Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Adakah ini pertanda ?

Kelompok usia lanjut di as banyak yang terjerat kemiskinan. juga jadi korban berbagai penipuan. sama halnya dengan yang terjadi baru-baru ini: seorang tua pensiunan menjadi korban copet.

8 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA berminat perihal kemungkinan-kemungkinan cara mati, buka-bukalah bab tentang Saija dan Adinda yang tehor itu, dalam Max Havelaar. Kepala distrik Parangkujang yang serakah telah merampas kerbau Saija. Ayahnya melarikan diri dari Badur karena tidak mampu membayar pajak tanah. Saija lalu mencoba mengadu untung ke Betawi, dengan harapan bisa bekerja sebagai kacung bendi. Dalam perjalanan dilamunkannya kematian dari pertemuan. Lika-liku jiwa Saija, kedalaman cintanya pada Adinda, disingkap-singkapkan Multatuli dengan perulangan sampai lima kali: "Aku tak tahu di mana aku akan mati." Saija tak ingin mati di samudera luas, tubuh terlempar ke air dalam, ikan hiu berebutan datang. Ia tak ingin mati terbakar seperti Pak Ansu, mayatnya ditimpa kepingan-kepingan kayu berpijar. Saija ingin mati seperti orang kebanyakan di Badur, dikafani, lalu ditanam dalam tanah. "Bila aku mati di Badur, dan aku ditanam di luar desa, arah ke timur di kaki bukit dengan rumputnya yang tinggi maka Adinda akan lewat di sana, tepi sarungnya perlahan mengingsut mendesir rumput, .... Aku akan mendengarnya." Mbah Suratinem juga punya keinginan yang mirip tapi tanpa rona romantis seperti itu. Hidupnya menjanda dan menggelandang di kota, usia lebih 70 tahun, anak satu-satunya mati tertembak di Maluku. idupnya terlantar. Pesannya pada cucunya, kalau mati supaya dikubur di desanya. Walau miskin, ongkos sudah dia sisihkan ala kadarnya. Dan itu, Insya Allah, akan dilaksanakan cucunya yang miskin, yang selalu memberinya kehangatan. Alasannya berkubur di sana, supaya gundukan tanah yang memendam jasadnya tidak terlantar supaya ada yang mengunjungi dan membersihkan pada bulan Ruwah dan Lebaran, supaya sesekali mendapat taburan bunga kantil, mawar dan kenanga. Kalau dikubur di kota jelas terlantar. Bukankah penanggungan terlantar pada usia tua begini sudah lebih dari cukup? Contoh mbah ini tidaklah umum. Dia sial kehilangan anak, penopang hidup satu-satunya, dan yang tinggal cuma cucu yang miskin. Kalau anaknya tidak mati muda dan kalau anaknya "jadi orang", jalur hidupnya tentu lain. Bukankah untuk jaminan hari tua, anak lebih kokoh dari emas dan Tabanas'? Selagi keadaan ekonomi negara belum beres, tempat bergayut ialah anak, terlebih pada ruas akhir kehidupan. Pada masyarakat ini, orang tua dihormati dan dibantu sejauh mungkin. Orang tua yang uur, reot dan keriput takkan dilayani seperti perkutut yang gagal: dibanting ke tanah karena suaranya tidak lagi hoorketekung tapi sudah merosot --hoorketekekkek, hoorketekekkek . . . Sebab bukankah menurut Wulangreh, penghormatan yang tinggi wajib diberikan kepada orang tua? Ayah dan ibu wajib dihormati karena mereka yang "menjadi lantaran manusia berada di dunia." Juga mertua, karena mereka yang "memberi rasa sejati dan melanjutkan keturunan." *** Why survive? (Mengapa masih hidup?) Demikian judul buku dr. Butler (1975) yang menarik itu. Isinya perihal kehidupan lanjut usia di Amerika Serikat yang merisaukan. Bab satu merangkum permasalahannya dengan baik: tragedi mereka yang berusia lanjut. Ternyata banyak yang terjerat kemiskinan setelah lanjut usia. Jaminan Sosial (Socil Security) belum mampu mengikis habis beban kemiskinan kelompok usia lanjut. Ukuran apa pun dipakai--termasuk ukuran resmi pemerintah--jelas besar jumlah mereka yang dijerat kemiskinan. Pada tahun 1970 seperempat dari orang-orang tua itu tergolong miskin. Angka ini berobah pada 1972 karena kenaikan jaminan sosial. Namun, paling tidak 3 sampai 3,6 juta golongan tua di Amerika Serikat tetap tergolong miskin. Persoalan hidup mereka bisa datang mendadak, dalam berbagai ujud. Mereka sering jadi sasaran empuk dari kejahatan, baik di jalanan maupun di rumah. Karena pendengaran dan penglihatan memburuk, mereka kerap jadi korban penipuan penjual ini penjual itu dan juga pelbagai penjual jasa. Pintuputar berputar terlalu cepat bagi mereka. Juga sering punya kesukaran fisik naik turun tangga. Karena berjalan lemah dan lamban diteriaki pula oleh sopir bis yang tak sabar. Humanisme menjadi penghias etalase, kalau masyarakat membuat keuntungan materi jadi takaran satu-satunya. Orang-orang jompo telah membeberkan kegagalan peradaban kita. Habis manis sepah dibuang. Demikian Simone de Beauvoir dari Perancis dalam bukunya The Coming of Age (1973). Maka semuanya secara menyeluruh perlu ditata kembali. Pada tanggal 15 Agustus 1979, dua hari sebelum ulang tahun kemerdekaan yang ke 34, koran memuat berita: "Pensiunan tua, sasaran copet gaya baru." Diberitakan kakek Asikdari Banjaran disikat dengan teknik salam-tempel di perempatan jalan di depan gedung Kas Negara. Dengan menyalami dan merangkul secara akrab digaet habis uang pensiunan sebanyak Rp 75.000. Ibu Ica, pensiunan dari Cicalengka berusia 60 tahun, mengalami nasib serupa. Setelah disalami dan dipeluk oleh pemuda berbaju belang hitam, amblaslah semua uang pensiunan sebesar Rp 52.500. Maka patutlah dipertanyakan: adakah ini sebuah pertanda? Pertanda erosi. mulai menjamah sebuah nilai yang luhur? Jawabannya mudah-mudahan "tidak". Jika "ya", alangkah pilunya. Alangkah sedih bila dalam alam pembangunan ini seorang seniman harus bertutur: "Aku tak ingin mati seperti pensiunan Pak Alit: pulang dari Kas Negara disambar pemuda kekar, di bawah pohon asam jasad dingin terkapar, darahnya membasahi rumput .... "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus