SEKITAR 10 bangunan dan delapan penataan wilayah di Jakarta
sekarang, harus diakui berkat Bung Karno, Presiden Republik
Indonesia yang pertama. Untuk semua itudia juga memberikan
disain selesai.
Paling tidak untuk patung Pembebasan Irian Barat yang
dilaksanakan oleh pematung Edy Sunarso. Ada selembar kerta
berisi disain gambar patung tadi dari Soekarno untuk Henk
Ngantung--waktu itu Wakil Gubernur dan diserahi membuat disain
patung tersebut. "Henk, begini ini, Iho," bunyi tulisan dalam
kertas itu.
"Untung ada Soekarno," kata Wakil Ketua Ikatan Arsitek.
Indonesia, ir Adhi Mursid. Ia menilai positif andil Soekarno
pada tata kota ibukota kita. Sebab, "andaikata Bung Karno tidak
membuat Tugu Nasional di Taman Merdeka itu, bayangkan saja taman
itu sekarang jadi apa. Tentu akan dilanda bangunan segala
macam," kata Mursid. Dengan adanya tugu, para perencana tata
kota terpaksa memperhitungkan kehadirannya, dan selamatlah
lingkungan Tugu Nasional dari padatnya bangunan. "Untuk
menonjolkan tugu itu, 'kan sekelilingnya harus merupakan tempat
lapang," kata Mursid lagi.
Api Monas
Juga gedung BNI 1946 Pusat di Jakarta Kota, memaksa perencana
tata kota sekarang berfikir dua kali terlebih dahulu apabila
akan membangun gedung sekitar itu. Gedung hasil karya arsitek
Silaban itu, memang kemudian menjadi ciri khas kawasan Jakarta
Kota.
Lebih-lebih setelah kompleks Gelora Senayan dan Jembatan
Semanggi dibangun, andil Soekarno makin tampak. "Dimulailah era
baru untuk dunia insinyur dan arsitek Indonesia, ialah bahwa
kita sebetulnya bisa membangun sendiri," kata Adhi Mursid.
Diakuinya beberapa disain datang dari Rusia, tapi dilaksanakan
sepenuhnya oleh tenaga-tenaga Indonesia sendiri.
Tapi ada yang disayangkan Adhi Mursid "Menonjolnya selera
pribadi Bung Karno dalam monumen dan tata kota." Barangkali
memang tak bisa dihindarkan. Wakil Ketua IAI itu memberikan
contoh bentuk Tugu Nasional yang begitu naif. "Memangnya membuat
api harus berbentuk melenggok begitu? Itu bentuk yang terlalu
kekanak-kanakan." Yang dimaksud Mursid, nilai simbolis monumen
tersebut jadi berkurang karena bentuk yang kurang sofistikasi
itu.
Begitu juga Patung Tani di Menteng Prapatan, yang didatangkan
dari Rusia menurut Mursid sesungguhnya sangat kontroversial
dengan lingkungan sekitarnya. Dengan suasana bangunan-bangunan
beton, apalagi setelah Hotel Arya Duta berdiri, patung itu
terasa mengganggu. Bentuknya memang bagus, tapi ide petaninya
itu menimbulkan rasa risih: seperti dua orang udik yang sedang
kesasar di tengah ramainya lalu lintas kota metropolitan. Tapi
Bung Karno barangkali memang bermaksud supaya kita selalu ingat
pada rakyat marhaen.
"Kota-kota kian lama kian buruk. Karena perkembangan penduduk,
urbanisasi, kurangnya dana, tak mungkin lagi membuat kota
idaman," kata Mursid mengutip buku Philips Johnson, arsitek
Amerika Serikat terkemuka, yang tahun ini mendapat hadiah dari
Ikatan Arsitek Amerika Serikat. Karena itu adanya
monumen-monumen dan bangunan yang tepat, sangat bermanfaat.
"Orang kemudian tak akan membangun seenaknya, terpaksa
memperhitungkan monumen atau bangunan yang telah ada.
Karena itu ia sangat menyayangkan Gedung Pertamina (yang baru)
yang menurut Mursid sangat mengganggu lingkungan dalam kawasan
Monas. "Hotel Borobudur itu masih bagus. Dia menghadap ke
Lapangan Banteng. Jadi kawasan sekitar itu menjadi berpusatkan
pada lapangan tersebut. Tapi Gedung Pertamina itu tak jelas
arahnya."
Dipandang dari sudut biaya pembangunannya, monumen dan
bangunanbangunan mentereng memang mahal dan mungkin tak sesuai
dengan kekayaan negeri ini. Tapi menurut Mursid, monumen dan
bangunan memang ada fungsinya. Pertama sebagai tanda kawasan
(land mark). Supaya dari jauh, orang sudah tahu dia ada di mana.
Pernahkah anda merasa asing di suatu tempat di Jakarta ini, dan
kemudian merasa "aman" karena dari jauh sudah melihat puncak
Monas? Kedua, merupakan sifat khas suatu daerah. Bila anda
sampai pada satu deretan bangunan bertingkat, lebih kurang itu
adalah daerah pertokoan. Dan yang terakhir, menurut Mursid, ide
di balik bangunan itu. Patung Selamat Datang misalnya dipasang
di depan Hotel Indonesia untuk menunjukkan keramahan orang
Indonesia.
Tentu saja ada beberapa yang tak terlaksana karena keburu
Soekarno harus turun. Umpamanya Menara Bung Karno yang sedianya
akan dibangun di kawasan Ancol, sebagai pertanda pintu gerbang
bagi yang masuk Jakarta lewat laut. Kita tak tahu bagaimana itu
nanti, andai jadi dibangun. Tapi melihat disain yang dipamerkan
ada sesuatu yang agak terasa aneh. Yaitu menara itu terlalu
"modern" bentuknya: memberikan gambaran bentuk roket-roket. Tapi
apakah Soekarno memang memandang ke masa depan Indonesia yang
penuh roket?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini