EKONOMI RRC mencatat sebuah langkah 'maju'. Negara itu kini
memasuki bisnis pemakaman. Jangan kaget. Ini bukan usaha
sembarangan, katakanlah semacam joint venture alias patungan.
Modalnya ditanamkan oleh para Cina kaya penduduk Hong Kong,
lahannya disediakan RRC. Maka mulai sekarang, warga Hong Kong
yang meninggal tak perlu lagi berpikir tujuh keliling mengingat
harga tanah yang sangat tinggi di koloni Inggris itu. Arwah
mereka boleh beristirahat dalam damai, malah di tanah leluhur
sendiri.
Bisnis ini merupakan bagian dari Zona Ekonomi Khusus (ZEK),
semacam 'jendela' yang dingangakan RRC menghadapi dunia luar.
"Merupakan eksperimen mutakhir, ZEK dimaksudkan untuk memancing
modal, teknologi, dan keterampilan manajemen asing," kata John
J. Putman, penulis senior majalah National Geographic. Putman
belum lama berselang menghabiskan waktu lima minggu di kawasan
percobaan itu.
Hampir 20 tahun RRC menutup diri dari pengaruh asing, dan
bertekad membangun sosialisme dengan cara dan upaya sendiri.
Hasilnya tidak menggembirakan. Belakangan, agaknya karena kecewa
oleh hasil 'pembangunan' tertutup itu, mereka mengubah beleid.
ZEK berada di pantai tenggara Cina. Daerah ini dirancang menjadi
semacam sentrum ekspor dan produduksi,'laboratorium praktek'
orang Cina dalam mempelajari gaya ekonomi dunia.
Kawasannya yang paling luas dan paling berhasil ialah Shenzhen,
daerah berbentuk naga seukuran 327,5 km2. Berhadapan dengan
pantai utara Hong Kong, Shenzhen dengan sendirinya diuntungkan
oleh letak geografisnya yang penuh janji. Ada kesan tersembunyi,
RRC mengharapan Shenzhen suatu ketika menggantikan Hong Kong
sebagai bandar yang ramah dan mendatangkan keuntungan. Beberapa
tahun silam kawasan itu tak lebih dari sebuah kota perbatasan
yang sepi dan mengantuk. Kini banyak terjadi perubahan.
Debu mengepul di mana-mana. Dan di tengah kemacetan lalu-lintas,
sejumlah pekerja konstruksi dengan penuh semangat membangun
jalan, menggali parit, menyiapkan lahan, dan menegakkan bangunan
pemukiman dan perdagangan. "Wajah pembangunan di sini mirip
sebuah potret kuno dari masa lampau," tulis Putman. Batu-batu
dipecahkan langsung dengan tangan, bahu kaum buruh dan kereta
dorong menggantikan peranan truk. Penggunaan mesin dan peralatan
modern sangat terbatas.
Di kantor balai kota bisa disaksikan citra metropolis Shenzhen
masa depan. Tampak tiga model untuk daerah perkotaan baru yang
direncanakan. "Kota pertama meliputi sebuah stasiun kereta
api baru dan sebuah menara 44 tingkat" kata Sun Jen, salah
seorang perencana kawasan itu. Di sekitar menara itu akan
didirikan seratus bangunan berlantai 18, tiga puluh di antaranya
sedang dikonstruksi .
Kota kedua berikutnya, merupakan pusat kota lama yang akan
diubah menjadi kawasan pariwisata dengan gaya Cina tradisional.
Kota ini akan penuh kedai, lepau, restoran, dan kaki lima khusus
untuk para pejalan kaki.
Kota ketiga sepenuhnya baru luasnya 30 km2, dilengkapi berbagai
prasarana, termasuk sebuah sistem kereta api ringan. Kota ini
menyediakan perlengkapan permukiman, industri, dan perdagangan
untuk penanam modal asing. "Kami juga merencanakan sebuah
kompleks kebudayaan dan ilmu pengetahuan, pusat tenaga nuklir,
dan super highway enam jalur menuju Guangzhou (Kanton)," tutur
Sun Jen berseri-seri.
Pada tahun 2000, kawasan urban ini diharapkan dihuni sejuta
penduduk. Ia dipisahkan oleh perbatasan sepanjang 45 km dengan
pagar khusus seharga Rp 45 milyar. Terdapat enam pos pengecekan.
Di kawasan inilah akan digalakkan berbagai kegiatan gaya
Barat. Tetapi para penduduk RRC yang datang ke sini untuk
menikmati warna hidup yang lebih menarik akan dicatat dengan
cermat. Mungkin untuk membuat semacam statistik, seberapa jauh
rakyat menggandrungi 'jalan kapitalis' .
Pembangunan ini sungguh menakjubkan. "Laksana mendirikan sebuah
Brazilia baru," ujar seorang penanam modal. Bayangkan: 60 ribu
pekerja konstruksi, 34 perusahaan bangunan, dan 14 perusahaan
disain dari berbagai wilayah Cina tumplek ke sini untuk 'bekerja
sama'.
Pemerintah Kota Shenzhen menyediakan Rp 370 milyar bagi usaha
ini. Tetapi jumlah yang lebih besar justru bakal ditanamkan oleh
berbagai perusahaan asing tadi. Dalam ukuran rupiah,
angka-angkanya meliputi jumlah trilyun.
Sebegitu jauh, sekitar 1.600 kontrak sudah ditandatangani - dan
kira-kira Rp 1,5 trilyun sudah ditanam. Sekitar 90% penanam
modal itu memang terdiri dari para hartawan Cina Hong Kong.
Di timur Kota Shenzhen terbentang pegunungan, pantai berbentuk
bulan sabit, dan jung yang melancar di air tampak ringan bagai
sekawan itik. Nah - di lokasi yang permai inilah RRC membuka
lahan pemakaman. Bagaimana para orang kaya Hong Kong itu tidak
tertarik?
Rombongan pemakaman boleh masuk wilayah ini dengan leluasa,
sekalian dengan konvoi bis mereka. Seperti dikatakan seorang
penduduk Hong Kong yang baru saja memakamkan anggota keluarganya
di sini, "pemakaman di sini permanen. Kemungkinan digusur,
seperti di Hong Kong, tipis sekali. " Lagi pula " ongkos di sini
jauh lebih murah dibandingkan dengan di Hong Kong."
Lahan pemakaman ini dibuat serasi pula dengan gaya Cina lama.
Orang Cina percaya, pemakaman yang baik ialah yang dekat dengan
angin dan air. Kemudian, bagai disengaja, kawasan timur Shenzhen
ini dihiasi pegunungan berbentuk naga, kuda, dan harimau. Ketiga
jenis binatang itu memainkan peranan tersendiri dalam mitologi
dan legenda Cina.
Jangan terkejut kalau di Shenzhen juga sudah berdiri sebuah
country club Hong Kong. Anggotanya 1.400 orang. Klub ini
menjanjikan kesempatan bermain ski air di danau, menunggang kuda
Australia, serta menikmati makanan setingkat di Hong Kong.
Gagasan mendirikan klub ini datang dari seorang warga Hong Kong
juga, John Chan Wing-hong.
"Beberapa tahun silam saya mencoba memasuki klub seperti ini di
Hong Kong," kata John bercerita. "lurannya sangat mahal, sekitar
Rp 30 juta setahun. Biaya yang tinggi itu sebagian besar untuk
menyewa tanah dan fasilitas yang berkenaan dengan tanah. Saya
lalu berpikir untuk mencari tanah yang lebih murah, juga yang
tidak terlalu jauh dari Hong Kong. " Sudah tentu pilihan pertama
jatuh ke sini.
John Chan Wing-hong sendiri merupakan satu di antara delapan
sekawan yang menanamkan Rp 9 milyar di klub itu. Letak klub di
luar ZEK, tapi masih dalam administrasi pemerintahan Shenzhen.
Sayangnya, para 'insan sosialis' itu sangat tidak berpengalaman
membuat kontrak yang umumnya memang bergaya Barat. Chan
Wing-hong menuturkan: "Tujuh kelompok dagang sudah mencoba
sebelumnya. Tapi selalu gagal." Soalnya "mereka tidak menguasai
cara berunding yang tepat dengan orang Cina" - tentu maksudnya
yang 'asli'. Anda harus rendah hati, sabar, toleran, tapi juga
sigap. Cina-cina itu ingin mengetahui banyak hal, tapi mereka
tak sudi digurui. Apalagi dengan cara "kebarat-baratan" .
Dalam saat-saat tertentu, diperlukan juga tekanan. John Chan
Wing-hong tidak lupa bagaimana ia berunding berbulan-bulan
dengan para pengurus komune dan pejabat Kota Shenzhen. Pada
akhirnya semua memang mencapai kata sepakat, namun tak seorang
menunjukkan niat mulai menandatangani kontrak. Wing-hong lalu
berucap kepada Wali Kota: "Tuan, bagaimanapun, seseorang harus
menandatangani kontrak ini. " Sang Wali segera memungut penanya.
Di daerah Xili, orang Cina membuka usaha sendiri dengan modal
6,5 juta yuan. Dengan fasilitas yang luas daerah ini juga
dijadikan sasaran kunjungan turis Hong Kong - dari golongan
berpenghasilan rendah sampai menengah. Libur akhir minggu untuk
sebuah keluarga hanya memerlukan sekitar Rp 60 ribu di sini.
Pada hari-hari sibuk, Xili menampung sekitar lima ribu
pengunjung.
Masih ada cabang usaha lain di Shenzhen: pengadaan bahan pangan
untuk penduduk Hong Kong yang lapar. Di Komune Fu Yong,
sayurmayur dinaikkan ke truk-truk Hong Kong. Di sini juga
berlaku sistem patungan: kapitalis Hong Kong menanam modal untuk
pengadaan bibit dan pupuk, komune menyediakan tanah dan tenaga
kerja.
Menurut seorang co-manager bisnis persayuran ini, mulanya usaha
mereka gagal. Kemudian mereka memecah brigade tani komune itu
menjadi unit-unit beranggotakan 17 orang. Masing-masing unit
bertanggung jawab atas 6 acre tanah. Ditunjang dengan sistem
bonus, perkebunan sayur itu lantas maju. Rupanya sistem sosialis
saja tidak mampu menjawab keadaan.
Para penanam modal mengaku, keuntungan yang dipetik dari usaha
sayur ini sebenarnya tidak seberapa. Tapi itulah, mereka lebih
melihat manfaatnya dari segi pengadaan bahan makanan untuk
penduduk Hong Kong. Sedangkan bagi para petani komune sendiri
penghasilan tiba-tiba meningkat dari 1.569 yuan menjadi 5.669
yuan pertahun. Coba. Tak heran bila mereka segera saja percaya
pada manfaat berkongsi dengan orang luar.
Di sekitar Shenzhen banyak dijumpai apartemen dengan gaya Barat.
Ini juga dibangun dengan modal Hong Kong. Pembelinya: Cina
perantauan alias Hoakiau yang bercita-cita menghabiskan sisa
usia di tanah leluhur. Juga Cina Hong Kong sendiri - yang
memakainya terutama untuk tempat bercengkerama dengan
sanak-saudara yang menjadi warga negara RRC.
Malah skema bagi perumahannya yang terbesar akan menjadikan
Shenzhen semacam "kamar tidur" penduduk Hong Kong. Proyek itu
ditangani Hopewell Holdings Limited, salah satu hong terbesar di
koloni Inggris itu. Seperti dikatakan seorang eksekutif
Hopewell, "penduduk Hong Kong punya arloji bagus, pakaian necis,
makanan lezat, tapi tidak rumah yang nyaman. Mereka tidak akan
bisa mendapatkannya: harga tanah terlalu mahal. Kami melihat
orang-orang ini membutuhkan rumah. Dari segi waktu, hydrofoil
hanya membutuhkan kurang dari 40 menit dari Hong Kong ke
Shenzher. Lalu apa bedanya? Maka kami membuka usaha ini,
menyediakan perumahan dengan harga separuh tarif Hong Kong."
Tapi Hopewell beium melepas modal. Mereka lebih dulu ingin
meratakan jalan yang berhubungan dengan hukum perdagangan di
bidang ini. "Prasarana hukum harus lebih dulu dibereskan sebelum
uang di lempar ke seberang, " ujar seorang eksekutif Hopewell.
Untuk urusan ini RRC meminta bantuan sejumlah pengacara Amerika
Serikat terkemuka. Maka bentuk kerja sama itu pun menjadi
bertambah unik.
Di bidang produksi barang ekspor yang berkenaan dengan Shenzhen,
orang Cina belajar dari sejumlah negeri berkembang lain. Mereka
kemudian menerapkannya di negeri sendiri demi merayu modal
asing. Harga tanah dan upah buruh ditekan rendah. Bea masuk
diperkecil bahkan kalau perlu ditiadakan, untuk beberapa jenis
bahan baku. Pajak keuntungan pun tidak lebih dari 15%.
Sayangnya, pembukaan ZEK bertepatan dengan resesi dunia sehingga
kemajuan percobaan itu kurang memenuhi harapan. Sebagian besar
pabrik yang didirikan di sana berukuran kecil, dengan modal yang
juga tak seberapa besar. Sebagian terdiri dari usaha perakitan
dan prosesing. Teknologi juga masih sederhana.
Di sana terdapat pabrik garmen, dengan para wanita muda bekerja
di belakang mesin jahit Juki dan Brother buatan Jepang. Mereka
membuat aneka pakaian yang akan dilempar ke pasaran dunia. Ada
juga pabrik elektronik, tempat komponen impor dirakit menjadi
radio arloji digital dengan merk J.C. Penney. Juga pabrik mainan
anak-anak.
Salah satu kebanggaan Shenzhen adalah pabrik Pepsi-Cola yang
baru berusia setahun. Menurut Guang Zhao, seorang manajer dari
pihak Cina, kontrak perusahaan Amerika dengan orang-orang Cina
dalam usaha Pepsi ini khas Shenzhen. Cina menyediakan tanah,
tenaga kerja, dan bahan baku. Pepsi-Cola menyediakan modal,
mesin, manajer, dan tenaga teknis berpengalaman.
Dalam lima tahun pertama keuntungan pabrik ini akan dinikmati
Cina 55% dan Pepsi 45% . Sekitar 80% produksi - 24 juta botol
setahun dikirimkan untuk melepas dahaga orang Hong Kong.
Tetapi problem bukan tak ada. Terutama pada kenyataan kurangnya
tenaga operator mesin berpengalaman, dari pihak Cina. "Kapasitas
produksi pabrik ini 6.500 peti per shift, " ujar Guang Zhao.
Tapi sampai tiga bulan lalu mereka baru mencapai tiga sampai
lima ribu peti . Dia juga menganggap cara kerja "model Barat"
agak terlalu kaku.
Untuk segera meningkatkan produktivitas, para manajer yang
bertugas di ZEK diizinkan memecat buruh. "Ini sesuatu yang baru
bagi kami, " ujar Guang. "Hingga kini sudah terjadi empat kasus
pemecatan."
Tetapi di pihak lain, ZEK menjanjikan upah yang lebih mahal
ketimbang yang diterima buruh pabrik pemerintah di luar kawasan
khusus itu. Misalnya, rata-rata buruh di Kanton menerima upah
sekitar Rp 37 ribu sebulan. Di ZEK angka pendapatan buruh
berkisarantara Rp 120 ribu dan Rp 160 ribu.
Pabrik-pabrik yang lebih besardan lebih modern tampak berdiri di
wilayah khusus Shenzhen. Di antaranya terdapat Zona Industri
Shekou, seluas 1 km2. Usaha ini dikelola China Merchants Steam
Navigation Co., perusahaan Hong Kong.
Di dekat dermaga berdiri sebuah pabrik. Modalnya ditanam oleh
Continental Graining Company, New York. Sebuah pabrik lain
merupakan usaha patungan antara China Merchants dan East Asiatic
Company, Denmark. Dari perusahaan ini beberapa kapal peti kemas
setiap hari dimuati dengan tujuan berbagai pasar internasional .
Zona Industri Shekou memang punya visi sendiri dalam memandang
masa depan. Di sini antara lain akan didirikan 100 pabrik,
sebuah stadion untuk olah raga indoor, dan sebuah hotel mewah
dengan anggaran pembangunan Rp 100 milyar.
Kini, di lokasi itu sudah selesai dibangun sejumlah villa tepi
pantai yang elok dan beberapa 'taman kristal'. Para pekerja
menggebu siang dan malam dari kejauhan sudah terdengar gema
ketukan palu dan tatahan pahat mereka di batu-batu . Villa itu
boleh dibeli orang asing, dengan harga Rp 100 juta sebuah.
Beberapa di antaranya sudah terjual.
Di Beijing, dalam waktu yang bersamaan, 33 kongsi minyak asing
sedang bertarung untuk ikut menggarap kilang minyak lepas pantai
Cina. Pada waktunya sekitar Rp 20 trilyun akan ditanam di
sekitar Laut Cina Selatan, dan sebagian besar ladang minyak itu
terletak di sekitar kuala Sungai Mutiara. China Merchants dan
beberapa rekanannya sudah memulai mendirikan sebuah pelabuhan
ikan berukuran kecil di Chiwan. Di masa depan pelabuhan ini
diharapkan menjadi urat nadi kebutuhan ikan kawasan sekitarnya.
Berbincang-bincang dengan Zhou Xi-wu, deputi wali kota Shenzhen,
merupakan keasyikan tersendiri. Tokoh ini penuh pikiran, dan
selalu berbicara sepeti berbisik. Apalagi bila menuturkan
pengalamannya di zaman Revolusi Kebudayaan. Ketika itu, katanya,
ia pernah diseret ke sebuah rapat raksasa, dan di sana dituding-
tuding sebagai "penindas gerakan massa". Juga didakwa sebagai
"pengikut garis kapitalis." Sepanjang tahun-tahun yang
riuh-rendah itu Zhou praktis tidak punya mata pencaharian .
Ketika Kelompok Empat ganti diblejeti, dan Revolusi Kebudayaan
padam, barulah Zhou bisa bernapas. Cina mendapat pemimpin dengan
garis moderat. Zhou segera dipanggil untuk kembali dipekerakan
di lapangan yang sesuai dengan kecakapannya.
"Di masa lampau," ujar Zhou "kami biasa menekankan bahwa
pembangunan negeri ini harus dilaksanakan dengan kepercayaan
diri sendiri. Sekarang pun sebetulnya pendirian itu tidak
berubah. Hanya saja, dulu banyak rakyat yang salah mengerti.
Mereka menyangka kerja sama dengan pihak asing akan membuat Cina
tergantung sama sekali pada kebijaksanaan negeri lain."
Kemudian, cerita Zhou, para pemimpin Cina akhirnya tidak lagi
menganggap kemungkinan kerja sama dengan pihak asing sebagai
sama sekali hitam. "Pemerintah pusat lalu memutuskan untuk
melakukan semacam percobaan. Dibuatlah kebijaksanaan baru, di
antaranya Zona Ekonomi Khusus ini."
"Kami sadar, sistem ekonomi sosialis tidak sempurna adanya,"
tutur Zhou lebih lanjut. "Tapi kami juga tidak bisa memakai
sistem kapitalis seluruhnya. Kami akan bertahan di jalan
sosialis. Namun tidak ada salahnya memperkaya jalan sosialis itu
dengan beberapa pengalaman ekonomi negeri lain, tidak peduli
kapitalis atau sosialis. Dengan demikian, kami harap, jalan yang
kami pilih selalu diperbarui, diubah di sana-sini, ya,
disempurnakan. " Begitulah.
Jadi ZEK betul-betul sebuah percobaan . Kalau ia sukses,
sistemnya akan diterapkan di bagian lain daratan Cina yang luas
itu . Dan bila gagal, toh bisa saja sistem itu dicampakkan ke
dalam kenang-kenangan.
Tapi pada akhirnya, Zhou mengaku, ZEK juga tak bisa dilepaskan
dari usaha Cina 'menjinakkan' Hong Kong dan Taiwan. "Bila ZEK
sukses," kata Zhou, "saudara-saudara kami di Hong Kong dan
Taiwan akan melihat bahwa di bawah kekuasaan Cina orang bisnis
toh dapat hidup, menanam modal, dan memperoleh keuntungan. Bila
Hong Kong dan Taiwan berada di bawah administrasi RRC, kami akan
menempuh cara khusus untuk mengurus mereka. Mereka boleh tetap
mempertahankan sistem kapitalis yang sudah ada."
Dibandingkan dengan Shenzhen, daerah ZEK lainnya memang tampak
lebih kecil, nyaris embrionis. Zhuhai, misalnya, berhampiran
dengan Macao yang dikuasai Portugis, dengan luas hanya sekitar
6,8 km2. "Selama kunjungan ke Zhuhai saya hanya melihat sebuah
pabrik sedang beroperasi," tulis John J. Putman. Toh Zhuhai juga
sudah menandatangani kontrak pembangunan menyeluruh dengan
sebuah perusahaan Hong Kong yang dimiliki tiga keluarga Cina
perantauan.
Daerah ini sendiri, kalau diselidiki lebih jauh, sebetulnya
tidak terlalu miskin. "Kami memiliki enam ribu kilometer persegi
laut, 114 pulau, 87 kilometer persegi tanahyang layak untuk
ditanami, dan Kota Zhuhai dengan 150 ribu penduduk," ujar Huang
Wen-zhong, seorang pejabat situ. "Kami memiliki sejumlah tempat
dengan pemandangan elok, juga lokasi yang tepat untuk olah raga.
Tanah di sini bagus, kaya mineral, dan tersedia bahan untuk
keperluan pembangunan. Kami segeraakan membikin lapangan
terbang. Juga pelabuhan ."
Salah satu ciri yang menonjol di semua wilayah ZEK ialah
semangat para pejabatnya yang berapi-api. "Kami akan mengubah
Zhuhai menjadi kota perbatasan tipe baru," seru Huang Wen-zhong.
Bagaimana? "Terbu ka kepada dunia, pusat ekspor dan produksi,
serta sentrum pariwisata yang hidup" . . .
Di Shantou (Swatou), 274 km dari pantai Shenzhen, terletaklah
wilayah ZEK yang ketiga. Bila dilihat dari atas tampak Sungai
Han yang keruh sebuah kota yang dikelilingi tanah hijau
pertanian, serta kampung-kampung dengan rumah beratap genting
hitam.
Berbeda dengan Shenzhen dan Zhuhai, Shantou sudah sejak lama
merupakan pusat industri dan perdagangan. Juga tempat bertolak
sebagian besar emigran Cina. Masalah mereka dimasalampau:
terlalu banyak penduduk untuk terlalu kecil lapangan kerja.
Kini pun Shantou tetap kota yang riuh-rendah. Kawanan penunggang
sepeda memenuhi jalan bagai gelombang yang tiada putusnya. Para
pencari kerja berkeliaran dengan ligat. Dan, penting dicatat, di
kota ini bisa dijumpai sejumlah pengemis.
Kawasan ZEK Shantou terletak di tepi kota, dengan luas sekitar
1,6 km2, dan baru saja dimulai pengembangannya. Direktur ZEK di
sini, Liu Feng, biasanya membawa paratamu kepuncak gedung
pemerintahan, lalu mempertontonkan daerah kekuasaannya yang
sedang dibuka.
"Kami sedang membangun dua pabrik di sini," katanya. "Pada
pertengahan kedua tahun depan, kami sudah berhadapan dengan
banyak pekerjaan besar. Pada saatnya di daerah ini akan berdiri
250 pabrik, dengan 50 ribu tenaga kerja."
Modal asing pun mulai diundang untuk mengambil peranan di sini.
"Kota Shantou memiliki 150 pabrik yang memproduksi barang
ekspor," kata Liu Feng. "Bila ada pemilik modal yang ingin
menanam uangnya di pabrik yang sudah berjalan ini, silakan,
silakan. Ia akan memperoleh keuntungan yang sama dengan kondisi
di Zona Ekonomi Khusus."
Dari Shantou, dibutuhkan tujuh jam perjalanan mobil ke utara
utuk mencapai Xiamen - alias Amoy kawasan ZEK terakhir. Di
wilayah ini padang-padang hijau mendaki perbukitan, di sela-sela
rumah penduduk yang sedikit, dan kadang-kadang tampak para
petani menggembalakan angsa. Sebuah jalan panjang terbentang
menuju kota. Ada becak, kedai-kedai kecil, toko tukang sepatu,
kios penjahit, pabrik roti, dan sebuah toko ahli gigi. Sisanya
angin pantai . Dan bau laut yang merangsang.
Seperti halnya Shantou, ZEK Xiamen terletak di tepi kota - dan
seluruhnya masih merupakan rencana di kertas. Tapi lokasi sudah
mulai disiapkan, dan jalanan mulai dibangun. Bila diperhatikan
dengan saksama, jelas dalam waktu dekat kota ini akan sudah
memiliki sebuah lapangan terbang. Wilayah ini, kata pejabat Wu
Zhong, "hanya seluas dua setengah kilometer persegi, dan
merupakan bagian dari sebuah zona prosesing barang ekspor. "
"Tujuan kami adalah sebuah pusat industri ringan - dengan
pendapatan buruh yang bagus, dan sedikit penduduk," ujar Wu.
"Kami menawarkan kondisi khusus yang menarik rekanan yang
menawar lebih awal dan pihak luar yang sanggup mengalihkan
teknologi maju terutama di bidang elektronik dan alat-alat
presisi."
Sebuah perusahaan Amerika, R.J. Reynolds Tobacco International,
Inc., sudah mulai menanamkan kukunya di sini. Mereka mendirikan
pabrik kecil yang memproduksi rokok berfilter, Camel. Rupanya
perusahaan ini melihat jauh ke depan. "Kami berharap tidak hanya
memproduksi Camel, " ujar seorang eksekutif. "Juga kemungkinan
membuat rokok dengan cara patungan dengan Cina. " Ehm, bukankah
orang Cina terkenal sebagai perokok ulung?
Di seluruh kawasan ZEK para pemimpin dan usahawan Cina
meletakkan sejuta harapan. Dan harapan pun terkandung di hati
banyak usahawan asing. Tetapi hari depan ZEK, sudah tentu,
tergantung banyak faktor. Antara lain, yang sudah disebut,
resesi dunia. Harga minyak. Dan jaminan bahwa 'jalan liberal'
yang ditempuh Cina sekarang memang akan berkesinambungan. Yang
terakhir itu berarti stabilitas politik. Sebab, siapa tahu 'kan,
'jalan liberal' itu nanti tiba-tiba dikritik, dan semua
perusahaan asing dinasionalisasi. Memang, para usahawan itu juga
punya perhitungannya sendiri.
Sementara itu, nasib Hong Kong yang masih menggantung merupakan
faktor lain pula. ZEK tampaknya berusaha memancing modal yang
belakangan ini mulai diungsikan dari koloni Inggris itu. Bukan
rahasia umum lagi, sekarang ini sejumlah besar uang sudah
berpindah dari Hong Kong ke Singapura atau Amerika Serikat.
Hartawan tertentu menghilang untuk beberapa lama, untuk muncul
lagi dengan kewarganegaraan baru. Kadangkadang mereka memiliki
paspor dari negeri-negeri jauh dan kecil. Nah orang bisa
menganggap, ZEK sebenarnya hanya dimaksud untuk menadah arus
itu.
Lagi pula banyak orang masih sangsi, bagaimana sistem kapitalis
bisa berdampingan dengan komune rakyat. Bagaimana sebuah kota
dengan toko-toko yang memamerkan kaca mata model terakhir dan
pesawat stereo, bisa menenggang kedai koperasi pemerintah yang
menyediakan beras dan gandum untuk kerani partai. Lagi: bukankah
para pendukung Revolusi Kebudayaan belum seluruhnya punah?
Mereka ini, bagaimanapun, tetap saja mengintai bagai macan di
rumpun bambu, mencari-cari kesalahan, dan menunggu peluang yang
bagus untuk memamerkan kuku.
Di abad lampau meriam-meriam Inggris membuka Perang Candu yang
buas dan berdarah. Dan terbukalah pintu Cina untuk dunia di
luar. Kini, pintu itu terbuka lagi - tanpa ketukan apa pun dari
negara Barat. Seperti di ramalkan seorang sejarawan Inggris:
"Akan tiba waktunya ketika kemaharajaan yang luas ini membuka
lagi pintu dan jendelanya menghadap Barat - tidak dari balik
tembok terkunci, tidak juga melalui dentuman meriam yang
bertubi."
"Timur akan memandang Barat, dengan jalinan persahabatan dan
pengetahuan akan nilai masing-masing yang semakin tumbuh. Zaman
yang gelap segera akan berakhir, " kata Putman bagai berdoa.
Agak sial, memang, yang terbuka itu Barat namanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini