Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jalan baru di bekas perang candu

Citra kota shenzhen di masa mendatang. dipersiapkan sebagai zona ekonomi khusus (zek) untuk memancing modal asing dan diharapkan bisa menggantikan hong kong sebagai bandar ekonomi.(sel)

8 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EKONOMI RRC mencatat sebuah langkah 'maju'. Negara itu kini memasuki bisnis pemakaman. Jangan kaget. Ini bukan usaha sembarangan, katakanlah semacam joint venture alias patungan. Modalnya ditanamkan oleh para Cina kaya penduduk Hong Kong, lahannya disediakan RRC. Maka mulai sekarang, warga Hong Kong yang meninggal tak perlu lagi berpikir tujuh keliling mengingat harga tanah yang sangat tinggi di koloni Inggris itu. Arwah mereka boleh beristirahat dalam damai, malah di tanah leluhur sendiri. Bisnis ini merupakan bagian dari Zona Ekonomi Khusus (ZEK), semacam 'jendela' yang dingangakan RRC menghadapi dunia luar. "Merupakan eksperimen mutakhir, ZEK dimaksudkan untuk memancing modal, teknologi, dan keterampilan manajemen asing," kata John J. Putman, penulis senior majalah National Geographic. Putman belum lama berselang menghabiskan waktu lima minggu di kawasan percobaan itu. Hampir 20 tahun RRC menutup diri dari pengaruh asing, dan bertekad membangun sosialisme dengan cara dan upaya sendiri. Hasilnya tidak menggembirakan. Belakangan, agaknya karena kecewa oleh hasil 'pembangunan' tertutup itu, mereka mengubah beleid. ZEK berada di pantai tenggara Cina. Daerah ini dirancang menjadi semacam sentrum ekspor dan produduksi,'laboratorium praktek' orang Cina dalam mempelajari gaya ekonomi dunia. Kawasannya yang paling luas dan paling berhasil ialah Shenzhen, daerah berbentuk naga seukuran 327,5 km2. Berhadapan dengan pantai utara Hong Kong, Shenzhen dengan sendirinya diuntungkan oleh letak geografisnya yang penuh janji. Ada kesan tersembunyi, RRC mengharapan Shenzhen suatu ketika menggantikan Hong Kong sebagai bandar yang ramah dan mendatangkan keuntungan. Beberapa tahun silam kawasan itu tak lebih dari sebuah kota perbatasan yang sepi dan mengantuk. Kini banyak terjadi perubahan. Debu mengepul di mana-mana. Dan di tengah kemacetan lalu-lintas, sejumlah pekerja konstruksi dengan penuh semangat membangun jalan, menggali parit, menyiapkan lahan, dan menegakkan bangunan pemukiman dan perdagangan. "Wajah pembangunan di sini mirip sebuah potret kuno dari masa lampau," tulis Putman. Batu-batu dipecahkan langsung dengan tangan, bahu kaum buruh dan kereta dorong menggantikan peranan truk. Penggunaan mesin dan peralatan modern sangat terbatas. Di kantor balai kota bisa disaksikan citra metropolis Shenzhen masa depan. Tampak tiga model untuk daerah perkotaan baru yang direncanakan. "Kota pertama meliputi sebuah stasiun kereta api baru dan sebuah menara 44 tingkat" kata Sun Jen, salah seorang perencana kawasan itu. Di sekitar menara itu akan didirikan seratus bangunan berlantai 18, tiga puluh di antaranya sedang dikonstruksi . Kota kedua berikutnya, merupakan pusat kota lama yang akan diubah menjadi kawasan pariwisata dengan gaya Cina tradisional. Kota ini akan penuh kedai, lepau, restoran, dan kaki lima khusus untuk para pejalan kaki. Kota ketiga sepenuhnya baru luasnya 30 km2, dilengkapi berbagai prasarana, termasuk sebuah sistem kereta api ringan. Kota ini menyediakan perlengkapan permukiman, industri, dan perdagangan untuk penanam modal asing. "Kami juga merencanakan sebuah kompleks kebudayaan dan ilmu pengetahuan, pusat tenaga nuklir, dan super highway enam jalur menuju Guangzhou (Kanton)," tutur Sun Jen berseri-seri. Pada tahun 2000, kawasan urban ini diharapkan dihuni sejuta penduduk. Ia dipisahkan oleh perbatasan sepanjang 45 km dengan pagar khusus seharga Rp 45 milyar. Terdapat enam pos pengecekan. Di kawasan inilah akan digalakkan berbagai kegiatan gaya Barat. Tetapi para penduduk RRC yang datang ke sini untuk menikmati warna hidup yang lebih menarik akan dicatat dengan cermat. Mungkin untuk membuat semacam statistik, seberapa jauh rakyat menggandrungi 'jalan kapitalis' . Pembangunan ini sungguh menakjubkan. "Laksana mendirikan sebuah Brazilia baru," ujar seorang penanam modal. Bayangkan: 60 ribu pekerja konstruksi, 34 perusahaan bangunan, dan 14 perusahaan disain dari berbagai wilayah Cina tumplek ke sini untuk 'bekerja sama'. Pemerintah Kota Shenzhen menyediakan Rp 370 milyar bagi usaha ini. Tetapi jumlah yang lebih besar justru bakal ditanamkan oleh berbagai perusahaan asing tadi. Dalam ukuran rupiah, angka-angkanya meliputi jumlah trilyun. Sebegitu jauh, sekitar 1.600 kontrak sudah ditandatangani - dan kira-kira Rp 1,5 trilyun sudah ditanam. Sekitar 90% penanam modal itu memang terdiri dari para hartawan Cina Hong Kong. Di timur Kota Shenzhen terbentang pegunungan, pantai berbentuk bulan sabit, dan jung yang melancar di air tampak ringan bagai sekawan itik. Nah - di lokasi yang permai inilah RRC membuka lahan pemakaman. Bagaimana para orang kaya Hong Kong itu tidak tertarik? Rombongan pemakaman boleh masuk wilayah ini dengan leluasa, sekalian dengan konvoi bis mereka. Seperti dikatakan seorang penduduk Hong Kong yang baru saja memakamkan anggota keluarganya di sini, "pemakaman di sini permanen. Kemungkinan digusur, seperti di Hong Kong, tipis sekali. " Lagi pula " ongkos di sini jauh lebih murah dibandingkan dengan di Hong Kong." Lahan pemakaman ini dibuat serasi pula dengan gaya Cina lama. Orang Cina percaya, pemakaman yang baik ialah yang dekat dengan angin dan air. Kemudian, bagai disengaja, kawasan timur Shenzhen ini dihiasi pegunungan berbentuk naga, kuda, dan harimau. Ketiga jenis binatang itu memainkan peranan tersendiri dalam mitologi dan legenda Cina. Jangan terkejut kalau di Shenzhen juga sudah berdiri sebuah country club Hong Kong. Anggotanya 1.400 orang. Klub ini menjanjikan kesempatan bermain ski air di danau, menunggang kuda Australia, serta menikmati makanan setingkat di Hong Kong. Gagasan mendirikan klub ini datang dari seorang warga Hong Kong juga, John Chan Wing-hong. "Beberapa tahun silam saya mencoba memasuki klub seperti ini di Hong Kong," kata John bercerita. "lurannya sangat mahal, sekitar Rp 30 juta setahun. Biaya yang tinggi itu sebagian besar untuk menyewa tanah dan fasilitas yang berkenaan dengan tanah. Saya lalu berpikir untuk mencari tanah yang lebih murah, juga yang tidak terlalu jauh dari Hong Kong. " Sudah tentu pilihan pertama jatuh ke sini. John Chan Wing-hong sendiri merupakan satu di antara delapan sekawan yang menanamkan Rp 9 milyar di klub itu. Letak klub di luar ZEK, tapi masih dalam administrasi pemerintahan Shenzhen. Sayangnya, para 'insan sosialis' itu sangat tidak berpengalaman membuat kontrak yang umumnya memang bergaya Barat. Chan Wing-hong menuturkan: "Tujuh kelompok dagang sudah mencoba sebelumnya. Tapi selalu gagal." Soalnya "mereka tidak menguasai cara berunding yang tepat dengan orang Cina" - tentu maksudnya yang 'asli'. Anda harus rendah hati, sabar, toleran, tapi juga sigap. Cina-cina itu ingin mengetahui banyak hal, tapi mereka tak sudi digurui. Apalagi dengan cara "kebarat-baratan" . Dalam saat-saat tertentu, diperlukan juga tekanan. John Chan Wing-hong tidak lupa bagaimana ia berunding berbulan-bulan dengan para pengurus komune dan pejabat Kota Shenzhen. Pada akhirnya semua memang mencapai kata sepakat, namun tak seorang menunjukkan niat mulai menandatangani kontrak. Wing-hong lalu berucap kepada Wali Kota: "Tuan, bagaimanapun, seseorang harus menandatangani kontrak ini. " Sang Wali segera memungut penanya. Di daerah Xili, orang Cina membuka usaha sendiri dengan modal 6,5 juta yuan. Dengan fasilitas yang luas daerah ini juga dijadikan sasaran kunjungan turis Hong Kong - dari golongan berpenghasilan rendah sampai menengah. Libur akhir minggu untuk sebuah keluarga hanya memerlukan sekitar Rp 60 ribu di sini. Pada hari-hari sibuk, Xili menampung sekitar lima ribu pengunjung. Masih ada cabang usaha lain di Shenzhen: pengadaan bahan pangan untuk penduduk Hong Kong yang lapar. Di Komune Fu Yong, sayurmayur dinaikkan ke truk-truk Hong Kong. Di sini juga berlaku sistem patungan: kapitalis Hong Kong menanam modal untuk pengadaan bibit dan pupuk, komune menyediakan tanah dan tenaga kerja. Menurut seorang co-manager bisnis persayuran ini, mulanya usaha mereka gagal. Kemudian mereka memecah brigade tani komune itu menjadi unit-unit beranggotakan 17 orang. Masing-masing unit bertanggung jawab atas 6 acre tanah. Ditunjang dengan sistem bonus, perkebunan sayur itu lantas maju. Rupanya sistem sosialis saja tidak mampu menjawab keadaan. Para penanam modal mengaku, keuntungan yang dipetik dari usaha sayur ini sebenarnya tidak seberapa. Tapi itulah, mereka lebih melihat manfaatnya dari segi pengadaan bahan makanan untuk penduduk Hong Kong. Sedangkan bagi para petani komune sendiri penghasilan tiba-tiba meningkat dari 1.569 yuan menjadi 5.669 yuan pertahun. Coba. Tak heran bila mereka segera saja percaya pada manfaat berkongsi dengan orang luar. Di sekitar Shenzhen banyak dijumpai apartemen dengan gaya Barat. Ini juga dibangun dengan modal Hong Kong. Pembelinya: Cina perantauan alias Hoakiau yang bercita-cita menghabiskan sisa usia di tanah leluhur. Juga Cina Hong Kong sendiri - yang memakainya terutama untuk tempat bercengkerama dengan sanak-saudara yang menjadi warga negara RRC. Malah skema bagi perumahannya yang terbesar akan menjadikan Shenzhen semacam "kamar tidur" penduduk Hong Kong. Proyek itu ditangani Hopewell Holdings Limited, salah satu hong terbesar di koloni Inggris itu. Seperti dikatakan seorang eksekutif Hopewell, "penduduk Hong Kong punya arloji bagus, pakaian necis, makanan lezat, tapi tidak rumah yang nyaman. Mereka tidak akan bisa mendapatkannya: harga tanah terlalu mahal. Kami melihat orang-orang ini membutuhkan rumah. Dari segi waktu, hydrofoil hanya membutuhkan kurang dari 40 menit dari Hong Kong ke Shenzher. Lalu apa bedanya? Maka kami membuka usaha ini, menyediakan perumahan dengan harga separuh tarif Hong Kong." Tapi Hopewell beium melepas modal. Mereka lebih dulu ingin meratakan jalan yang berhubungan dengan hukum perdagangan di bidang ini. "Prasarana hukum harus lebih dulu dibereskan sebelum uang di lempar ke seberang, " ujar seorang eksekutif Hopewell. Untuk urusan ini RRC meminta bantuan sejumlah pengacara Amerika Serikat terkemuka. Maka bentuk kerja sama itu pun menjadi bertambah unik. Di bidang produksi barang ekspor yang berkenaan dengan Shenzhen, orang Cina belajar dari sejumlah negeri berkembang lain. Mereka kemudian menerapkannya di negeri sendiri demi merayu modal asing. Harga tanah dan upah buruh ditekan rendah. Bea masuk diperkecil bahkan kalau perlu ditiadakan, untuk beberapa jenis bahan baku. Pajak keuntungan pun tidak lebih dari 15%. Sayangnya, pembukaan ZEK bertepatan dengan resesi dunia sehingga kemajuan percobaan itu kurang memenuhi harapan. Sebagian besar pabrik yang didirikan di sana berukuran kecil, dengan modal yang juga tak seberapa besar. Sebagian terdiri dari usaha perakitan dan prosesing. Teknologi juga masih sederhana. Di sana terdapat pabrik garmen, dengan para wanita muda bekerja di belakang mesin jahit Juki dan Brother buatan Jepang. Mereka membuat aneka pakaian yang akan dilempar ke pasaran dunia. Ada juga pabrik elektronik, tempat komponen impor dirakit menjadi radio arloji digital dengan merk J.C. Penney. Juga pabrik mainan anak-anak. Salah satu kebanggaan Shenzhen adalah pabrik Pepsi-Cola yang baru berusia setahun. Menurut Guang Zhao, seorang manajer dari pihak Cina, kontrak perusahaan Amerika dengan orang-orang Cina dalam usaha Pepsi ini khas Shenzhen. Cina menyediakan tanah, tenaga kerja, dan bahan baku. Pepsi-Cola menyediakan modal, mesin, manajer, dan tenaga teknis berpengalaman. Dalam lima tahun pertama keuntungan pabrik ini akan dinikmati Cina 55% dan Pepsi 45% . Sekitar 80% produksi - 24 juta botol setahun dikirimkan untuk melepas dahaga orang Hong Kong. Tetapi problem bukan tak ada. Terutama pada kenyataan kurangnya tenaga operator mesin berpengalaman, dari pihak Cina. "Kapasitas produksi pabrik ini 6.500 peti per shift, " ujar Guang Zhao. Tapi sampai tiga bulan lalu mereka baru mencapai tiga sampai lima ribu peti . Dia juga menganggap cara kerja "model Barat" agak terlalu kaku. Untuk segera meningkatkan produktivitas, para manajer yang bertugas di ZEK diizinkan memecat buruh. "Ini sesuatu yang baru bagi kami, " ujar Guang. "Hingga kini sudah terjadi empat kasus pemecatan." Tetapi di pihak lain, ZEK menjanjikan upah yang lebih mahal ketimbang yang diterima buruh pabrik pemerintah di luar kawasan khusus itu. Misalnya, rata-rata buruh di Kanton menerima upah sekitar Rp 37 ribu sebulan. Di ZEK angka pendapatan buruh berkisarantara Rp 120 ribu dan Rp 160 ribu. Pabrik-pabrik yang lebih besardan lebih modern tampak berdiri di wilayah khusus Shenzhen. Di antaranya terdapat Zona Industri Shekou, seluas 1 km2. Usaha ini dikelola China Merchants Steam Navigation Co., perusahaan Hong Kong. Di dekat dermaga berdiri sebuah pabrik. Modalnya ditanam oleh Continental Graining Company, New York. Sebuah pabrik lain merupakan usaha patungan antara China Merchants dan East Asiatic Company, Denmark. Dari perusahaan ini beberapa kapal peti kemas setiap hari dimuati dengan tujuan berbagai pasar internasional . Zona Industri Shekou memang punya visi sendiri dalam memandang masa depan. Di sini antara lain akan didirikan 100 pabrik, sebuah stadion untuk olah raga indoor, dan sebuah hotel mewah dengan anggaran pembangunan Rp 100 milyar. Kini, di lokasi itu sudah selesai dibangun sejumlah villa tepi pantai yang elok dan beberapa 'taman kristal'. Para pekerja menggebu siang dan malam dari kejauhan sudah terdengar gema ketukan palu dan tatahan pahat mereka di batu-batu . Villa itu boleh dibeli orang asing, dengan harga Rp 100 juta sebuah. Beberapa di antaranya sudah terjual. Di Beijing, dalam waktu yang bersamaan, 33 kongsi minyak asing sedang bertarung untuk ikut menggarap kilang minyak lepas pantai Cina. Pada waktunya sekitar Rp 20 trilyun akan ditanam di sekitar Laut Cina Selatan, dan sebagian besar ladang minyak itu terletak di sekitar kuala Sungai Mutiara. China Merchants dan beberapa rekanannya sudah memulai mendirikan sebuah pelabuhan ikan berukuran kecil di Chiwan. Di masa depan pelabuhan ini diharapkan menjadi urat nadi kebutuhan ikan kawasan sekitarnya. Berbincang-bincang dengan Zhou Xi-wu, deputi wali kota Shenzhen, merupakan keasyikan tersendiri. Tokoh ini penuh pikiran, dan selalu berbicara sepeti berbisik. Apalagi bila menuturkan pengalamannya di zaman Revolusi Kebudayaan. Ketika itu, katanya, ia pernah diseret ke sebuah rapat raksasa, dan di sana dituding- tuding sebagai "penindas gerakan massa". Juga didakwa sebagai "pengikut garis kapitalis." Sepanjang tahun-tahun yang riuh-rendah itu Zhou praktis tidak punya mata pencaharian . Ketika Kelompok Empat ganti diblejeti, dan Revolusi Kebudayaan padam, barulah Zhou bisa bernapas. Cina mendapat pemimpin dengan garis moderat. Zhou segera dipanggil untuk kembali dipekerakan di lapangan yang sesuai dengan kecakapannya. "Di masa lampau," ujar Zhou "kami biasa menekankan bahwa pembangunan negeri ini harus dilaksanakan dengan kepercayaan diri sendiri. Sekarang pun sebetulnya pendirian itu tidak berubah. Hanya saja, dulu banyak rakyat yang salah mengerti. Mereka menyangka kerja sama dengan pihak asing akan membuat Cina tergantung sama sekali pada kebijaksanaan negeri lain." Kemudian, cerita Zhou, para pemimpin Cina akhirnya tidak lagi menganggap kemungkinan kerja sama dengan pihak asing sebagai sama sekali hitam. "Pemerintah pusat lalu memutuskan untuk melakukan semacam percobaan. Dibuatlah kebijaksanaan baru, di antaranya Zona Ekonomi Khusus ini." "Kami sadar, sistem ekonomi sosialis tidak sempurna adanya," tutur Zhou lebih lanjut. "Tapi kami juga tidak bisa memakai sistem kapitalis seluruhnya. Kami akan bertahan di jalan sosialis. Namun tidak ada salahnya memperkaya jalan sosialis itu dengan beberapa pengalaman ekonomi negeri lain, tidak peduli kapitalis atau sosialis. Dengan demikian, kami harap, jalan yang kami pilih selalu diperbarui, diubah di sana-sini, ya, disempurnakan. " Begitulah. Jadi ZEK betul-betul sebuah percobaan . Kalau ia sukses, sistemnya akan diterapkan di bagian lain daratan Cina yang luas itu . Dan bila gagal, toh bisa saja sistem itu dicampakkan ke dalam kenang-kenangan. Tapi pada akhirnya, Zhou mengaku, ZEK juga tak bisa dilepaskan dari usaha Cina 'menjinakkan' Hong Kong dan Taiwan. "Bila ZEK sukses," kata Zhou, "saudara-saudara kami di Hong Kong dan Taiwan akan melihat bahwa di bawah kekuasaan Cina orang bisnis toh dapat hidup, menanam modal, dan memperoleh keuntungan. Bila Hong Kong dan Taiwan berada di bawah administrasi RRC, kami akan menempuh cara khusus untuk mengurus mereka. Mereka boleh tetap mempertahankan sistem kapitalis yang sudah ada." Dibandingkan dengan Shenzhen, daerah ZEK lainnya memang tampak lebih kecil, nyaris embrionis. Zhuhai, misalnya, berhampiran dengan Macao yang dikuasai Portugis, dengan luas hanya sekitar 6,8 km2. "Selama kunjungan ke Zhuhai saya hanya melihat sebuah pabrik sedang beroperasi," tulis John J. Putman. Toh Zhuhai juga sudah menandatangani kontrak pembangunan menyeluruh dengan sebuah perusahaan Hong Kong yang dimiliki tiga keluarga Cina perantauan. Daerah ini sendiri, kalau diselidiki lebih jauh, sebetulnya tidak terlalu miskin. "Kami memiliki enam ribu kilometer persegi laut, 114 pulau, 87 kilometer persegi tanahyang layak untuk ditanami, dan Kota Zhuhai dengan 150 ribu penduduk," ujar Huang Wen-zhong, seorang pejabat situ. "Kami memiliki sejumlah tempat dengan pemandangan elok, juga lokasi yang tepat untuk olah raga. Tanah di sini bagus, kaya mineral, dan tersedia bahan untuk keperluan pembangunan. Kami segeraakan membikin lapangan terbang. Juga pelabuhan ." Salah satu ciri yang menonjol di semua wilayah ZEK ialah semangat para pejabatnya yang berapi-api. "Kami akan mengubah Zhuhai menjadi kota perbatasan tipe baru," seru Huang Wen-zhong. Bagaimana? "Terbu ka kepada dunia, pusat ekspor dan produksi, serta sentrum pariwisata yang hidup" . . . Di Shantou (Swatou), 274 km dari pantai Shenzhen, terletaklah wilayah ZEK yang ketiga. Bila dilihat dari atas tampak Sungai Han yang keruh sebuah kota yang dikelilingi tanah hijau pertanian, serta kampung-kampung dengan rumah beratap genting hitam. Berbeda dengan Shenzhen dan Zhuhai, Shantou sudah sejak lama merupakan pusat industri dan perdagangan. Juga tempat bertolak sebagian besar emigran Cina. Masalah mereka dimasalampau: terlalu banyak penduduk untuk terlalu kecil lapangan kerja. Kini pun Shantou tetap kota yang riuh-rendah. Kawanan penunggang sepeda memenuhi jalan bagai gelombang yang tiada putusnya. Para pencari kerja berkeliaran dengan ligat. Dan, penting dicatat, di kota ini bisa dijumpai sejumlah pengemis. Kawasan ZEK Shantou terletak di tepi kota, dengan luas sekitar 1,6 km2, dan baru saja dimulai pengembangannya. Direktur ZEK di sini, Liu Feng, biasanya membawa paratamu kepuncak gedung pemerintahan, lalu mempertontonkan daerah kekuasaannya yang sedang dibuka. "Kami sedang membangun dua pabrik di sini," katanya. "Pada pertengahan kedua tahun depan, kami sudah berhadapan dengan banyak pekerjaan besar. Pada saatnya di daerah ini akan berdiri 250 pabrik, dengan 50 ribu tenaga kerja." Modal asing pun mulai diundang untuk mengambil peranan di sini. "Kota Shantou memiliki 150 pabrik yang memproduksi barang ekspor," kata Liu Feng. "Bila ada pemilik modal yang ingin menanam uangnya di pabrik yang sudah berjalan ini, silakan, silakan. Ia akan memperoleh keuntungan yang sama dengan kondisi di Zona Ekonomi Khusus." Dari Shantou, dibutuhkan tujuh jam perjalanan mobil ke utara utuk mencapai Xiamen - alias Amoy kawasan ZEK terakhir. Di wilayah ini padang-padang hijau mendaki perbukitan, di sela-sela rumah penduduk yang sedikit, dan kadang-kadang tampak para petani menggembalakan angsa. Sebuah jalan panjang terbentang menuju kota. Ada becak, kedai-kedai kecil, toko tukang sepatu, kios penjahit, pabrik roti, dan sebuah toko ahli gigi. Sisanya angin pantai . Dan bau laut yang merangsang. Seperti halnya Shantou, ZEK Xiamen terletak di tepi kota - dan seluruhnya masih merupakan rencana di kertas. Tapi lokasi sudah mulai disiapkan, dan jalanan mulai dibangun. Bila diperhatikan dengan saksama, jelas dalam waktu dekat kota ini akan sudah memiliki sebuah lapangan terbang. Wilayah ini, kata pejabat Wu Zhong, "hanya seluas dua setengah kilometer persegi, dan merupakan bagian dari sebuah zona prosesing barang ekspor. " "Tujuan kami adalah sebuah pusat industri ringan - dengan pendapatan buruh yang bagus, dan sedikit penduduk," ujar Wu. "Kami menawarkan kondisi khusus yang menarik rekanan yang menawar lebih awal dan pihak luar yang sanggup mengalihkan teknologi maju terutama di bidang elektronik dan alat-alat presisi." Sebuah perusahaan Amerika, R.J. Reynolds Tobacco International, Inc., sudah mulai menanamkan kukunya di sini. Mereka mendirikan pabrik kecil yang memproduksi rokok berfilter, Camel. Rupanya perusahaan ini melihat jauh ke depan. "Kami berharap tidak hanya memproduksi Camel, " ujar seorang eksekutif. "Juga kemungkinan membuat rokok dengan cara patungan dengan Cina. " Ehm, bukankah orang Cina terkenal sebagai perokok ulung? Di seluruh kawasan ZEK para pemimpin dan usahawan Cina meletakkan sejuta harapan. Dan harapan pun terkandung di hati banyak usahawan asing. Tetapi hari depan ZEK, sudah tentu, tergantung banyak faktor. Antara lain, yang sudah disebut, resesi dunia. Harga minyak. Dan jaminan bahwa 'jalan liberal' yang ditempuh Cina sekarang memang akan berkesinambungan. Yang terakhir itu berarti stabilitas politik. Sebab, siapa tahu 'kan, 'jalan liberal' itu nanti tiba-tiba dikritik, dan semua perusahaan asing dinasionalisasi. Memang, para usahawan itu juga punya perhitungannya sendiri. Sementara itu, nasib Hong Kong yang masih menggantung merupakan faktor lain pula. ZEK tampaknya berusaha memancing modal yang belakangan ini mulai diungsikan dari koloni Inggris itu. Bukan rahasia umum lagi, sekarang ini sejumlah besar uang sudah berpindah dari Hong Kong ke Singapura atau Amerika Serikat. Hartawan tertentu menghilang untuk beberapa lama, untuk muncul lagi dengan kewarganegaraan baru. Kadangkadang mereka memiliki paspor dari negeri-negeri jauh dan kecil. Nah orang bisa menganggap, ZEK sebenarnya hanya dimaksud untuk menadah arus itu. Lagi pula banyak orang masih sangsi, bagaimana sistem kapitalis bisa berdampingan dengan komune rakyat. Bagaimana sebuah kota dengan toko-toko yang memamerkan kaca mata model terakhir dan pesawat stereo, bisa menenggang kedai koperasi pemerintah yang menyediakan beras dan gandum untuk kerani partai. Lagi: bukankah para pendukung Revolusi Kebudayaan belum seluruhnya punah? Mereka ini, bagaimanapun, tetap saja mengintai bagai macan di rumpun bambu, mencari-cari kesalahan, dan menunggu peluang yang bagus untuk memamerkan kuku. Di abad lampau meriam-meriam Inggris membuka Perang Candu yang buas dan berdarah. Dan terbukalah pintu Cina untuk dunia di luar. Kini, pintu itu terbuka lagi - tanpa ketukan apa pun dari negara Barat. Seperti di ramalkan seorang sejarawan Inggris: "Akan tiba waktunya ketika kemaharajaan yang luas ini membuka lagi pintu dan jendelanya menghadap Barat - tidak dari balik tembok terkunci, tidak juga melalui dentuman meriam yang bertubi." "Timur akan memandang Barat, dengan jalinan persahabatan dan pengetahuan akan nilai masing-masing yang semakin tumbuh. Zaman yang gelap segera akan berakhir, " kata Putman bagai berdoa. Agak sial, memang, yang terbuka itu Barat namanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus