DESA Pucangarum memang terpencil. Tapi tidak bisa dikatakan
sulit didatangi. Dari Kota Bojonegoro, Jawa Timur, jaraknya 35
km arah timur laut. Dari kota kecamatan Baureno, dengan ojek
sepeda motor - satu-satunya kendaraan yang bisa mencapai desa
itu - masih 10 km lagi dengan menempuh jalan berbatu-batu.
Pucangarum, yang berpenduduk 2.500 jiwa lebih, terbilang desa
rawan menjelang dan ketika G30S/PKI pecah 18 tahun yang lalu.
Desa ini dijadikan basis PKI dengan beberapa gembongnya. Tentu
saja sekarang ada perubahan di desa itu, yang terdiri dari tiga
pedukuhan: Randap, Pucang, dan Losari. Sekarang, misalnya, ada
dua sekolah dasar, sebuah masjid, satu madrasah, dan 16 langgar.
Dulu, semua itu tak ada di Pucangarum. Hanya satu hal yang tidak
berubah: kebiasaan penduduk hidup bersama tanpa nikah alias
samenleven. Di sana disebut dampulan.
Tidak diketahui secara pasti berapa pasang dampulan yang ada di
Pucangarum. Ketika wartawan TEMPO, Choirul Anam, mengunjungi
desa itu pekan lalu, ia menjumpai sedikitnya lima pasang suami
istri yang sudah beranak pinak tanpa nikah. Di antaranya Samani,
40 tahun, mendampul Suwer sampai punya dua anak, sementara
Samani sendiri terikat perkawinan sah dan punya tiga anak. Mat
Isan, 40 tahun, yang mendampul Rasmi 35 tahun, sudah dikaruniai
dua anak. Satimo, 60 tahun, yang kawin sah dengan Temu, 40
tahun, masih mendampul Ngastri, 40 tahun. Pasangan dampulan
Satimo-Ngastri ini dikaruniai seorang anak perempuan umur 8
tahun, Wati.
Rumah Satimo sederhana saja, berdinding bambu dan bagian depan
yang dijadikan warung berdinding kayu. Warung yang menjual
berbagai macam minuman itu selalu dikerumuni puluhan laki dan
perempuan dewasa. Mereka, termasuk yang perempuan, bertelanjang
dada. Tentu saja payudara para wanita itu terlihat jelas. "Saya
ini orang bodoh. Saya tak tahu hukum yang sekarang ini. Saya
kira sama seperti dulu," kata Satimo ketika ditanyai tentang
hidupnya bersama Ngastri. Kebiasaan hidup berpasang-pasangan
tanpa nikah, kata Satimo, sudah dikenal sebelum tahun 1965.
"Saya kawin dengan Temu tak punya anak. Karena itu mendampul
Nastri," kilah Satimo. Ketika Ngastri ditanya, apa perasaannya
hidup didampul, ia menjawab polos: "Tidak apa-apa, sudah
biasa." Temu sendiri juga merelakan suaminya hidup bersama
Ngastri, tanpa ada perasaan cemburu.
Kawasan desa yang dikelilingi hutan jati dan kebun tembakau itu
memang jauh dari keramaian kota. Tapi di sana selalu ada hiburan
khas, yakni sinden atau tandaan. Sinden itu datang berkelompok
atau perorangan, menampilkan tembang dengan iringan gamelan
seadanya. Mereka datang dari Kediri dan Nganjuk. Di musim panen
tembakau, rombonan sinden datang lebih banyak. Di saat inilah
penduduk Pucangarum dan sekitarnya berfoya-foya. Sinden itu pun
ternyata bisa didampul dalam batas waktu tertentu. "Kalau musim
tembakau, sinden itu datang tanpa kalung dan gelang emas, tapi
pulangnya bisa gemerlapan," tutur Muhammad Nafik, staf Kantor
Departemen Agama Kabupaten Bojonegoro.
Penduduk desa ini juga terkenal sebagai penggemar minuman keras
dan suka mabuk. Di warung Satimo, misalnya, akan sangat aneh dan
dianggap lucu kalau orang memesan teh manis atau wedang jahe. Di
sini orang minum tuak - disebut bir cap kuntul - dan bir segala
merk seperti yang biasa ditemui di kota. Para pria desa itu,
selesai minum-minum, lantas mencari sinden atau perempuan yang
belum ada pendampulnya.
Kepala Desa Pucangarum, Abdullah, 47 tahun, hanya bisa
geleng-geleng kepala. "Saya sudah sering menegur agar pasangan
itu kawin resmi saja. Tapi tetap saja, kata mereka, ikut aman
lama," ujar Abdullah agak jengkel. Ia mengaku penyuluhan hukum
di desanya amat kurang.
Ternyata Desa Pucangarum hanya sebuah contoh. Hampir seluruh
desa di Kabupaten Bojonegoro punya pasangan-pasangan bebas.
Bupati Bojonegoro, Drs. Soejono, yang awal Oktober ini
menyerahkan jabatan kepada bupati baru Drs. Soedjito, pernah
mengeluarkan surat edaran Mei 1981 untuk memberantas hidup
dampulan. Dalam surat edaran ini bupati minta,
selambat-lambatnya Juli 1981, hidup dampulan sudah tidak ada.
Surat edaran itu hampir tidak berarti. Sementara itu, kantor
Departemen Agama Bojonegoro hanya mampu membuat catatan. "Pada
tahun 1982 jumlah pendampul diketahui sebanyak 868 pasang di 21
kecamatan," kata Muhammad Naif, kepala Seksi Dokumentasi dan
Statistik Urusan Agama Islam, Departemen Agama Bojonegoro.
Pasangan bebas ini paling banyak ditemui di Kecamatan Kasiman,
Kecamatan Purwosari, dan Kecamatan Baureno, yaitu di desa-desa
di kawasan hutan yang terkenal dengan tembakau voor oost
Bojoneoro, langganan pabrik rokok Gudang Garam. Mardjuki,
kepala KUA Baureno menceritakan kisah unik sekaligus
memprihatinkan. Puluhan wanita desa, katanya, berbondong-bondong
ke Pasar Purwosari sejak pagi, setiap hari pasaran yang jatuh 5
hari sekali (pasaran Pon). Wanita desa itu berderet-deret
"menjajakan diri". Para pemuda kemudian datang memilih wanita
yang disukai. Setelah cocok, wanita dibawa pulang dan
diperlakukan sebagai istri - tanpa nikah. Kalau sama-sama bosan,
dikembalikan lagi ke pasar. "Pengembalian juga pada saat pasaran
Pon," kata Mardjuki. "Soal bosan, waktunya relatif."
Alasan penduduk memilih hidup bebas begitu bermacam-macam. Ada
yang mengaku tidak tahu bahwa perbuatan itu dilarang. Setelah
diadakan serangkaian penyuluhan, ada yang mengaku akan segera
mengurus pernikahannya, tapi menunggu waktu. "Ada pasangan yang
tidak berminat menikah dan tidak pula berminat pisah," kata
Nafik. Adapun alasan ingin mendapatkan keturunan atau biaya
nikah mahal, menurut Nafik, terlalu dicari-cari.
Kasus dampulan ini, bagi pejabat-pejabat di tingkat kabupaten,
dianggap mencemarkan. "Masalah ini harus diselesaikan tuntas.
Jika tidak mau pisah atau tetap tak mau nikah, akan diserahkan
kepada yang berwajib," kata Sukistijono, kepala seksi
pemerintahan di Kantor Pembantu Bupati di Baureno. Ia
mengharapkan bupati baru yang dilantik 6 Oktober ini, Drs.
Soedjito, bertindak lebih tegas.
Rojak, penduduk Mragelan, Kecamatan Babalan (24 km dari
Bojonegoro) yang punya seorang anak gadis, mengakui terus terang
akan menyerahkan anak gadisnya untuk "digauli bebas tanpa perlu
ikatan perkawinan," jika ada lelaki pendatang yang punya
"pangkat" - maksudnya pegawai negeri. "Saya ingin punya
keturunan pinter, biar cucu saya jadi orang berpangkat,"
katanya. Tidak malukah dia bila anak gadisnya hamil tanpa suami?
Rojak menggeleng. Dan pertanyaan begitu justru dianggap aneh di
Mragelan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini