Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Agar Tak Sekadar Menjadi Gamer

Coding Indonesia memperkenalkan dasar pemrograman pada anak sejak belia. Mereka mampu membuat berbagai game dari sebelumnya hanya sebagai pemain.

27 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA ekor kucing berancang-ancang adu lari. Yang satu berwarna hitam, lainnya warna-warni. Siapa yang lebih dulu melintasi garis akhir, dialah pemenangnya. Tapi, agar kontes kecepatan si meong bisa berlangsung, tanda kursor harus Anda arahkan dulu ke gambar bendera hijau, dan: klik!

Ya, perlombaan ini memang hanya berlangsung di layar monitor komputer. Ini sebuah game. Maka, agar lomba lebih seru, pencipta permainan ini tak membiarkan Anda leha-leha setelah mengklik bendera. Sebelum kedua kucing melaju, di bagian bawah monitor ada pertanyaan matematika yang mesti dijawab pemain. Jika jawaban benar, kucing maju tiga langkah. Bila salah, apa boleh buat, si kucing diam di tempat. Begitu seterusnya hingga diketahui siapa yang paling cepat menyentuh garis ujung.

Game bernama Race Count ini dapat dimainkan di situs scratch.mit.edu oleh siapa saja di seluruh dunia. Gratis pula. Sejauh ini, game interaktif yang diunggah pada 26 Oktober 2013 itu mendapat apresiasi berupa satu favorite dan satu love dari komunitas Scratch. Sang pembuat game menyebut diri dengan julukan coolbro635. Nama yang unik, bukan?

Tapi tahukah Anda bahwa coolbro635 adalah bocah 8 tahun? Dan, jangan kaget, anak ini adalah siswa sekolah dasar di kawasan Menteng, Jakarta. Nama asli coolbro635 adalah Aaron. Dia mendaftar menjadi anggota di situs Scratch sejak empat bulan lalu. Selama di Scrath, Aaron sudah mengunggah 22 aplikasi berupa game, animasi, dan teka-teki. Lima di antaranya dipilih menjadi program favorit oleh komunitas Scratch, yaitu Race Count, Math Quiz, Knight Fight, This or That?, dan Minecraft Cookie Click. Keren, ya?

"Selain berbakat, Aaron juga rajin," ujar Wahyudi, tutor di Coding Indonesia, tempat Aaron belajar membuat program. Game Race Count, menurut Wahyudi, mencakup banyak keahlian dalam pembuatan program, seperti logika, algoritma sederhana, if else, dan object communication. Jumlah pemainnya bisa dua orang atau lebih dan bersifat interaktif. "Itu yang menjadi kelebihan game ini," ujarnya. Supaya mendapat masukan atau kritik lebih luas, ia mendorong Aaron berbagi aplikasi buatannya itu di situs Scratch. "Feedback-nya bagus."

Pengenalan coding, programming, scripting, atau developing-apa pun istilah yang dipakai-pada anak-anak sedang menjadi tren saat ini. Adalah situs http://code.org yang melakukan kampanye untuk mempopulerkan coding bagi anak usia belia. Situs yang diluncurkan pada Februari 2013 ini disokong puluhan tokoh dunia digital, dari Mark Zuckerberg pendiri Facebook, Jack Dorsey (Twitter), Arianna Huffington (Huffington Post), sampai mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton.

Setidaknya ada tiga alasan mengapa anak-anak perlu diperkenalkan pada coding. Pertama adalah sebagai problem solving. Kedua, menambah rasa percaya diri dan fondasi secara digital. Terakhir, agar anak-anak memahami apa yang ada di sekitarnya.

Mendiang Steve Jobs, pendiri Apple, pernah berujar mengenai pentingnya mengetahui segala sesuatu di sekitar kita, "(Yang) dibuat oleh orang yang mungkin tidak lebih pintar daripada kita." Menurut dia, setiap individu tidak hanya dituntut melakukan perubahan dan mempengaruhi orang lain, tapi juga mesti membuat sesuatu yang berguna bagi orang banyak. "Mungkin itulah hal yang paling penting," katanya suatu saat. Maka, di dunia yang hampir semua bersinggungan dengan perangkat digital seperti era kini, membuat program komputer menjadi tindakan penting.

Di Indonesia, ide menyebarkan coding datang dari Kurie Suditomo, rekan Wahyudi saat di bangku SMP. Awalnya, ibu dua anak ini gemas melihat putranya yang berusia 6 dan 9 tahun tergila-gila pada gadget dan online game. Kurie berangan-angan agar anak-anaknya lebih produktif dengan perangkat digital dan tidak sekadar sebagai pemakai. Pada Maret 2013, ide itu muncul setelah matanya tertumbuk pada situs http://code.org.

Dalam situs tersebut dengan mudah ditemukan contoh program dan aplikasi untuk belajar coding di usia belia. Yang paling mudah bahkan bisa dimainkan anak berusia empat tahun, yakni program Kodable. Tampilan dalam situs ini penuh unsur visual. Berbagai aplikasinya pun disederhanakan sesuai dengan pola dan persepsi anak-anak terhadap game yang biasa mereka mainkan. Dengan menyimak apa yang tertera di sana, tanpa disadari anak-anak itu sedang mempelajari logika dasar dan analitik. Pada saatnya nanti, apa yang mereka serap ini berguna dalam pemahaman dasar seorang programmer.

Konsep sederhana dari situs http://code.org adalah menyediakan sumber daya yang berkualitas dan dalam kuantitas yang tepat bagi industri teknologi dan informasi. Kurie melihat di Amerika saja profesi programmer bisa langka dan tak terpenuhi oleh kemampuan sumber daya yang ada. "(Maka) bagaimana dengan di Indonesia?" kata Kurie.

Melihat kenyataan itu, lalu tebersitlah ide mengimpor kampanye coding ke Indonesia. "Alasannya menyalurkan kegemaran anak-anak penggila gadget dan game dengan keterampilan yang lebih produktif," kata Kurie. Ide itu terwujud setelah Wah­yudi, yang menghabiskan 16 tahun hidupnya di Berlin, Muenchen, dan New Jersey, sebagai web developer dan digital architect, menyanggupi membuat kurikulum dasar. Bahkan Wahyudi menyanggupi menjadi tutornya.

Tampaknya proyek ini mendapat sambutan menarik. Salah satu peserta Coding Indonesia, Alif Alakanzu Adiwardoyo, 10 tahun, mengaku awalnya hanya mencoba sehari mengikuti program. Namun akhirnya ia menjadi penasaran dan ingin tahu lebih jauh. Orang tuanya pun mengizinkan dia melanjutkan kursus. "Soalnya masih ada hal-hal yang belum dikasih tahu," ujar siswa SD 08 Tebet Barat di Jakarta Selatan ini. Dian Prathiwi, 33 tahun, ibu Alif, mengaku mengikutkan Alif kursus coding karena khawatir anaknya kecanduan game. "Daripada main game saja, biar pintar sekalian," katanya.

Kemampuan Alif berkembang pesat. Dari semula hanya bisa sekadar membuat game sederhana, kini ia mampu menaikkan levelnya. Selama dua bulan ia telah membuat lebih dari lima game, di antaranya Break Braker, Gobak Sodor, dan game matematika. "Dulu hobi main game aja, sekarang tahu cara buatnya. Ternyata tidak susah, yang penting teliti," ujarnya.

Abangkis Pribadi, pendiri perusahaan pengembang aplikasi MReunionLabs, setuju dengan proses pengenalan coding sejak usia belia. "Dengan begitu mereka tidak akan takut dengan namanya programming," katanya. Pengenalan coding berbeda dengan apa yang dipelajari pada masa lalu. Dulu anak-anak hanya diperkenalkan dengan sistem flowchart komputer. Coding membawa anak mengenal aplikasi sekaligus memiliki kemampuan membuat program. Hal ini membutuhkan pengertian yang lebih mendalam dari sekadar membuat flowchart. Dengan Coding Indonesia, anak-anak akan belajar cara berpikir, memecahkan masalah, sebagai fondasi, dan arsitek programming.

Nyatanya kerja itu tidak sia-sia. Setidaknya, Aaron dan Alif sudah membuktikan bahwa membuat program komputer bukanlah suatu kemustahilan bagi para bocah.

Erwin Zachri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus