AMIEN Rais kembali terlibat demonstrasi besar-besaran. Kali ini, Ketua MPR itu memimpin
long march ribuan massa dari Senayan ke Istana Merdeka. Semua stasiun televisi menyiarkan langsung peristiwa langka itu ke pelosok negeri. Sejumlah wartawan asing sibuk menerobos massa yang padat. Setibanya di Istana Merdeka, momen bersejarah itu tiba: Amien Rais menyambar mikrofon dan berseru lantang, "Wahai Gus Dur saudaraku, keluarlah dari istanamu. Hari ini saya mengajakmu mengundurkan diri, demi keutuhan bangsa. Dan jika Anda mundur, sebagai pertanggungjawaban saya atas pengangkatan Anda, saya pun meletakkan jabatan sebagai Ketua MPR!" Tepuk tangan membahana?.
Lo, kapan peristiwa penting ini terjadi? Mengapa luput dari pemberitaan pers? Tentu saja. Itu memang cuma "imajinasi" pengamat politik Andi Alfian Mallarangeng--yang banyak diwawancarai wartawan soal skenario "hari-hari akhir" Presiden Abdurrahman Wahid. "Kalau Amien bisa melakukan
long march seperti itu, uh... betapa manisnya. Tapi apa dia mau? Apa Gus Dur mau juga?" ujar Andi meragukan mimpinya tadi.
Ya, jangankan mundur, Presiden Abdurrahman bahkan diragukan menerima usul yang lebih lunak dan tidak membuatnya "terusir" dari Istana: pelimpahan wewenang kepada Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri. Sampai akhir pekan lalu, nada tanggapan Abdurrahman masih terdengar seperti penolakan.
Di Istana Merdeka, Jumat kemarin, ketika ditanya para juru warta apakah Presiden akan memberikan kekuasaan lebih kepada Mega, ia menjawab dengan nada tinggi, "Kekuasaan lebih yang bagaimana? Saya tanya,
power sharing apa yang dimaksud? Saya sudah memberikan segalanya kepada dia (Wakil Presiden--Red.)." Wewenang, katanya, telah banyak dilimpahkan, dari mengambil keputusan sehari-hari sampai memimpin kabinet. Cuma dua hal yang masih dipegang Presiden: garis besar kebijakan pemerintah dan penunjukan menteri.
Justru dua hal itulah yang dipersoalkan. Jika Presiden Abdurrahman mau melimpahkan kedua tugas itu kepada Megawati, soalnya tentu tak serumit sekarang ini. Pelimpahan wewenang adalah kata kunci untuk mengurai benang kusut di panggung politik saat ini.
Kisruh itu sudah terjadi sejak Presiden Abdurrahman "kena" memorandum pertama, 1 Februari lalu, dan kian memuncak sejak memorandum kedua digulirkan DPR, 30 April lalu. Presiden praktis sudah di-
impeach. Dan Sidang Istimewa MPR, yang tampaknya tak bisa dicegah Presiden, boleh jadi akan bisa merampungkan kerumitan ini, walaupun bukan berarti tidak mengandung risiko berat, umpamanya kerusuhan akibat pendukung Presiden Abdurrahman tak bisa menerima pemimpinnya dijatuhkan kelak. Di tengah ketidakpastian itulah Presiden Abdurrahman meminta Tim Tujuh menggodok sebuah formula jalan tengah. Hasilnya sudah harus dilaporkan paling telat Senin ini, 14 Mei.
Tim ini terdiri atas tujuh anggota kabinet: Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Pertahanan Mahfud Md., Menteri Kehakiman Baharuddin Lopa, Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, Menteri Dalam Negeri Surjadi Soedirdja, Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli, dan Jaksa Agung Marzuki Darusman.
Berita, seperti biasa, lalu berseliweran tak keruan, termasuk kabar Presiden diminta mundur. Sampai-sampai Effendi Choirie dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan emosional menuding Tim Tujuh sebagai "Brutus" gaya baru.
Penelusuran mingguan ini menyatakan, hingga akhir pekan kemarin, solusi yang disodorkan Tim Tujuh adalah sebuah konsep yang dirumuskan sebagai "pendelegasian wewenang eksekutif penyelenggara pemerintahan dari Presiden kepada Wapres." Draf konsep ini (lihat boks) diketik empat halaman kertas kuarto, tanpa kepala surat, dan tak ditandatangani. Menurut seorang sumber TEMPO yang tepercaya, naskah inilah yang disodorkan Tim Tujuh bersama Mega kepada Presiden, Rabu pekan lalu.
Konsep ini tak ubahnya seperti pemisahan fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan secara
de facto. Nyaris segenap wewenang kepala pemerintahan dilimpahkan kepada Megawati, meski secara
de jure fungsi itu masih dijabat Presiden Abdurrahman. Maksudnya jelas: untuk menghindari komplikasi konstitusi yang tak memungkinkan pemisahan kedua fungsi itu yang melekat pada presiden. Jika disepakati, formula ini akan ditetapkan melalui sebuah keputusan presiden (keppres) untuk kemudian dikukuhkan dalam sebuah ketetapan MPR melalui Sidang Istimewa MPR. Cuma, ada catatan penting: sidang istimewa disepakati hanya digelar membahas agenda tunggal itu. Lain tidak.
Pengukuhan "bagi kekuasaan" lewat beleid seperti Keppres 121/2000 kepada Mega dinilai tak lagi memadai. Lagi pula, dengan cuma keputusan presiden, tak ada jaminan mekanisme serupa tak akan kembali ditelikung Abdurrahman. Contoh yang banyak disodorkan adalah nota rahasia Presiden Abdurrahman bernomor 01/PRES/XI/2000 tanggal 11 November 2000, yang dianggap telah memereteli kewenangan Mega dalam pengangkatan pejabat negara. Dalam nota itu ditegaskan, meski Wakil Presiden menjabat sebagai Ketua Tim Penilai Akhir, keputusan akhir tetap berada di tangan Presiden.
"Main nota" itulah yang dicoba dihilangkan. Dan jika usul Tim Tujuh gol, Presiden Abdurrahman akan bertindak sebagai simbol kepala negara. Tugasnya: mengurus hubungan antarnegara, ideologi, agama, dan persatuan nasional. Otoritas pembentukan kabinet--walaupun tak tegas-tegas disebut--ada di tangan Wakil Presiden. Tapi soal itu ditulis dalam alinea yang mengatur berbagai hal yang perlu dilimpahkan.
Menteri Mahfud memberikan konfirmasi. Formula ini, katanya, adalah hasil saringan dari berbagai kemungkinan yang telah panjang dibahas Tim Tujuh dan dikonsultasikan ke Mega. Pembahasan dimulai pada sidang kabinet Sabtu dua pekan lalu--sidang kabinet pertama yang kembali dihadiri Mega, setelah selama dua minggu sang RI-2, dalam istilah Mahfud, "tak bisa dihubungi." Diputuskan, Tim Tujuh akan kembali menggelar rapat untuk membahas kelanjutan respons pemerintah terhadap memorandum kedua.
Rapat diadakan di kantor Yudhoyono di Jalan Merdeka Barat. Juga hadir Panglima TNI dan Kepala Kepolisian RI. Dirumuskanlah formula lebih konkret dari rekomendasi yang sudah disampaikan sebelumnya. Kesimpulannya ada dua. Pertama, saran agar Presiden dan DPR menahan diri untuk tidak saling menyerang. Berikutnya, perlu dilakukan kompromi politik antara Presiden dan kekuatan politik yang ada, khususnya dengan Mega dan PDI Perjuangan. Bentuknya: memperbarui konsep pembagian kekuasaan dan memperluas kewenangan Wakil Presiden yang lalu dikukuhkan melalui ketetapan MPR.
Seusai rapat, sekitar pukul 12.00, Tim Tujuh menyampaikan rekomendasi itu kepada Mega, di rumah dinasnya di Jalan Teuku Umar. Saat itu, kata Mahfud, Mega tidak menampik. Ia cuma minta konsep itu dirumuskan dengan baik dan setuju ikut menyampaikannya ke Presiden. Mega cuma sempat menyatakan keragu-raguannya. Sebagai wakil presiden, ia harus memperhatikan formula ini. Tapi, di sisi lain, sebagai Ketua Umum PDI-P, ia juga dihadapkan pada arus kencang yang menginginkan pergantian kekuasaan. "Jadi sebaiknya bagaimana, ya?" tanya Mega.
Beberapa hari kemudian, Selasa pekan lalu, dalam acara sarapan pagi di rumah Mega, kegamangan serupa diutarakan. "Apa tepat kalau saya menerima ini? Sebagai wapres, saya bisa melakukannya. Tapi, sebagai ketua partai, saya tidak bisa memberi jaminan apa pun kepada Presiden," kata Mega seperti ditirukan Mahfud.
Malam harinya, Tim Tujuh kembali mengadakan rapat di kantor Yudhoyono. Berbagai alternatif yang tersedia dikalkulasi, dari yang paling lunak sampai yang terkeras. Pertama, Abdurrahman tetap menjadi presiden dengan kabinet yang sama. Kedua, sama dengan opsi satu tapi dengan kabinet baru. Ketiga, Presiden melakukan kompromi politik melalui sebuah
power sharing dengan memperluas kewenangan Wakil Presiden. Keempat, Abdurrahman kepala negara dan Mega kepala pemerintahan. Kelima, menyelenggarakan pemilu yang dipercepat. Dan terakhir, Presiden Abdurrahman mundur. Perombakan kabinet tak dimasukkan karena sudah masuk dalam paket pelimpahan wewenang.
Setelah dikalkulasi, pilihan jatuh pada opsi ketiga sebagai jalan yang paling mungkin ditempuh. Alternatif mundur dinilai mustahil karena Abdurrahman sudah menyatakan penolakan dan bisa meletupkan konflik massa pro dan anti-Presiden. Tim sepakat, cuma opsi pelimpahan wewenang itulah yang akan mereka rekomendasikan kepada Presiden. "Jadi, baik tersurat maupun tersirat, kami tak pernah merekomendasikan supaya Presiden mundur," kata Mahfud.
Rekomendasi telah rampung disusun. Tapi kunci berada di tangan Mega. Kesediaan putri Bung Karno itu bakal menjadi faktor yang sangat menentukan nasib formula Tim Tujuh. Menurut seorang pengurus teras PDI-P dari faksi "DPP lama", "Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya Ibu Mega juga oke." Jalan tengah ini disokong banyak tokoh sepuh PDI-P. Cuma, kata sumber itu lagi, formula ini keras ditentang faksi Arifin Panigoro, Ketua Fraksi PDI-P di DPR. Penolakan telah disuarakan antara lain oleh Meilono Soewondo. "Waktu Gus Dur sudah habis. Solusi semacam itu akan kami tolak," katanya.
PKB, yang mendukung Gus Dur, tentu saja oke. Menurut Chotibul Umam Wiranu, Wakil Sekretaris Jenderal PKB, dalam berbagai rapat pengurus ataupun fraksi "Tujuh Bintang", memang opsi itulah yang dianggap paling kecil ongkos sosial politiknya. Cuma, ia mewanti-wanti, pengukuhannya haruslah melalui mekanisme sidang tahunan. Umam menyatakan pihaknya akan menentang habis-habisan jika penetapan dilakukan melalui sidang istimewa. "Itu sama saja memberi tiket untuk menurunkan Gus Dur," katanya curiga.
Sejenis "Supersemar Kedua"? Presiden Abdurrahman setuju? Belum. Seperti diakui Menteri Mahfud, Presiden belum tentu menerima formula ini. Presiden tetap berkeras tentang dua pagar yang tak boleh diterabas Tim Tujuh: kewenangan untuk memutuskan kebijakan negara dan penunjukan menteri--dua hal yang bisa jadi penghalang kesediaan Mega menerima "pelimpahan" itu.
Jika Presiden terus "membatu", yang tersisa tinggal--meminjam istilah Chotibul Umam--jalan wallahualam, semacam dekrit pembubaran parlemen yang belum tentu efektif jika TNI tak menyokongnya dan malah membuat situasi makin kalut.
Karaniya Dharmasaputra, Edy Budiyarso, A. Karina Anom, Adi Prasetya, Wens Manggut
Berikut adalah draf konsep Tim Tujuh. Draf inilah yang diserahkan Tim Tujuh bersama Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri kepada Presiden Abdurrahman Wahid di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 9 Mei lalu.
"Usulan Solusi dari Kebuntuan dan Perselisihan Politik Dewasa Ini"
1. Sifat solusi
Kebuntuan dan konflik politik dewasa ini, khususnya antara Presiden dan DPR, sudah mencapai tahap kontraproduktif, sehingga perlu dicari solusi segera. Solusi tersebut hendaknya bersifat konstitusional, relatif murah ongkos politiknya, relatif damai, win-win solution, tidak saling mempermalukan, namun tetap efektif dalam memperbaiki kinerja manajemen pemerintahan secara signifikan.
2. Substansi solusi
Terdiri dari tiga hal dalam satu paket, sebagai berikut:
- Pendelegasian wewenang eksekutif penyelenggara pemerintahan dari Presiden kepada Wakil Presiden.
- Rekonsiliasi dan moratorium politik.
- Konsensus prioritas politik bangsa sampai 2004.
3. Pendelegasian wewenang eksekutif
- Presiden menangani hal-hal makro strategis yang berkaitan dengan pengembangan hubungan baik antarbangsa, ideologi nasional, persatuan, kemanusiaan, dan agama. Pengamanan cadangan devisa, hal-hal yang dapat dirundingkan antara Presiden dan Wakil Presiden.
- Yang didelegasikan mencakup pembuatan kebijakan eksekutif, pelaksanaan, dan pengendalian. Untuk membentuk kabinet:
- Perlu diperhatikan dukungan mayoritas DPR.
- Personalia yang punya basis politik (sesedikit mungkin menggunakan personalia yang tidak berkeringat melalui proses partai politik dan pemilu).
- Kecakapan profesional.
- Presiden tetap dapat menggunakan fasilitas kepresidenan.
- Pos 16 (Top Management Budget) dibagi dua antara Presiden dan Wakil Presiden.
4. Rekonsiliasi dan moratorium politik
- Pemerintahan bekerja tanpa diganggu sampai 2004.
- Ada jaminan tidak ada pemilu sebelum 2004.
- Tidak ada mobilisasi dan pengerahan massa.
- Memilih satu model rekonsiliasi (Afrika Selatan, Korea Selatan, atau negara Amerika Latin).
- Memberi kewenangan TNI dan Polri untuk tugas pengamanan.
5. Prioritas 2004
- Cegah disintegrasi bangsa
- Pulihkan ekonomi
- Pulihkan keamanan
6. Bentuk pendelegasian wewenang
Pendelegasian wewenang dalam bentuk keputusan presiden (keppres) dengan dukungan DPR yang kemudian ditetapkan oleh MPR. Pendelegasian wewenang itu sampai 2004.
7.
Timing pendelegasian wewenang
8. Pengukuhan pendelegasian wewenang
Bila pengukuhan lewat Sidang Istimewa MPR, harus ada kesepakatan Sidang Istimewa MPR hanya untuk membahas pendelegasian wewenang.
9. Proses
- Pertemuan dengan ketua-ketua partai.
- Pertemuan antara Presiden dan Wakil Presiden.
- Pertemuan antara Presiden, Wakil Presien, dan pimpinan DPR-MPR.
- Pengumuman kepada publik mengenai keppres itu.
10. Masa perundingan selama bulan Mei 2001
- Presiden tidak mengeluarkan pernyataan yang konfrontatif
- Elite politik DPR bersikap low profile
11. Rencana keppres serta rencana Tap MPR sudah disiapkan
Jakarta, 9 Mei 2001