Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Mungkin karena masih banjir

Jawa timur berhasil swasembada pangan. pendapatan perkapita naik, pertambahan penduduk dapat ditekan tapi gagal raih parasamya purnakarya nugraha pelita ii. (dh)

8 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOENANDAR dikenal sebagai gubernur yang selalu menjawab pertanyaan apa saja dari para wartawan Bahkan hal-hal yang sangat penting pun tidak jarang disampaikannya meskipun dinyatakan off derecord. Karena itu sikapnya sekali ini mengherankan. Adakah Soenandar kecewa lantaran tidak mendapat Parasamya Purnakarya Nugraha--sehingga bisa ditafsirkan kalah gesit dari gubernur sebelumnya? Dalam sidang pleno DPRD Ja-Tim mendengarkan pidato kenegaraan 16 Agustus malam lalu, berbeda dari tahun sebelumnya, kali ini Soenandar tak hadir. Ia diwakili Wakil Gubernur Ja-Tim, HM Soegijono. "Karena beliau agak tidak enak badan," ujar Soegijono kepada TEMPO. Jawa Tengah dinyatakan sebagai propinsi yang berhak mendapat Parasamya Purnakarya Nugraha untuk Pelita II. Ja-Tim masih mendapat juara II, dan berhak menerima pita prestasi Prayojana Kriya Pata karena berhasil mempertahankan prestasi seperti diraihnya selama Pelita I. "Saya tidak tahu apakah pak gubernur kecewa atau tidak, yang jelas saya kecewa," ujar seorang pejabat di gubernuran. Ucapan itu tampaknya memang mewakili yang lain. Sebab jauh sebelum pengumuman, suara sudah santer bahwa Parasamya akan diraih Ja-Tim lagi. Bahkan pers di Surabaya, 3 bulan lalu sudah ada yang menulis tajuk bahwa Parasamya mustinya tetap di Ja-Tim. Nelayan, Memang Kalau toh ada kekecewaan, tampaknva bisa difahami. Sebab dalam beberapa hal Ja-Tim memang masih lebih menonjol. Dalam produksi pangan misalnya, sebagaimana dikatakan Soenandar ketika menerima kepala desa teladan se Indonesia 14 Agustus lalu "Jawa Timur sudah bisa berswasembada, bahkan bisa mensupplay propinsi lain." Produksi padi di Ja-Tim memang naik terus dari 6 juta ton tahun 1976 ketika Soenandar datang ke Ja-Tim--menjadi 7 juta ton tahun lalu. Meskipun tahun ini hama wereng melanda daerah ini dengan hebat tapi segera diatasi dan diganti dengan padi baru. Hasilnya? "Target tiap ha meningkat 0,5 ton, tetap tercapai," ujar Soenandar. Tahun lalu ada 45.000 ton beras yang keluar dari Ja-Tim. Dalam menyambut para kepala desa itu pula, Soenandar lebih bersemangat lagi ketika menyampaikan angka pendapatan perkapita rakyat daerahnya Tahun 1976 pendapatan per kapita baru Rp 61.000/jiwa, tahun lalu sudah mencapai Rp 110.000 per jiwa. Soenandar mengakui ukuran itu baru bersifat makro. "Tetapi pendapatan per kapita petani di Ja-Tim sudah mencapai Rp 4.000/jiwa. Kalau dilihat bahwa KMF (kebutuhan fisik minimum di Ja-Tim Rp 47.000/jiwa, maka para petani umumnya sudah hidup di atas KFM," tambahnya. Dalam hal pendapatan per kapita ini Soenandar memang masih prihatin kalau dilihat secara mikro di kalangan nelayan. "Di sini memang baru Rp 24.000/jiwa. Karena itu harus segera dilipat duakan," katanya pula. Yang juga menonjol adalah program pengendalian penduduk. Tahun lalu misalnya, seperti dikatakan Soenandar di Ponorogo menjelang Ramadhan lalu, angka pertambahan penduduk di JaTim sudah tinggal 1,6 persen. "Bahkan di beberapa kabupaten sudah di bawah I persen," katanya. Meski begitu Soenandar memang masih harus prihatin. Dengan penduduk 29.000.000 jiwa, biarpun prosentase pertambahan penduduknya rendah, tapi masih ada "500 bayi yang lahir setiap tahun. Cukup untuk mengisi propinsi Bengkulu," katanya. Pada gilirannya hal pertambahan penduduk itu akan mendesak angkatan kerja yang setiap tahun bertambah 200.000, sedang lapangan kerja yang tersedia rata-rata 50.000 per tahun. Seperti menarik satu kesimpulan, Soenandar akhirnya mengatakan bahwa "kesejahteraan masyarakat terus meningkat, sebab laju pertambahan penduduk hanya 1,6 persen sedang laju pertumbuhan ekonomi di Ja-Tim 6,7 persen," katanya. Kalau begitu, mengapa tidak dapat Parasamya? "Mungkin karena Jawa Timur belum bisa bebas banjir. Banjir sewaktu-waktu masih mengancam," ujar seorang walikota. Ucapan ini barangkali ada benarnya. Sebab sepertiga Tulungagung masih tergenang tiap tahun. Daerah Lamongan masih harus menderita akibat kiriman bengawan Solo. Madiun masih bobol terus. Kediri belum bebas benar. Bahkan Surabaya sendiri di mana-mana masih digenangi air. Soenandar sendiri, di samping diucapkannya juga kelihatan tidak sabar ingin untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan. Hampir sepertiga waktunya dipakai untuk berada di daerah-daerah. Makanya ketika kakinya cidera dan harus istirahat 3 bulan "rasanya malu," katanya. Karena itu sambil terpincang-pincang tetap saja meninjau daerah-daerah sambil mengenakan tongkat penyangga. Di kalangan pegawai, gubernur yang Letnan Jenderal ini dikenal lebih luwes. "Pak Noer justru lebih kelihatan militer," ujar seorang bupati. "Saya belum pernah melihat pak Nandar (begitu panggilan akrabnya) marah di depan umum. Meski begitu selalu tegas d alam instruksi," tambahnya. "Beliau jarang bicara keras, tapi sering memberi disposisi dengan tinta merah. Penanya lebih tajam dari pada bicaranya," ujar seorang di gubernuran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus