Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ke pucangarum mencari dampulan

Di kabupaten bojonegoro ada kebiasaan penduduk hidup bersama tanpa nikah, di pasar purwosari wanita desa berderet menjajakan diri untuk didampul. (pan)

8 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESA Pucangarum memang terpencil. Tapi tidak bisa dikatakan sulit didatangi. Dari Kota Bojonegoro, Jawa Timur, jaraknya 35 km arah timur laut. Dari kota kecamatan Baureno, dengan ojek sepeda motor - satu-satunya kendaraan yang bisa mencapai desa itu - masih 10 km lagi dengan menempuh jalan berbatu-batu. Pucangarum, yang berpenduduk 2.500 jiwa lebih, terbilang desa rawan menjelang dan ketika G30S/PKI pecah 18 tahun yang lalu. Desa ini dijadikan basis PKI dengan beberapa gembongnya. Tentu saja sekarang ada perubahan di desa itu, yang terdiri dari tiga pedukuhan: Randap, Pucang, dan Losari. Sekarang, misalnya, ada dua sekolah dasar, sebuah masjid, satu madrasah, dan 16 langgar. Dulu, semua itu tak ada di Pucangarum. Hanya satu hal yang tidak berubah: kebiasaan penduduk hidup bersama tanpa nikah alias samenleven. Di sana disebut dampulan. Tidak diketahui secara pasti berapa pasang dampulan yang ada di Pucangarum. Ketika wartawan TEMPO, Choirul Anam, mengunjungi desa itu pekan lalu, ia menjumpai sedikitnya lima pasang suami istri yang sudah beranak pinak tanpa nikah. Di antaranya Samani, 40 tahun, mendampul Suwer sampai punya dua anak, sementara Samani sendiri terikat perkawinan sah dan punya tiga anak. Mat Isan, 40 tahun, yang mendampul Rasmi 35 tahun, sudah dikaruniai dua anak. Satimo, 60 tahun, yang kawin sah dengan Temu, 40 tahun, masih mendampul Ngastri, 40 tahun. Pasangan dampulan Satimo-Ngastri ini dikaruniai seorang anak perempuan umur 8 tahun, Wati. Rumah Satimo sederhana saja, berdinding bambu dan bagian depan yang dijadikan warung berdinding kayu. Warung yang menjual berbagai macam minuman itu selalu dikerumuni puluhan laki dan perempuan dewasa. Mereka, termasuk yang perempuan, bertelanjang dada. Tentu saja payudara para wanita itu terlihat jelas. "Saya ini orang bodoh. Saya tak tahu hukum yang sekarang ini. Saya kira sama seperti dulu," kata Satimo ketika ditanyai tentang hidupnya bersama Ngastri. Kebiasaan hidup berpasang-pasangan tanpa nikah, kata Satimo, sudah dikenal sebelum tahun 1965. "Saya kawin dengan Temu tak punya anak. Karena itu mendampul Nastri," kilah Satimo. Ketika Ngastri ditanya, apa perasaannya hidup didampul, ia menjawab polos: "Tidak apa-apa, sudah biasa." Temu sendiri juga merelakan suaminya hidup bersama Ngastri, tanpa ada perasaan cemburu. Kawasan desa yang dikelilingi hutan jati dan kebun tembakau itu memang jauh dari keramaian kota. Tapi di sana selalu ada hiburan khas, yakni sinden atau tandaan. Sinden itu datang berkelompok atau perorangan, menampilkan tembang dengan iringan gamelan seadanya. Mereka datang dari Kediri dan Nganjuk. Di musim panen tembakau, rombonan sinden datang lebih banyak. Di saat inilah penduduk Pucangarum dan sekitarnya berfoya-foya. Sinden itu pun ternyata bisa didampul dalam batas waktu tertentu. "Kalau musim tembakau, sinden itu datang tanpa kalung dan gelang emas, tapi pulangnya bisa gemerlapan," tutur Muhammad Nafik, staf Kantor Departemen Agama Kabupaten Bojonegoro. Penduduk desa ini juga terkenal sebagai penggemar minuman keras dan suka mabuk. Di warung Satimo, misalnya, akan sangat aneh dan dianggap lucu kalau orang memesan teh manis atau wedang jahe. Di sini orang minum tuak - disebut bir cap kuntul - dan bir segala merk seperti yang biasa ditemui di kota. Para pria desa itu, selesai minum-minum, lantas mencari sinden atau perempuan yang belum ada pendampulnya. Kepala Desa Pucangarum, Abdullah, 47 tahun, hanya bisa geleng-geleng kepala. "Saya sudah sering menegur agar pasangan itu kawin resmi saja. Tapi tetap saja, kata mereka, ikut aman lama," ujar Abdullah agak jengkel. Ia mengaku penyuluhan hukum di desanya amat kurang. Ternyata Desa Pucangarum hanya sebuah contoh. Hampir seluruh desa di Kabupaten Bojonegoro punya pasangan-pasangan bebas. Bupati Bojonegoro, Drs. Soejono, yang awal Oktober ini menyerahkan jabatan kepada bupati baru Drs. Soedjito, pernah mengeluarkan surat edaran Mei 1981 untuk memberantas hidup dampulan. Dalam surat edaran ini bupati minta, selambat-lambatnya Juli 1981, hidup dampulan sudah tidak ada. Surat edaran itu hampir tidak berarti. Sementara itu, kantor Departemen Agama Bojonegoro hanya mampu membuat catatan. "Pada tahun 1982 jumlah pendampul diketahui sebanyak 868 pasang di 21 kecamatan," kata Muhammad Naif, kepala Seksi Dokumentasi dan Statistik Urusan Agama Islam, Departemen Agama Bojonegoro. Pasangan bebas ini paling banyak ditemui di Kecamatan Kasiman, Kecamatan Purwosari, dan Kecamatan Baureno, yaitu di desa-desa di kawasan hutan yang terkenal dengan tembakau voor oost Bojoneoro, langganan pabrik rokok Gudang Garam. Mardjuki, kepala KUA Baureno menceritakan kisah unik sekaligus memprihatinkan. Puluhan wanita desa, katanya, berbondong-bondong ke Pasar Purwosari sejak pagi, setiap hari pasaran yang jatuh 5 hari sekali (pasaran Pon). Wanita desa itu berderet-deret "menjajakan diri". Para pemuda kemudian datang memilih wanita yang disukai. Setelah cocok, wanita dibawa pulang dan diperlakukan sebagai istri - tanpa nikah. Kalau sama-sama bosan, dikembalikan lagi ke pasar. "Pengembalian juga pada saat pasaran Pon," kata Mardjuki. "Soal bosan, waktunya relatif." Alasan penduduk memilih hidup bebas begitu bermacam-macam. Ada yang mengaku tidak tahu bahwa perbuatan itu dilarang. Setelah diadakan serangkaian penyuluhan, ada yang mengaku akan segera mengurus pernikahannya, tapi menunggu waktu. "Ada pasangan yang tidak berminat menikah dan tidak pula berminat pisah," kata Nafik. Adapun alasan ingin mendapatkan keturunan atau biaya nikah mahal, menurut Nafik, terlalu dicari-cari. Kasus dampulan ini, bagi pejabat-pejabat di tingkat kabupaten, dianggap mencemarkan. "Masalah ini harus diselesaikan tuntas. Jika tidak mau pisah atau tetap tak mau nikah, akan diserahkan kepada yang berwajib," kata Sukistijono, kepala seksi pemerintahan di Kantor Pembantu Bupati di Baureno. Ia mengharapkan bupati baru yang dilantik 6 Oktober ini, Drs. Soedjito, bertindak lebih tegas. Rojak, penduduk Mragelan, Kecamatan Babalan (24 km dari Bojonegoro) yang punya seorang anak gadis, mengakui terus terang akan menyerahkan anak gadisnya untuk "digauli bebas tanpa perlu ikatan perkawinan," jika ada lelaki pendatang yang punya "pangkat" - maksudnya pegawai negeri. "Saya ingin punya keturunan pinter, biar cucu saya jadi orang berpangkat," katanya. Tidak malukah dia bila anak gadisnya hamil tanpa suami? Rojak menggeleng. Dan pertanyaan begitu justru dianggap aneh di Mragelan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus