Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sunarti, 20 tahun, berjalan tertatih-tatih dengan menggunakan dua tongkat penyangga. Perempuan warga Sumbergesing, Gedangan, Malang, itu tengah menyusuri jalan setapak untuk mencapai rumahnya yang terletak di ujung jalan. Ia cacat seumur hidup setelah dilempar dari lantai enam sebuah apartemen di Singapura, saat ia menjadi tenaga kerja di sana, Februari silam. Goretan luka bekas jahitan di tangan, leher, dagu, dan wajahnya menjadi saksi bisu betapa tragis nasib yang dialaminya. "Saya dilempar setelah uang saya dirampas. Saya tidak tahu siapa pelakunya," Sunarti berkisah.
Kisah pilu Sunarti diawali kala ia mendaftar sebagai tenaga kerja wanita (TKW) di Singapura. Ia mendaftar melalui Fadillah—seorang calo warga Blimbing, Malang, Jawa Timur—dengan menyetor duit Rp 200 ribu. Sunarti lalu disalurkan oleh PT Bina Swadaya Kerta Utama, Surabaya, dan ia berangkat ke Negeri Singa pada pertengahan Juni 1999. Di Singapura, Sunarti bekerja di rumah Kooh Siok Hoon. Di rumah berlantai tiga itu, selain majikan dan istrinya, juga tinggal dua anaknya, orang tua Kooh Siok Hoon, dan seorang adiknya. "Saya tidak tahu apa pekerjaan majikan saya," ujar gadis lulusan sekolah dasar itu.
Jam kerja Sunarti dimulai pukul lima pagi hingga larut malam. Dan ia kerap kali masih harus bekerja hingga pukul dua dini hari. Tugasnya mencuci, memasak, membersihkan rumah, mengasuh dua anak, dan merawat kedua orang tua majikannya yang telah lumpuh. Ia tak pernah mendapat libur. Pada hari Minggu, beban kerjanya justru bertambah. Menurut dia, setiap Ahad pasti ada pesta keluarga besar majikannya. Sunarti hanya bisa benar-benar menikmati libur kala hari raya Idul Fitri tiba.
Beruntung, majikan Sunarti cukup baik. Anak kedua pasangan Ruslan dan Sartini itu tak pernah dimarahi, apalagi sampai dipukul. Ketika kontrak selama dua tahun berakhir, ia diminta memperpanjangnya. Alasannya, anak-anak Kooh Siok Hoon masih kecil-kecil dan masih membutuhkan perawatan Sunarti.
Hingga suatu hari pada Februari 2003, petaka itu datang. Sunarti didatangi seorang perempuan muda. Saat itu rumah majikannya sedang sepi. Perempuan itu menggedor-gedor pintu belakang. Ketika pintu dibuka, perempuan itu menadahkan tangan meminta uang. Alasannya, suaminya sudah meninggal dan anaknya banyak. Karena iba, Sunarti mengiyakan—dan ia lantas mengambil uang di tasnya dalam kamar.
Tapi, ketika Sunarti kembali, perempuan itu ternyata tak sendiri. Di depannya sudah menghadang dua laki-laki berwajah sangar. Saat itulah Sunarti langsung diseret ketiga orang itu dan dimasukkan ke mobil. Tas berisi uang hasil gaji selama 20 bulan, kalung, cincin, dan gelang emas dirampas. Dalam perjalanan, Sunarti dianiaya tanpa tahu alasannya. "Mulut dan mata saya ditutup, tangan serta kaki saya diikat. Lalu sekujur tubuh saya dipukul dan ditendang," kata Sunarti.
Perempuan lugu itu dibawa ke sebuah apartemen. Di satu ruangan, ia disuruh menulis surat kepada orang tuanya yang menyatakan ia hendak bunuh diri. Semula, Sunarti menolak. Tapi, karena lehernya ditodong sebilah pisau, ia bersedia. Setelah itu, Sunarti digiring ke depan pintu yang menghadap ke jalan raya. "Saya melihat mobil yang ada di jalan raya tampak kecil," tuturnya.
Sunarti sempat bertanya kenapa ia dibawa ke tempat itu. Perempuan itu berkata bahwa Sunarti harus mati dan tidak boleh tahu siapa yang membunuhnya. Lalu, blas..., tubuh Sunarti didorong meluncur ke bawah.
Perempuan muda itu baru sadar ketika berada di General Hospital Singapura. Menurut pemeriksaan dokter, Sunarti mengalami patah tulang belakang dan kaki. Luka-luka pada bagian tangan, muka, dagu, dan leher. Ia juga mengalami keretakan pada kepala bagian belakang.
Setelah enam bulan dirawat, ia diperbolehkan pulang. Sunarti mengatakan, ia tak tahu siapa yang membayar biaya rumah sakit di Singapura dan membayar tiket pesawat. Ia juga mengaku tak tahu apakah ada perwakilan Indonesia yang mengurusnya selama sakit. "Saya pulang sendiri dengan naik kursi roda," katanya lirih. "Saya kapok, tak mau lagi bekerja di luar negeri."
Nasib tragis juga dialami Mursini, 25 tahun, tenaga kerja asal Magetan, Jawa Timur. Luka bakar membekas di tangan kirinya, dan kakinya pincang. Mursini adalah satu di antara 460 tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dipulangkan dari Malaysia melalui Pelabuhan Belawan, Medan, pertengahan November lalu. Ia ditangkap polisi saat belanja di pasar karena terbukti sebagai pekerja ilegal. Ia sempat mendekam di penjara sebelum dipulangkan ke Tanah Air. Menurut pengakuannya, ia sudah dua tahun mengadu nasib di Malaysia sebagai pembantu rumah tangga. Ia masuk secara ilegal dari Tanjung Balai dengan membayar Rp 2 juta kepada seorang tekong (calo TKI).
Selama di Malaysia, Mursini sempat enam bulan bekerja di keluarga Melayu, sebelum pindah ke keluarga Tionghoa. Nah, saat bekerja di keluarga Tionghoa itulah ia mendapat perlakuan keras dari majikannya. Suatu hari, ia diseterika anak majikannya hanya gara-gara terlambat mengambilkan air minum. "Memang saya sempat dirawat, tapi hanya diberi obat, tak sampai dibawa ke rumah sakit," ia menambahkan.
Perlakuan kedua menimpa Mursini ketika istri majikannya marah lantaran ia terlambat bangun. Sang istri majikan memukul dengkul kakinya dengan tongkat berpaku. Luka akibat paku itu membuat kakinya infeksi sehingga ia harus istirahat seminggu sebelum kembali bekerja. "Sampai sekarang, saya masih ngilu sehingga jalan saya pincang," kata Mursini lirih.
Sulung dari empat bersaudara keluarga petani miskin ini mengaku kapok bekerja di negeri orang. Mursini merasa lebih baik menjadi petani di kampungnya atau menjadi pembantu di Indonesia saja. Ia mengalami segumpal trauma terhadap apa yang diterima ketika bekerja di negeri jiran. Yang lebih tragis, meski sudah dua tahun bekerja di Malaysia, sepeser pun ia tak membawa uang ke kampung. "Semua habis dikuras polisi di sana, dan gaji tak dibayar karena masuk penjara. Agen di sana juga raib," tuturnya.
Begitulah. Selain mendapat perlakuan kasar, sejumlah TKW juga mengalami pelecehan seksual dari majikannya. Bahkan ada yang sampai hamil lalu melahirkan. Arsita binti Ismail Doan, misalnya. TKW asal Taliwang, Sumbawa, ini dianiaya dan diperkosa oleh majikannya. Kondisi fisiknya sungguh mengenaskan. Rahang perempuan 27 tahun itu miring, pada bagian perutnya ada lima jahitan bekas luka, dan kedua kakinya patah.
Petaka yang menimpa Arsita terjadi saat ia menjadi TKW di Arab Saudi. Ia bekerja sebagai pembantu pada keluarga Mansyur Saad al-Rasyid di Kota Riyadh. Suatu hari pada Agustus 2002, ketika Arsita menyiapkan makan malam, ia dipanggil majikannya yang tengah asyik menonton film cabul. Majikannya meminta Arsita mendekat. Malam itu, rumah sedang sepi karena istri majikan tengah dirawat di rumah sakit.
Karena curiga, Arsita menolak mendekat. Ternyata majikannya marah besar. "Kamu itu pembantu saya, kamu harus mengikuti perintah saya," kata sang majikan dengan nada tinggi. Dengan sangat terpaksa, akhirnya Arsita pun mendekat. Saat itulah majikannya menarik jilbab Arsita sehingga ia jatuh ke dalam pelukan sang majikan. Malam jahanam itu datang: Arsita dipaksa melakukan seks oral, sebelum ia akhirnya diperkosa.
Esoknya, saat majikannya masih tidur, Arsita kabur. Ia mendatangi kantor polisi setempat. Arsita, yang menolak kembali ke rumah majikannya, akhirnya dikirim ke Tassaul, tempat penampungan buruh migran yang bermasalah. Tapi, tiga hari kemudian, dua orang utusan majikannya menjemput Arsita.
Ternyata, Arsita lalu ditempatkan di rumah lain milik majikannya. Lagi-lagi ia dipaksa melayani nafsu berahi sang majikan. Ia lalu hanya bisa pasrah hingga suatu ketika Arsita menyimpan sebilah pisau di bawah bantal. Saat majikannya kembali mencoba memperkosanya, ia pun menghunus senjata itu. Saling berebut pisau, Arsita terluka. Sang majikan bahkan berhasil mencekik Arsita hingga pingsan.
Selama empat bulan, Arsita baru siuman. Menurut keterangan dokter yang merawatnya, Arsita "dipungut" dari jalanan dalam kondisi sekarat. Setelah genap tujuh bulan dirawat di rumah sakit, ia dijemput agen di sana. Arsita lalu dibuatkan surat perjalanan laksana paspor, dibelikan tiket, dan akhirnya dipulangkan ke Indonesia pada pertengahan Juni lalu.
Lain lagi kisah Turkiyah. Janda 21 tahun ini melahirkan seorang bayi karena, selama menjadi TKW di Arab Saudi, ia diperkosa berkali-kali.
Perempuan asal Desa Gemel, Lombok Barat, itu berangkat melalui sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja di bilangan Duren Tiga, Jakarta Selatan. Sesuai dengan kontrak, ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah Saat Alfahadi di Kota Riyadh, dari 30 November 1999 hingga Juni 2002. Turkiyah mengantongi gaji 500 real per bulannya.
Di rumah majikannya itu, selain lima anaknya, ada seorang keponakannya bernama Abdur Rahman. Pemuda 18 tahun inilah yang membawa petaka bagi Turkiyah. Awalnya, pemuda itu hanya menggodanya. Hingga suatu hari, ketika rumah sedang sepi, Turkiyah dipaksa melayani nafsu berahinya. Selama bekerja di rumah itu, kejadian serupa terulang sampai tiga kali.
Waktu terus berlalu. Turkiyah hamil. Ia lalu meminta tanggung jawab Abdur Rahman. Tapi, seperti dalam adegan sinetron, pemuda itu menolak bertanggung jawab. Bahkan, ketika usia kandungannya menginjak empat bulan, Abdur Rahman kabur dari rumah. Turkiyah lalu melaporkan ke majikannya. Sang majikan malah murka: ia diusir dan dipulangkan Juni 2002 saat usia kandungannya telah 8 bulan.
Turkiyah diberi uang Rp 10 juta—gajinya selama ia bekerja di sana. Setibanya di Indonesia, nasib buruknya belum berakhir. Dalam perjalanan Jakarta-Lombok, perempuan berwajah bulat itu menjadi bulan-bulanan calo. Di Bandara Juanda, Surabaya, ia diperas petugas sebesar Rp 600 ribu.
Beberapa hari setelah kembali ke rumahnya, Turkiyah melahirkan bayi laki-laki. Setelah itu, ia mengalami trauma berat. Bila berhadapan dengan laki-laki, meski itu warga kampung sendiri, ia ketakutan. Ia juga takut berjalan sendirian, meski siang hari.
Traumanya perlahan-lahan berkurang setelah ia dibantu Yayasan Panca Karsa—sebuah lembaga yang mendampingi TKI bermasalah—berobat ke psikiater. Sepuluh bulan berselang, kepercayaan diri sulung dari lima bersaudara itu mulai tumbuh. Dua bulan lalu, Turkiyah memutuskan kembali bekerja ke luar negeri.
Kekerasan bukan tak mungkin kembali datang. Tapi, pilihan tak banyak bagi orang kecil seperti Turkiyah. Dengarlah apa yang dikatakan Muas Sirajudin, orang tua Turkiyah. "Dia pergi untuk membeli susu buat anaknya di sini."
Nurdin Kalim, Bambang Soedjiartono (Medan), Bibin Bintariadi (Malang), Sujatmiko (Mataram), Supriyantho Khafid (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo