Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari sebuah gorong-gorong, friksi itu muncul. Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum Djoko Murjanto tampak gusar ketika ditemui di kantornya pada Kamis pekan lalu. Dia menunjuk ke peta perbaikan jembatan yang ambles di Jalan T.B. Simatupang, Jakarta Selatan, Selasa dua pekan lalu. Air luapan kali kecil selebar lima meter yang meluncur deras dari kawasan Kebagusan menuju Kali Baru rupanya telah menggerogoti dinding sekitar gorong-gorong yang menjadi fondasi jalan di sana.
Bless…, ruas jalan dekat Graha Simatupang itu pun ambles sekitar setengah meter. Tapi bukan itu yang mengganggu Djoko. "Tanggul pembatas jalan dan kali dirobohkan pemerintah provinsi. Seharusnya koordinasi dulu dengan kami," ujarnya.
Akibatnya, menurut dia, air melimpas lebih parah. Tak hanya menggenangi jalan di atas kali kecil itu, air juga menyebar hingga 200 meter ke arah timur (Pasar Minggu) dan barat (Mampang). Pada malam itu juga kemacetan lalu lintas yang sangat parah segera menjalar ke mana-mana.
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo punya alasan membongkar dan membersihkan gorong-gorong lama yang sudah ambles itu. Jokowi, yang langsung datang pada hari pertama bencana, melihat gorong-gorong yang ada di bawah jalan nasional itu terlalu kecil dibandingkan dengan yang biasa digunakan pemerintah Jakarta, yang berukuran 4 x 4 meter.
Fenomena leher botol terjadi dan menjawab kenapa debit air kali mampu menggerus dinding gorong-gorong. "Harus diganti dengan box culvert yang lebih besar," kata Jokowi saat itu.
Seorang pekerja yang ditemui Tempo di lokasi perbaikan pada Rabu pekan lalu membenarkan bahwa gorong-gorong yang dipasang pemerintah pusat jauh lebih kecil. Pekerja yang menolak disebut namanya itu menyebutkan ada dua pipa silinder yang masing-masing berdiameter 1,5 meter. Setelah diangkat dari dalam kali, gorong-gorong itu juga penuh sampah tanda tak pernah dibersihkan.
Djoko menolak kalau disebutkan perlintasan (crossing) di bawah Jalan T.B. Simatupang tak sesuai dengan spesifikasi. Menurut dia, memang tak ada standar dalam pemasangan atau pembuatan gorong-gorong, yang ada adalah ukuran gorong-gorong mengikuti kapasitas sungai dan debit air.
Apa yang terjadi di Kali Baru pada Selasa dua pekan lalu itu, menurut Djoko, benar-benar di luar prediksi. "Air yang mengalir debitnya terlalu kencang setelah hujan terus-menerus sehingga menciptakan gerowong di antara gorong-gorong dan jalan," ujarnya.
Insiden gorong-gorong Jalan Simatupang hanyalah satu contoh akibat dari kesemrawutan bawah tanah Jakarta. Di Jakarta, saluran bawah tanah ditangani pemerintah pusat dan sebagian lain oleh pemerintah DKI Jakarta. Tak ada keteraturan, apalagi pengawasan. Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang Tata Cara Pemeliharaan dan Penilikan Jalan disebutkan jelas bahwa kelengkapan jalan, termasuk gorong-gorong, menjadi satu paket pemeliharaan dengan ruas jalan di atasnya oleh penyelenggara jalan tersebut. Karena ada jalan nasional dan jalan provinsi, tak aneh kalau dalam satu aliran sungai terdapat dua macam gorong-gorong yang tidak sinkron.
Bukan cuma soal gorong-gorong, penanaman kabel milik PT PLN, kabel PT Telkom, dan serat optik, serta jaringan pipa gas dan air di dalam tanah, juga centang-perenang. Buktinya, ada jaringan pipa gas di bawah Jalan Jenderal Sudirman yang tidak disadari oleh pemiliknya, yakni Perusahaan Gas Negara. Atau, tengok pengalaman konstruksi jalan layang non-tol Casablanca yang tak dinyana menumbuk jaringan pipa air minum dan, karena itu, desain jalan harus diubah berbelok mendadak dan membuat peresmiannya tertunda.
Kesemrawutan itu belum menghitung jaringan utilitas yang ditanam tak menuruti ketentuan atau terlalu dangkal, yakni minimal 1,3 meter dari permukaan tanah. Ini seperti yang ditemukan oleh pelaksana proyek mass rapid transit (MRT) Jakarta ketika "me-roentgen" bakal jalur bawah tanahnya di Jalan Jenderal Sudirman.
Tak ada peta utilitas bawah tanah Jakarta. Kalaupun ada, petunjuk itu tak akurat. "Pusing. Data yang ada banyak yang tak sesuai dengan kenyataan di lapangan," kata Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta Muhammad Nasyir. "Kami gali dengan tangan sedikit saja sudah muncul kabel."
Masalah lain yang tak diatur adalah banyaknya ruang bawah tanah (basement) yang biasanya dimanfaatkan sebagai tempat parkir. Menurut Bambang Eryudhawan, anggota tim penasihat arsitektur kota DKI Jakarta, tuntutan terhadap pemilik gedung untuk menyediakan ruang parkir sebanyak-banyaknya, agar kendaraan pengunjung gedung tak diparkir di tepi jalan, membuat pengembang membangun ruang bawah tanah. Padahal biaya pembangunannya lebih mahal dibanding di atas tanah. "Bahkan ada beberapa gedung yang minta izin membangun basement hingga enam dan tujuh lantai," kata Bambang. "Padahal pembangunan ke bawah seperti itu menekan aliran air tanah."
Persoalan masih ditambah dengan tidak diperhatikannya karakter tanah ketika pengembang hendak membangun gedung bertingkat. Menurut Kepala Laboratorium Geoteknik Universitas Tarumanagara, Jakarta, Chaidir Anwar Makarim, ada beberapa daerah di Jakarta yang memiliki tanah berpori alias tidak padat, yang disebut buried valley. Contohnya di sekitar Jalan Thamrin.
Menurut Chaidir, yang juga ahli geoforensik, turunnya gedung Sarinah merupakan salah satu buktinya. Juga ketika beberapa gedung di kawasan itu membangun fondasi-dengan cara menyedot air tanah-gedung lain di sekitarnya terkena dampak. "Ketika dibangun gedung Kementerian Agama, tempat parkir di kantor BPPT dan Gedung Jaya longsor," kata Chaidiri. "Ketika Bank Indonesia membangun gedung baru, kaca-kaca di Wisma Antara pecah."
TATKALA ditanya tentang pemetaan bawah tanah DKI Jakarta, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menjawab dengan mantap, "Tidak ada." Menurut Basuki, Jakarta ibarat "kampung besar", kota yang tidak didahului persiapan jaringan infrastruktur, tapi berkembang begitu saja dengan mengisi tempat kosong. "Saya tidak tahu ini salah siapa," katanya.
Belakangan baru muncul satu peraturan karena ada proyek MRT Jakarta yang sebagian koridornya akan menyelam hingga 30 meter di bawah tanah, dari Bundaran Senayan hingga Bundaran HI. Muncullah Peraturan Gubernur Nomor 167 tentang Ruang Bawah Tanah, yang dibakukan pada akhir 2012. Dalam peraturan itu disebutkan soal definisi pemanfaatan tanah serta pembagian ruang bawah tanah menjadi ruang bawah tanah dalam-lebih dari 10 meter-dan dangkal. "Penyusunan peraturan gubernur ini memang berangkat dari adanya rencana pembangunan MRT," kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Sarwo Handayani, Kamis pekan lalu.
Namun, menurut Arie Herlambang, Kepala Balai Teknologi Lingkungan di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, penataan ruang bawah tanah juga mesti mencakup konservasi air tanah dan pengendalian banjir. "Aliran air tanah di Jakarta Pusat dan Utara itu banyak yang terhadang karena ada perkerasan fondasi-fondasi gedung."
Hadangan yang bisa mencapai kedalaman hingga 60 meter di bawah tanah itu menyebabkan kekeringan bagi warga sekitar. "Tanpa ada upaya khusus, saya khawatir warga Jakarta tak cuma terus kebanjiran, tapi juga akan kekurangan air bersih pada 2025," katanya.
Chaidir, pakar geoforensik, memberi penekanan agar buried valley yang tersebar di Jakarta diperhitungkan dalam peraturan daerah yang mengatur tata ruang bawah tanah. Formasi ini terdiri atas tanah lunak yang ketika airnya dieksploitasi akan ambles dengan mudah. "Tidak usah diapa-apakan saja tanah di Jakarta ini turun terus, apalagi ditambah dengan pengambilan air tanah dan beban gedung yang jumlahnya tumbuh tak terkendali," katanya.
Zacharias Wuragil Brasta, Andi Perdana, SyailendrA, Anggrita Desyani, Praga Utama, Erwan Hermawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo