Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SATU demi satu pimpinan partai politik memasuki pelataran kantor Partai Hati Nurani Rakyat, di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat pekan lalu. Rombongan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang pertama kali sampai. Didampingi suaminya, Taufiq Kiemas dan Sekjen Pramono Anung, Mega yang bergaun merah menyala dengan corak hitam bergegas masuk ke kantor partai lalu menghilang di balik pintu ruang kerja Jenderal (Purn) Wiranto, Ketua Umum Partai Hanura. Lima puluhan wartawan yang bertubi-tubi meminta pernyataan hanya diberi senyum manis.
Selang lima belas menit, datanglah Jusuf Kalla, Ketua Umum Partai Golkar yang juga wakil presiden. Dia didampingi belasan pengurus Beringin tingkat pusat dan daerah, yang rata-rata berkemeja kuning. Mereka berjalan kaki menyeberang jalan dari kediaman resmi wakil presiden, yang memang persis di depan kantor Partai Hanura. ”Hai, apa kabar?” kata Kalla, tersenyum saat disambut Suhandoyo, bekas Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung yang kini jadi juru bicara Partai Hanura.
Tokoh terakhir yang datang adalah Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra. Berkemeja batik merah, Prabowo melangkah cepat sambil mengumbar senyum khasnya. Meski dihadang wartawan, dia terus menerjang maju dengan kawalan ketat petugas keamanan.
Sejumlah tokoh partai kecil juga diundang, namun hanya segelintir yang muncul. Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Chozin Chumaidy hadir sejak awal acara, namun mengaku tidak bisa menandatangani berkas kesepakatan. ”Soal koalisi masih terus berkembang dan berproses di kalangan internal kami,” katanya.
Wiranto, Mega, Kalla, dan Prabowo adalah tim inti yang membentuk koalisi besar para penantang calon presiden dari Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Jumat siang pekan lalu, mereka berempat menandatangani pernyataan politik berisi kesepakatan membangun koalisi di parlemen kelak. ”Kami akan membangun kerja sama politik di Dewan Perwakilan Rakyat, DPR Daerah Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, guna mempererat kebersamaan,” kata Prabowo saat didaulat membacakan butir-butir kesepakatan sore itu. Hadirin bertepuk tangan meriah. ”Ini pertemuan bersejarah,” kata Wiranto.
RABU malam pekan lalu, tim kecil Partai Gerindra dan Partai Golkar bertemu di Hotel Intercontinental, Jalan Sudirman, Jakarta Pusat. Sejak bakda magrib, sejumlah pengurus teras Gerindra tampak berseliweran di lobi hotel berbintang lima itu. Direktur Bantuan Hukum Nasional Gerindra, Mahendradatta, dan juru bicara partai, Haryanto Taslam, kelihatan berbincang serius di sana. ”Ada acara makan malam dengan tim kecil dari Partai Golkar, yang disusul rapat internal,” kata Haryanto keesokan harinya. Dia mengaku Prabowo sendiri yang memimpin pertemuan.
Mahendradatta yang ditemui di Gerindra Media Center, Kamis pekan lalu, menolak membeberkan hasil rapat internal partainya. ”Hanya briefing dari Pak Prabowo soal perkembangan koalisi partai,” katanya pendek. ”Semua masih dinamis.”
Sehari sebelumnya, tim lobi Partai Golkar menggelar rapat negosiasi dengan delegasi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Hotel Nikko, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat. Kedua tim dipimpin sekretaris jenderal masing-masing partai: Letnan Jenderal (Purn) Sumarsono dan Pramono Anung.
”Kami membahas kemungkinan membentuk koalisi besar supaya calon presiden yang diusung punya dukungan kuat di parlemen,” ujar anggota tim lobi Partai Golkar, Simon Patrice Morin. Koalisi parlemen itu, kata Simon, akan berlaku di level kabupaten/kota sampai tingkat pusat.
Ditemani kopi, teh, dan aneka kue kecil, pertemuan sekitar dua jam itu berlangsung hangat. ”Tapi kami tidak sampai bicara tentang siapa calon presiden nanti dari koalisi besar ini,” kata Simon. Menurut dia, dari bahasa tubuh lawan diskusinya, sudah tampak bahwa pencalonan Megawati adalah harga mati PDIP yang sulit ditawar. ”Karena itu, biarlah masing-masing pemimpin partai saja yang bicara,” katanya.
Pertemuan semacam itu terjadi sepanjang pekan lalu, hampir setiap hari. Embrionya adalah kesepakatan lintas partai di kediaman Megawati Soekarnoputri, di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, 14 April lalu, sepekan setelah pemilihan umum legislatif selesai digelar. Saat itu Megawati, Wiranto, dan Prabowo mengumpulkan pimpinan sejumlah partai politik lain untuk mempersoalkan sejumlah kejanggalan dalam proses pemilihan umum. ”Awalnya memang dari sana, lalu berlanjut ke pertemuan bilateral antarpartai dan terus bergulir,” kata Arif Budimanta, Ketua Pengurus Pusat PDIP yang juga Direktur Megawati Institute.
Meski mudah sepakat dalam poin-poin besar kerja sama, hampir semua pertemuan bilateral itu buntu ketika hendak menentukan figur calon presiden. Kubu PDIP, Gerindra, dan Golkar selalu ngotot bahwa pencalonan Megawati, Prabowo, dan Jusuf Kalla adalah keputusan rapat pimpinan nasional yang tidak bisa dianulir seenaknya. ”Akhirnya tidak ada diskusi yang rasional,” tutur Wakil Sekjen Golkar, Rully Chaerul Azwar, pekan lalu.
Masalahnya tidak hanya itu. Ketiga jago ini sama-sama yakin mampu mengalahkan SBY dalam pemilihan presiden pada awal Juli depan. ”Semua survei menunjukkan Megawati punya elektabilitas paling tinggi dibanding Pak JK dan Pak Prabowo, serta perolehan suara partainya paling besar,” kata Arif Budimanta. Sementara Golkar percaya pengalaman dan kualitas pribadi Kalla membuatnya paling berpeluang mengambil hati rakyat. ”Rekam jejak JK selama lima tahun di pemerintahan amat baik,” kata Rully Chaerul. Gerindra tidak mau kalah. ”Dia adalah antitesis SBY dalam segala hal,” kata Haryanto Taslam. ”Kalau Prabowo dan SBY berhadapan, rakyat akan menghadapi pilihan yang kontras dan mudah.”
Walhasil, karena tak kunjung bisa seia sekata, keempat partai ini lalu memutuskan mengambil jalan memutar: menjalin koalisi di lembaga legislatif terlebih dahulu. ”Kalau sudah ada koalisi, diharapkan perbincangan tidak lagi bilateral, melainkan multilateral,” kata Rully. Dalam forum yang lebih besar, Rully menduga penentuan calon presiden bisa jadi lebih mudah. ”Artinya, penentuan calon akan didasarkan pada faktor yang rasional seperti peluang menang, tingkat keterpilihan, dan lain-lain,” katanya lagi.
Kesepakatan pembentukan koalisi parlemen ini lalu dibulatkan dalam pertemuan antara Wiranto dan Megawati di kantor PDIP di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu. ”Mereka berdua lalu menghubungi kawan-kawan dari partai yang lain,” kata Arif Budimanta. Seakan untuk menjaga gengsi PDIP dan Golkar, kantor Hanuralah yang dipilih sebagai lokasi penandatanganan deklarasi koalisi besar. Soal ini Arif mengelak. ”Ah, bukan begitu. Ini supaya bergiliran saja,” katanya.
Selain soal koalisi parlemen, gabungan partai politik ini juga sepakat pada satu hal krusial lain. ”Kalau nanti ada dua pasangan dari koalisi ini, siapa pun yang kalah dalam putaran pertama harus mendukung pasangan lainnya di putaran kedua,” kata Ketua Hanura, Jenderal (Purn) Fachrul Razi. Dua kesepakatan inilah fondasi bagi kerja sama yang lebih konkret di antara barisan penantang poros SBY.
”KAMI ini memenuhi semua selera publik: militer dengan non-militer, Jawa dengan non-Jawa, istri saya juga dari Sulawesi, jadi saya sudah biasa bekerja sama dengan orang Sulawesi,” kata Wiranto, saat deklarasi pasangan calon presiden-wakil presiden Jusuf Kalla-Wiranto, di pos komando Partai Golkar, Jalan Ki Mangunsarkoro 1, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat malam pekan lalu. Kalla, tersenyum bungah di sampingnya, cepat-cepat menambahkan, ”Istri saya dari Sumatera, jadi lengkap sudah,” katanya, disambut keplok pengurus Golkar dan Hanura yang hadir.
Malam itu, hanya empat jam setelah deklarasi koalisi besar di parlemen, Golkar-Hanura mengumumkan kemitraan baru mereka: maju bersama dalam pemilihan presiden. ”Deklarasi tadi sore memang jadi faktor pendorong yang mempercepat duet ini,” kata Suhandoyo, juru bicara Hanura. Dengan kesepakatan koalisi besar itu, siapa pun calon presiden dari kubu PDIP atau Gerindra, mereka sudah terikat mendukung duet Kalla-Wiranto dalam putaran kedua. Tentu dengan asumsi pasangan inilah yang lolos dari duel dalam pemilihan babak pertama.
Wakil Sekjen Golkar Iskandar Mandji optimistis soal itu. Target pun sudah ditetapkan: meraup 60 persen suara. Kampanye akan mengedepankan pendekatan kultural. ”Unsur Sumatera, Jawa, Sulawesi sudah terwakili pada pasangan ini,” katanya. ”Hanya Kalimantan dan Papua yang tidak ada,” tambah Iskandar sambil tertawa.
Jualan utama kampanye Golkar-Hanura adalah jargon ”lebih cepat lebih baik”. Ketika berpidato, Wiranto dan Kalla berkali-kali menegaskan soal itu. ”Pak JK selalu bergerak cepat seperti militer,” kata Wiranto. ”Rakyat membutuhkan pemimpin yang tidak ragu-ragu,” kata Kalla menimpali. Sedikitnya sembilan kali Kalla menyebut kata ”cepat”, ”tidak ragu”, dan ”tegas” dalam sambutannya.
Bibit awal duet ini tersemai dalam pertemuan Kalla-Wiranto, Jumat pagi dua pekan lalu. Saat itu, sehari setelah Rapat Pimpinan Nasional Khusus Partai Golkar menetapkan Jusuf Kalla sebagai calon presiden, Wiranto sudah menawarkan dukungannya. Sumber Tempo memastikan, dalam pertemuan itu Wiranto mendorong Kalla untuk maju terus. ”Akan lebih baik kalau bisa head to head dengan SBY,” katanya.
Kubu Banteng sendiri terus menyiapkan pasangan untuk Mega. Kamis malam, Sultan Hamengku Buwono X kembali muncul di Jalan Teuku Umar. Sehari sebelumnya, Mega menerima kedatangan Prabowo di rumah pribadinya yang lain di kawasan Kebagusan, Jakarta Selatan. Namun tak ada satu pun petinggi PDIP yang bisa memastikan kapan deklarasi jago kubu Banteng digelar.
”Kami menunggu hasil perolehan suara final,” kata anggota Badan Pemenangan Presiden PDIP, Budiman Sudjatmiko, pekan lalu. Rekapitulasi suara secara manual oleh Komisi Pemilihan Umum sampai pekan lalu menempatkan PDIP sebagai jawara dengan suara terbanyak. ”Kalau hasil akhirnya tetap begitu, semua partai harus berpikir ulang,” katanya.
Wahyu Dhyatmika, Iqbal Muhtarom, Munawarroh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo