Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Perang Kedua Jago-jago Tua

Para mantan juara tenis dunia ramai-ramai turun gunung untuk melatih. Terinspirasi kesuksesan Ivan Lendl-Andy Murray.

27 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NovaK Djokovic berjalan kembali ke lapangan setelah menekuk Fabio Borini di putaran keempat Australia Terbuka di Rod Laver Arena, Melbourne, Ahad pekan lalu. Jim Courier, mantan petenis yang kini menjadi presenter Channel 7, telah menunggu untuk mewawancarainya.

"Penampilan Anda barusan sangat mengesankan. Apakah Anda telah memiliki kemampuan Boris?" kata Courier. Boris yang dimaksud tak lain adalah Boris ­Becker, legenda tenis asal Jerman, yang kini menjadi pelatih Djokovic. Becker, yang saat itu duduk di tribun terdepan, mengibaskan tangan sambil tertawa.

"Tentu saja," ujar Djokovic. Pemain Serbia itu lantas meminta bola kepada ball boy. Ia lalu melenggak-lenggok menuju base­line hendak melakukan servis. Di belakang garis, Djokovic melempar bola ke atas dan memukulnya.

Hups! Raketnya hanya menerpa angin. Bola pun luput. "Dulu kamu sangat hebat, Boris, tapi sekarang seperti ini," kata Djokovic tersenyum mengejek. Ribuan penonton ngakak oleh candaan itu. Guyonan Djokovic tersebut membuat penonton bisa sedikit melupakan suhu yang hari itu mencapai 42 derajat Celsius.

Semua tahu, saat itu Becker memang tengah mengalami cedera ankle, yang membuatnya tak bisa memukul bola. "Di masanya, Boris memiliki servis yang sangat tajam. Saya akan menjiplaknya," ucap Djokovic. Kali ini serius.

Tujuan Djokovic merekrut Boris Becker sebagai pelatih salah satunya memang ingin memiliki servis geledek nan mematikan. Selain itu, ia ingin meniru mental baja ala ­Becker. Maka, pada 18 Desember lalu, Becker pun resmi "mendandani" Djokovic.

Keputusan ini mengejutkan publik tenis. Sebab, Becker belum pernah melatih pemain top. Setelah gantung raket hampir 15 tahun lalu, ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain poker. Satu-satunya persinggungannya dengan tenis adalah menjadi komentator di BBC.

"Saya terkejut mendengar Becker menjadi pelatihnya," kata juara Grand Slam 18 kali, Martina Navratilova. "Djokovic telah begitu lama bersama Marian Vajda (pelatih sebelumnya), dan Becker memiliki gaya yang berbeda dengannya."

Djokovic, tentu saja, punya pertimbangan sendiri. Ia mengatakan kehadiran ­Becker di tim bukan untuk mengubah gaya bermainnya. Sebab, sebagai pemain, ia sudah lengkap. "Yang terpenting saat ini adalah pembenahan mental saya," ujar Djokovic. "Boris memiliki ketangguhan mental yang mungkin bisa ia transfer ke saya."

Djokovic mungkin berkaca pada sederet prestasi hebat Becker di masa lalu. Saat baru berusia 17 tahun, Becker sudah memenangi Wimbledon. Becker remaja lalu mengulanginya lagi hingga total tiga kali mengangkat trofi paling bergengsi di dunia tenis itu. Dan, selama 15 tahun berkarier, ia telah mengoleksi enam gelar Grand Slam plus 64 gelar ATP Tour.

Prestasi Djokovic sebenarnya tak kalah mengkilap. Dia juga meraih enam gelar Grand Slam dan saat ini menempati peringkat kedua dunia. Tapi Djokovic merasakan ada persoalan mental ketika prestasinya lalu anjlok. Dia dikalahkan Andy Murray di Wimbledon 2013. Setelah itu, giliran Rafael Nadal menekuknya di Amerika Serikat Terbuka. Keduanya sama-sama terjadi di partai final.

Kekalahan beruntun ini memukul rasa percaya dirinya. "Ketika tampil di Grand Slam, saya sering kali merasa terjepit di antara tekanan lawan. Ini membuat saya melakukan kesalahan. Boris tahu bagaimana cara mengatasinya."

Sayangnya, Becker tak punya cukup banyak waktu untuk menangani Djokovic. Di Australia Terbuka kemarin, Djokovic gagal melaju ke perempat final setelah diempaskan petenis Swiss, Stanislas Wawrinka. Ia takluk setelah melewati pertarungan panjang lima set dengan skor 2-6, 6-4, 6-2, 3-6, dan 9-7.

Tidak jelas apakah Djokovic tumbang karena tak tahan suhu panas yang sebelumnya memakan korban para bintang itu. Maria Sharapova, misalnya, mesti rela disingkirkan petenis Slovakia, Dominika Cibulkova, di babak keempat. "Saya sempat mati rasa karena panas itu," katanya. Unggulan pertama tunggal putri Serena Williams juga harus menyerah di babak awal. "Panas membuat saya mengalami insomnia," ucapnya.

Namun jelas kekalahan Djokovic itu akan menjadi pekerjaan rumah yang sulit bagi Becker. Akankah kehadirannya kelak mampu memulihkan rasa percaya diri Djokovic? Australia Terbuka agaknya telah memberi pelajaran mahal bagi Becker bahwa menjadi pelatih adalah ihwal yang berbeda dibanding sebagai pemain.

Tapi ia tak perlu berkecil hati. Sebab, pelajaran serupa dipetik para mantan pemain elite lain yang kini menjadi pelatih jago-jago tenis papan atas. Ya, di arena yang menjadi pembuka seri Grand Slam ini ada hal baru, yakni kembalinya mantan petenis top masa lalu ke lapangan sebagai pelatih.

Selain Becker, ada Michael Chang, yang melatih petenis nomor satu Jepang, Kei Nishikori. Lalu juga hadir Stefan Edberg, yang memoles Roger Federer. Chang adalah mantan peringkat kedua dunia dan juara Prancis Terbuka 1989. Sedangkan Edberg meraih enam gelar Grand Slam dari nomor tunggal dan tiga gelar Grand Slam di nomor ganda. Pada masanya, ia bersaing ketat dengan Ivan Lendl dan Boris Becker. Para veteran itu-kecuali Lendl yang lebih dulu menangani Andi Murray-mulai melatih pada Desember tahun lalu.

Jadi kini, di nomor tunggal putra, di antara The Big Four-julukan untuk Novak Djokovic, Andy Murray, Roger Federer, dan Rafael Nadal-hanya Nadal yang tak dilatih mantan juara. Ia masih setia dilatih pamannya.

"Ketika saya mendengar Stefan Edberg melatih Roger Federer, tiba-tiba saya ngeh bahwa generasi saya telah tergantikan," kata Boris Becker. "Apa yang mereka mainkan di lapangan tidak berbeda dengan apa yang kami mainkan pada 1980-an. Tapi ini bukan perang kami lagi."

Becker, juga Edberg, terus terang mengakui bahwa mereka kembali memegang raket karena terpicu oleh kesuksesan Ivan Lendl. Begitu juga para pemain yang merekrut para gaek ini, mereka terinspirasi oleh keberhasilan Andy Murray.

Kehadiran Ivan Lendl di lapangan sebagai pelatih memang fenomenal. Veteran tenis asal Cekoslovakia yang sudah menjadi warga negara Amerika Serikat ini direkrut Andy Murray pada Januari 2012. Di tangannya, Murray, yang selalu kalah oleh petenis-petenis elite, lalu menjelma menjadi salah satu petenis tertangguh di dunia.

Lendl sukses mengantar Murray menjuarai Amerika Serikat Terbuka 2012 dan Wimbledon 2013. Salah satu kunci sukses Lendl, kata Miles Maclagan, adalah pendekatan yang dilakukannya terhadap Murray.

Menurut Maclagan, Lendl memulainya dengan membangun kepercayaan diri Murray. Setelah itu, pelan-pelan dia mengubah gaya bermain si anak asuh, menjadi lebih agresif. Murray kini lebih banyak menyerang dan mendekati net untuk menekan lawan. "Anda membutuhkan mental dan rasa percaya diri yang besar untuk melakukan itu," ucap bekas pelatih Murray tersebut.

Saat masih melatih, menurut Maclagan, ia sering menasihati Murray agar bermain agresif. "Tapi nasihat akan lebih mengena jika disampaikan oleh orang yang pernah delapan kali menjuarai Grand Slam dan empat kali kalah di final." Kata-kata Maclagan itu tentu merujuk pada prestasi Lendl di masa lalu.

Resep Lendl inilah yang kemudian ditiru pemain lain. Dimulai dari Maria Sharapova, yang merekrut Jimmy Connors pada pertengahan Juli 2013, meski veteran tenis asal Amerika yang mengoleksi delapan gelar Grand Slam itu hanya bertahan dalam satu pertandingan. Lalu ada Goran Ivaniševi, mantan peringkat kedua dunia, yang direkrut Marin Cilic. Sedangkan Sergi Bruguera, peraih dua kali trofi Prancis Terbuka (1993, 1994), melatih Richard Gasquet. Dan tentu saja ada Becker, Chang, juga Edberg.

Bagi Lendl, kemunculan kembali para jago tua ke lapangan bukan jaminan mereka juga akan sukses sebagai pelatih. Menurut dia, yang terpenting adalah adanya chemistry antara pelatih dan pemain. "Jika itu tidak ada, kamu tak akan bisa berbuat apa-apa."

Lendl mengklaim memiliki chemistry yang klik dengan Murray. Namun setidaknya keduanya memiliki kesamaan nasib: pernah sama-sama gagal dalam empat partai final Grand Slam! Dari situlah ia membangun chemistry-nya. Barangkali.

Dwi Riyanto Agustiar (Guardian, BBC, Reuters, Tennis.com)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus