Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Napoleon dari Solo

Teater Ruang mementaskan lakon tentang akhir hidup Napoleon Bonaparte. Mengapa aktor teater kontemporer cenderung memamerkan alat kelaminnya?

20 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAPOL (NAPOLEON-NAPOLEON BONAPARTE) Naskah & : Sutradara Joko Bibit Santoso Produksi : Teater Ruang & CCF Jakarta Pemain : Tabah Murnianto, Helmy Prasetyo, Agus mBendol, Roni Novianto, Eric Ariyani Tempat : Teater Utan Kayu RUANG persegi yang berdinding tiga terdiri dari kain putih itu terkesan apik. Tampak lima pemain membelakangi penonton. Empat aktor berdiri merapat pada dinding tengah. Seorang aktris bersila di depan. Sedangkan di kanan-kiri, sejumlah senter berderet tegak di lantai. Perempuan itu bangkit sambil mengucapkan dialog, lalu dengan senternya ia menyorot sekeliling ruangan dan empat lelaki itu, yang memerankan Napol alias Napoleon 1, 2, 3, dan 4. Adegan pun menggeliat berkesinambungan, yang diperlihatkan oleh empat tubuh aktor yang hampir telanjang. Satu per satu para aktor itu berujar. Napol 1 berkata: "Di Autun Briene, sekolah militer Champ de Mars, aku dididik menjadi prajurit." Napol 2 menyahut: "Udara berbau mesiu. Langit tak lagi membiru. Bumi hanya menyisakan arang-arang dan abu." Napol 3 menimpali: "Lihatlah jantungku! Lihatlah liverku! Lihatlah otakku! Lihatlah dengan saksama, agar semua tahu apa yang salah dan yang benar di dalam jantung, liver, dan otakku! Ini kelaminku!" Napol 4 berteriak: "Hei! Hei! Berhenti! Berhenti! Jangan lagi lakukan outopsi ini!" Lalu, keempat pemain pria yang hanya memakai cawat itu bergerak, berguling, merangkak, menggeliat, bertumpang tindih, di antaranya mereka mengesankan sedang bersanggama. Kemudian, perempuan itu menyorot adegan itu dengan senternya. Juga disorotnya sekeliling ruang. Komposisi dan gerak berubah. Keempat pemain pria itu lalu saling sorot dengan senternya. Mereka berlari dan berguling dengan terus berdialog bergantian. Peran perempuan yang selalu mengawasi dan mengganggu keempat pemain itu lebih merupakan pemecah kebekuan pertunjukan, sambil berseru: "Teater apa ini? Suka-sukalah! Drama-dramanan juga enggak pa-pa!" Dari dialog keempat Napol itulah kita mengikuti sejarah perjuangan dan akhir hidup Napoleon di tempat pembuangannya, Pulau Saint Helena. Lepas dari usaha yang sangat susah payah mencoba meyakinkan penonton bahwa inilah pertunjukan tentang Napoleon Bonaparte, adegan-adegan yang menonjolkan tubuh sebagai kekuatan pertunjukan itu menarik. Selama satu jam pementasan, tata lampu yang berubah-ubah yang terdiri dari senter-senter yang disorotkan di dalam ruang yang sempit itu menghadirkan pertunjukan yang efektif dan segar. Didirikan di Solo pada 1994, Teater Ruang dengan penulis naskah dan sutradara Joko Bibit Santoso, yang telah mementaskan sembilan kali pertunjukan, memiliki masa depan yang menjanjikan. Para penonton Napol tidak perlu tahu bagaimana jalan cerita pertunjukan tentang pahlawan besar bangsa Prancis ini. Bahkan dialog yang diuapkan menjadi tidak penting. Justru akan lebih baik dan berguna bagi perkembangan teater jika lakon ini tidak usah dihubung-hubungkan dengan jenderal perang yang hebat itu. Pertunjukan ini unggul jika dihadirkan sebagai pantomim murni yang abstrak, dengan tata ruang dan tata cahaya yang matang. Yang perlu diperhatikan adalah adanya kecenderungan aktor-aktor teater kontemporer berbagai grup dari Jakarta, Bandung, Yogya, Surakarta, juga yang datang dari Sumatra, yang suka memamerkan alat kelaminnya. Begitu juga dengan Teater Ruang ini. Dengan kostum minim—cawat, celana dalam, atau celana sangat pendek yang menganga—kecenderungan para aktor memamerkan alat kelamin itu tampak nyata. Meski aurat itu tidak benar-benar kelihatan, para aktor tampak seperti eksibionis tulen. Pengamatan ini dirasakan pula oleh Muhammad Sunjaya, dari Actors Unlimited Bandung, yang jengkel sekali melihat gejala itu. Katanya, "Saya risi dengan perilaku aktor yang pamer "anu"-nya, yang sering tak ada relevansinya dengan naskahnya." Seorang pekerja teater yang membela kecenderungan itu berkata: "Jika memang dibutuhkan sebuah adegan, kenapa tidak?" Sementara itu, Niniek L. Karim, aktris dan psikolog, memberi komentar tentang kecenderungan ini: "Kalau hal itu benar terjadi, itu karena sutradara tidak mampu secara profesional menulis naskah dan menyutradarai pertunjukannya. Dan yang terjadi, lari ke vulgarisme." Danarto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus