah pakai DNA typing untuk melacak lokasi mana saja yang dilewati Marsinah," katanya dua pekan lalu.
Kasus Marsinah sempat menghebohkan masyarakat Tanah Air. Aktivis buruh di pabrik arloji PT Catur Putra Surya di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, itu tewas mengenaskan setelah dinyatakan hilang selama empat hari. Mayatnya ditemukan pada 9 Mei dalam posisi duduk di sebuah gubuk di daerah Jegong, Nganjuk, sekitar 200 kilometer dari tempat kerjanya. Sebelum dibunuh, ia diduga dianiaya di tempat lain. Hasil otopsi di RSUD Nganjuk menunjukkan Marsinah meninggal sehari sebelum mayatnya ditemukan.
"Ia tewas karena tusukan benda runcing," kata sumber di rumah sakit itu, seperti ditulis majalah Tempo edisi 30 Oktober 1993. Perut Marsinah luka sedalam 20 sentimeter. Dagunya memar, lengan dan pahanya lecet. Selain itu, selaput daranya robek dan tulang kelamin bagian depannya hancur. Sekitar dua liter darahnya keluar. "Aneh, kerjanya di Sidoarjo, mati kok di Jegong?" kata Sini, ibu angkat Marsinah, ketika itu.
Dalam kasus Marsinah, pemeriksaan DNA terutama digunakan untuk rekonstruksi kejadian. Sebab, ada dugaan perempuan 23 tahun kelahiran Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Nganjuk, itu disiksa secara keji di tempat lain sebelum dihabisi. Jejak darah yang ditemukan di sejumlah lokasi dianalisis untuk memetakan jejak Marsinah. "Jika bisa dilacak tempat yang pernah didatanginya, berarti bisa dilacak kejadiannya seperti apa," Putut menjelaskan.
Teknologi sidik DNA kini telah menjadi "senjata wajib" dalam penyelidikan bermacam kasus, dari pembunuhan, pemerkosaan, penganiayaan, kebakaran, hingga terorisme. Penelusuran marka genetik tak hanya untuk mengenali identitas korban, tapi juga mengungkap jati diri pelaku kejahatan. "Dalam investigasi, hal pertama yang harus dilakukan adalah identifikasi korban," ujar Putut. Dari korban, penelusuran baru bisa dilanjutkan untuk menemukan pelaku.
Sebelum ada metode analisis DNA, penyelidik harus menemukan barang bukti yang menghubungkan korban dengan pelaku. Kini jejak DNA pelaku yang tertinggal, entah itu dari kulit, rambut, darah, ludah, air kencing, cairan mani, bisa langsung dikenali. Dalam kasus pemerkosaan disertai pembunuhan, DNA pelaku bisa diidentifikasi lewat bekas sperma di pakaian dan tubuh korban atau tempat tidur. "Atau dari sisa jaringan kulit yang tersangkut di kuku jari korban jika ada tanda perlawanan," kata Direktur Eksekutif DVI Indonesia Komisaris Besar Antonius Castilani.
DNA juga bisa mengidentifikasi kasus kecelakaan transportasi. Sidik DNA umumnya dipakai untuk identifikasi korban. Seperti kasus jatuhnya pesawat Boeing 737-200 milik Mandala Airlines di Padang Bulan, Medan, 5 September 2005; kecelakaan pesawat Boeing 737 Garuda Indonesia GA200 di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, 7 Maret 2007; tenggelamnya kapal motor Senopati Nusantara, 2006; dan jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak pada 2012 serta Malaysia Airlines MH17 di Ukraina pada Juli lalu.
Keampuhan sidik DNA terbukti saat identifikasi korban musibah tenggelamnya KM Barokah di Pantai Prigi, Trenggalek, Jawa Timur, Desember 2011. Insiden itu menewaskan 250-an imigran gelap dari Timur Tengah yang akan bermigrasi ke Australia. Dari 103 jenazah yang ditemukan, hanya 53 jenazah yang bisa dikenali lewat tes DNA. "Sisanya ndak bisa dideteksi karena tidak ada data pembandingnya," kata Soekry, yang saat itu memimpin identifikasi korban bersama tim dari Markas Besar Polri. Data pembanding itu adalah profil DNA keluarga korban.
Anton mengatakan sebagian korban kapal motor karam itu akhirnya dikenali berkat kerja sama dengan tim DVI dari Iran, Pakistan, Afganistan, dan Irak. "Teman-teman dari sana membawa DNA calculator milik mereka," ujarnya tentang database profil DNA berdasarkan suku atau etnis itu. Dengan DNA calculator, penyelidik bisa mengerucutkan pencarian korban secara cepat. "Paling tidak dikenali dari sukunya."
Dalam kasus terorisme, sidik DNA digunakan untuk memastikan jati diri pelaku, yang biasanya kerap berganti penampilan dan identitas. Putut dan Anton mempunyai pengalaman menarik ketika menyelidiki kematian Dulmatin, otak bom Bali I. Pria asal Pemalang, Jawa Tengah, yang dikenal dengan nama Djoko Pitono itu adalah teroris yang paling dikejar di dunia. Pemerintah Amerika Serikat menghargai kepalanya US$ 10 juta. "Pak Putut sampai mondar-mandir ke markas CIA untuk mengambil sampel DNA Dulmatin," kata Anton.
Putut menyebut Dulmatin ibarat kucing. "Nyawanya banyak," ujarnya. Dikabarkan mati di satu tempat, setelah diperiksa ternyata muncul kabar bahwa buron itu mati lagi di lokasi lain. "Itu terjadi sampai delapan kali," Putut menambahkan. Nah, kematian Dulmatin yang kesembilan terjadi di Pamulang, Tengerang Selatan, pada 9 Maret 2010. Dulmatin tewas diterjang timah panas anggota Datasemen Antiteror 88 setelah terkepung di sebuah warung Internet.
Polisi akhirnya bisa mengkonfirmasi jati diri Dulmatin karena memiliki profil DNA pembanding. Data penting itu tidak dimiliki oleh Langley, markas organisasi telik sandi Negeri Abang Sam. "Saya punya kunci profil DNA Dulmatin dari keluarganya," kata Putut. Polri memang memiliki database profil DNA orang-orang yang diduga terlibat kasus kriminal, seperti terorisme, residivis, dan kejahatan narkotik. "Jika nanti dia hilang atau melakukan kejahatan, kami bisa merunutnya."
Akil Mochtar pernah merasakan sulitnya berkelit dari analisis DNA. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang terkena kasus dugaan korupsi itu juga terjerat pasal penyalahgunaan ganja. Putut mengatakan, dari empat linting ganja yang ditemukan di laci meja kerja Akil, satu linting di antaranya sudah bekas diisap. "Itu Akil (yang mengisap)," katanya. Kepastian itu diperoleh setelah Putut dan timnya menganalisis DNA dari sampel sel mukosa mulut yang menempel pada lintingan ganja.
Bagi Putut, Anton, dan Soekry, DNA menjadi kunci untuk menguak misteri berbagai kasus. Sifat DNA kekal sejak pertemuan sel telur dan sperma di dalam rahim. Peta urutan DNA, yang mewarisi marka genetik dari ayah dan ibu, bisa dilacak sejak embrio sampai seseorang dikubur. Selama masih ada bagian tubuh yang tersisa, selama itu pula jejak DNA bisa dideteksi. "Kecuali kalau sudah dibakar lalu dibuang ke laut, hingga tidak ada bahan tersisa yang bisa diambil sebagai sampel," kata Soekry.
Mahardika Satria Hadi, Artika Rachmi Farmita (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo