Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jalan Lurus Pak Boed

Selalu berhemat dan memangkas biaya. Kekayaannya lebih dari Rp 18 miliar.

18 Mei 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTEMUAN tingkat internasional itu berlangsung di Bali, dua tahun lalu. Agam Embun Sunarpati berangkat lebih dulu untuk mencari hotel buat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Boediono.

Di Bali, Agam memesan kamar seharga Rp 6 juta semalam. Pagu anggaran penginapan menteri memungkinkan Boediono tinggal di hotel dengan tarif Rp 6 juta, dan acara memang berlangsung di hotel itu.

Agam, orang yang menyusun jadwal Boediono ketika menjabat Menteri Koordinator Perekonomian, 2005-2008, menelepon bosnya yang masih di Jakarta. Ternyata Boediono menolak. ”Itu mahal, sayang uangnya,” kata Boediono, seperti ditirukan Agam. ”Itu kan uang rakyat.” Bergegas Agam membatalkan pesanan kamar, dan menemukan hotel dengan tarif Rp 800 ribu semalam.

Mei tahun lalu, Pak Boed—demikian ia biasa dipanggil—diangkat menjadi Gubernur Bank Indonesia. Jumat pekan lalu, Boediono dideklarasikan sebagai calon wakil presiden dalam pemilihan presiden tahun ini, mendampingi calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Bagi Agam, Pak Boed orang sederhana dan tak suka kemewahan. Dalam sejumlah kunjungan, Boediono selalu mencari hotel yang relatif murah. Dalam pertemuan menteri perekonomian di Singapura, misalnya, Boediono memilih tinggal bersama anaknya ketimbang menginap di hotel yang disediakan panitia.

Pengamat ekonomi Faisal Basri pernah satu pesawat dengan Boediono ke Yogyakarta. Boediono hanya dijemput istrinya yang menyetir sendiri mobilnya. Faisal juga pernah memergoki Boediono bersama istrinya di supermarket. Dengan santai, Boediono mendorong keranjang belanja. ”Rasanya, hampir semua orang tak sadar bahwa si pendorong keranjang adalah menteri koordinator,” kata Faisal, seperti ditulis dalam blognya.

Kesederhanaan Boediono itu juga terlihat dalam pola makan. Menurut Agam, pria kelahiran Blitar, Jawa Timur, 25 Februari 1943 itu paling hanya menyukai kepala kakap, soto, atau gado-gado. Minumnya air putih. ”Pokoknya, asal murah,” kata Agam.

Agam mengatakan, Pak Boed tak mau jatah makannya di kantor melebihi Rp 27 ribu. Jumlah ini mengacu pada standar biaya makan eselon satu dan dua. Kalau ternyata ada makanan yang disukai tapi harganya lebih dari Rp 27 ribu, Boediono mengeluarkan uang sendiri.

Ia juga ketat menjaga anggaran buat para tamu. Kalau datang ke kantor Boediono, para menteri sudah bisa menebak harga makanan yang disajikan. Pasti hidangan utamanya tak lebih dari Rp 25 ribu, dan makanan ringan Rp 7 ribu seorang.

Ketika menjadi Menteri Koordinator Perekonomian, Boediono memiliki sembilan staf khusus, termasuk Agam. Boediono selalu menyapa setiap dia datang dan pulang. Bekas Menteri Keuangan ini biasanya sudah sampai di kantor sekitar pukul tujuh. Ia lalu joging tanpa pengawalan di taman Lapangan Banteng.

Suatu ketika, Agam dan staf lain melihat baju hangat Boediono sobek di bagian belakang. Boediono dengan santai memakai sweater itu. Padahal, kalau melongok kekayaannya menurut Komisi Pemberantasan Korupsi, jumlahnya Rp 18,66 miliar dan US$ 10 ribu. Gaji dan tunjangannya di Bank Indonesia lebih dari Rp 150 juta.

Sweater abu-abu itu terus melekat dan sering dipakai dalam berbagai kegiatan dinas. Beberapa stafnya mencoba memberi tahu sobekan itu. Boediono hanya senyum. ”Nanti Ibu (istrinya, Herawati) yang menjahit,” katanya. Boediono terus memakai sweater bolong itu.

Para staf lalu membuat kejutan dengan memberikan kado pas ulang tahunnya. Isinya sweater dengan model dan warna sama, abu-abu. ”Bapak orangnya tak mau model aneh-aneh,” ujar sekretaris pribadi yang tak mau disebutkan namanya.

Kesederhanaan Boediono sudah te-cermin sejak kecil di Kepanjen Lor, Blitar, kampung halamannya. Ia dilahirkan dari pasangan Ahmad Siswo Harjono dan Samilah. Ayahnya, yang pedagang batik, menyulap ruang tamu 3 x 8 meter kediaman mereka sebagai toko. Tapi hasil jualan batik itu belum cukup untuk menutupi kebutuhan keluarga.

Samilah membantu dengan berjualan perhiasan. Syamsiah Syafaat, teman sekolah Boediono, mengatakan Samilah sangat ketat mengatur kebutuhan ketiga anaknya, yakni Boediono, Tutik, dan Kuncoro Jati. Karena itulah sejak kecil hingga remaja Boediono dan dua adiknya tidak pernah bergaya seperti remaja lainnya.

Boediono menempuh pendidikan hingga sekolah menengah atas di Blitar. Ia masuk pada 1957 dan menjadi angkatan ketiga sejak SMA Negeri 1 Blitar itu berdiri—SMA satu-satunya waktu itu. Di sinilah Boediono mengenal ilmu ekonomi. ”Meski pendiam, beliau sangat pintar menyerap pelajaran di kelas,” kata Syamsiah Syafaat, 69 tahun.

Boediono murid paling muda. Temannya rata-rata lebih tua dua tahun. Namun ia mampu mengungguli rekannya, terutama dalam pelajaran ilmu hitung dagang dan ilmu perekonomian. Boediono diterima di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada pada 1960. Setelah tingkat II, ia menerima beasiswa Colombo Plan dan kuliah di Australia.

Balik ke Indonesia, ia sempat bekerja di sebuah bank di Jakarta, dan kembali ke kampus sebagai dosen, pada 1972. Setelah kematian ayahnya pada 1974, Boediono mengajak ibunya ke Yogyakarta. ”Rumah di Blitar dikontrakkan,” kata Bambang Heri Subeno, saudara sepupunya.

Dibyo Prabowo, koleganya ketika menjadi dosen, mengatakan Boediono mulai ke Jakarta ketika menulis artikel di media tentang pembangunan Indonesia pada 1990-an. Rupanya, tulisan itu dibaca J.B. Sumarlin, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Boediono dipanggil lalu diangkat menjadi Kepala Biro Ekonomi. ”Dari sana baru ke Bank Indonesia,” kata Dibyo.

Boediono menjadi Direktur III Bank Indonesia Urusan Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat pada 1996. Setahun kemudian ia menjadi Direktur I Bank Indonesia Urusan Operasi dan Pengendalian Moneter. Pada periode ini, Boediono sering dikaitkan dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempertanyakan kasus bantuan likuiditas itu ketika Boediono menjadi kandidat Gubernur Bank Indonesia tahun lalu. Ia beberapa kali dipanggil kejaksaan sebagai saksi. Boediono mengatakan, bantuan itu merupakan tindakan darurat. ”Saat itu langit seperti mau runtuh, tiap jam ada berita bank mau ambruk,” katanya.

Pada era Presiden B.J. Habibie, 1998-1999, Boediono menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Ia menjadi Menteri Keuangan ketika Megawati menjadi presiden, pada 2001. Pada Desember 2005, ia diangkat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Menteri Koordinator Perekonomian, menggantikan Aburizal Bakrie.

Setelah setahun menjadi Gubernur Bank Indonesia, Boediono menyatakan kesiapannya menjadi calon wakil presiden pada pemilu Juli nanti. Boediono mendapat banyak protes karena dianggap berhaluan neoliberal. Ia menepis tuduhan itu dalam pidatonya di Bandung.

Menurut dia, perekonomian Indonesia tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pasar bebas. Namun negara juga tak boleh campur tangan karena akan mematikan kreativitas. ”Negara tidak boleh hanya tertidur,” katanya. ”Untuk itu perlu pemerintah yang bersih.”

Yandi M.R. (Jakarta), Hari Tri Wasono (Blitar), Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus