Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jalan Miring Pencetak Firman

Pemenang tender penggandaan Quran diduga perusahaan yang sama. Penggelembungan harga diketahui sejak awal.

2 Juli 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GULUNGAN kertas besar menggunung di balik pintu gedung dua lantai di kawasan Ciawi, Bogor, Jawa Barat. Sederet mesin cetak besar dan barisan mesin potong ikut memenuhi kantor dua lantai seluas sekitar 1.500 meter persegi itu. Di gedung dengan papan nama Lembaga Percetakan Al-Qur'an di Jalan Raya Puncak Kilometer 65,5 ini, kitab suci umat Islam dicetak.

Rabu sore pekan lalu, tak banyak kegiatan di gedung berwarna hijau itu. Dua pegawai pria berpeci merapikan tumpukan ­Quran ukuran besar. "Operasional percetakan dari pukul 07.30 sampai 16.30," kata Rohman, petugas keamanan.

Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar mengatakan percetakan ini mampu menghasilkan 60 ribu eksemplar kitab tiap bulan. Padahal kebutuhannya 2 juta eksemplar. "Karena itulah kami memerlukan pengadaan lebih besar," katanya.

Pada 2009, Kementerian mengadakan 42.600 eksemplar, terdiri atas empat jenis kitab: Mushaf Besar Al-Quran, tafsir ­Quran, Quran terjemahan, dan Juz'Amma. Tahun berikutnya, jumlahnya meningkat jadi 45 ribu eksemplar, dengan tambahan Quran saku dan Yaasin. Tahun lalu, jumlahnya naik jadi 67.600 kitab dengan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan kembali melonjak ke angka 653 ribu kitab melalui anggaran perubahan.

Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Ahmad Jauhari mengatakan kitab yang diadakan sejak 2009 didistribusikan untuk masyarakat miskin dan pesantren. Melalui kantor wilayah Kementerian Agama di seluruh negeri, kitab itu dibagikan gratis. "Kantor wilayah punya data siapa saja masyarakat miskin yang berhak menerima," katanya.

Toh, pengadaan kitab suci ini tak selalu sejalan dengan niat mulia menyebarkan firman Tuhan. Kamis pekan lalu, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto memastikan anggota Komisi Agama DPR dari Partai Golkar, Zulkarnaen Djabar, serta putranya, Dendy Prasetya, Direktur Utama PT Karya Sinergi Alam Indonesia, sebagai tersangka korupsi pengadaan Quran. Zulkarnaen membantah terlibat.

l l l

TAK sembarang perusahaan boleh mencetak Quran. Kesucian isi tentu harus dijaga, tak boleh berkurang atau bertambah satu huruf pun. Maka, kata Ahmad Jauhari, pengadaan Quran harus melalui proses di Kementerian Agama. "Semua yang ingin mencetak Quran harus mengikuti tender," katanya.

Tahun ini pemenang perusahaan adalah PT Sinergi Pustaka Indonesia. Dalam dokumen keputusan pemenang lelang penggandaan Kitab Suci, 13 Desember 2011, Sinergi menang dengan harga penawaran Rp 55,075 miliar dari pagu anggaran Rp 56,487 miliar. Dalam dokumen dinyatakan bahwa perusahaan yang di aktanya disebut dimiliki oleh Hanggoro Santoso—pernah disidang dalam kasus pengadaan sarana pendidikan dan perpustakaan di Pengadilan Negeri Sumber, Jawa Barat, tapi divonis bebas—itu beralamat di Jalan Pos Pengumben 42A, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Saat Tempo menyambangi alamat tersebut, tak ada papan nama Sinergi. Tapi sejumlah karyawan di sekitar gedung bercat merah-hijau itu mengatakan Sinergi memang berkantor di sana. Seorang pria berjenggot dan berpakaian gamis juga membenarkan. "Saya baru saja mengajar agama di Sinergi," katanya.

Petugas keamanan dan resepsionis kantor justru mengatakan gedung itu bukan kantor Sinergi, melainkan PT Mitra Kreasi Satu Delapan. Dewi Diana, anggota staf sumber daya manusia Mitra Kreasi, mengakui Sinergi pernah satu gedung dengan perusahaannya. Tapi sejak akhir 2011, saat lelang pengadaan Quran masih berlangsung, Sinergi telah pindah kantor. "Kami bekerja sama menerbitkan buku. Yang dilakukan pegawai Sinergi hanya mengedit naskah," kata Dewi.

Anehnya, kantor percetakan PT Adhi Abadi Aksara Indonesia, pemenang pengadaan kitab tahun 2011, yang terletak di Tambun, Bekasi, juga dimiliki Sinergi Pustaka. Komisi Pemberantasan Korupsi menggeledah kantor Adhi Abadi pada ­Jumat pekan lalu untuk menelusuri keterlibatan perusahaan maskapai itu dengan korupsi pengadaan kitab tahun 2011. Anggota TNI yang menjadi kepala keamanan di percetakan itu, Djoko Sri Widodo, mengatakan kantor tersebut milik Sinergi Pustaka. Ia tak mengizinkan Tempo mewawancarai pejabat perusahaan tersebut.

Ketidakjelasan alamat pemenang tender, menurut peneliti lembaga penggiat antikorupsi Indonesia Budget Center, Laode Roy Salam, menunjukkan janggalnya proses pengadaan Quran. "Kemungkinan, pemenangnya perusahaan itu-itu saja," katanya. Roy menduga perusahaan ini saling terkait dan bekerja sama memenangi proyek.

Kejanggalan lain dalam pengadaan kitab disebutkan oleh Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar. Ia mengaku pernah menemukan harga riil kitab dalam proyek Rp 35 ribu. Tapi harga yang dicatat adalah Rp 75 ribu, seperti dilaporkan pelaksana proyek. "Saya tegur mereka dan minta direvisi." Tapi harga itu tak juga direvisi. "Mereka beralasan harga disesuaikan dengan pengadaan tahun sebelumnya," kata Nasaruddin.

Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Ahmad Jauhari menyangkal terjadi penggelembungan harga. Menurut dia, penentuan harga harus melalui pembahasan internal Kementerian. Saat menyusun harga perkiraan sendiri yang jadi patokan peserta lelang, panitia akan mempertimbangkan kualitas Quran. "Tidak ada penggelembungan," katanya.

l l l

MESKI tak berhubungan, ada yang mengaitkan merebaknya kasus dugaan korupsi pengadaan Quran dengan ketidaksukaan sejumlah pejabat di Kementerian Agama terhadap Nasaruddin Umar. "Ada upaya mengarahkan kesalahan ke Nasaruddin karena kasusnya terjadi waktu dia jadi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam," kata seorang sumber.

Menurut pejabat lain, Nasaruddin tidak disukai kalangan birokrat Kementerian Agama. Musababnya, guru besar bidang tafsir Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini bukan birokrat yang bermula dan besar di Kementerian Agama. Ketidaksukaan terhadap Nasaruddin kian besar sejak Presiden memilihnya sebagai wakil menteri pada Oktober 2011.

Sejumlah sumber mencontohkan, kantor Nasaruddin tak disatukan dengan kantor Menteri Agama Suryadharma Ali. Suryadharma, yang juga Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, berkantor di Lapangan Banteng, sedangkan Nasaruddin berkantor di Jalan Thamrin. Padahal, saat menjabat Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Nasaruddin berkantor di Lapangan Banteng. "Dia tak pernah diundang rapat yang membahas kebijakan strategis."

Sumber Tempo yang dekat dengan Nasaruddin bercerita, Nasaruddin pernah mengeluh karena tak diberi ruang gerak di Kementerian Agama. "Semua sudah saya wakafkan, tapi saya malah dikorbankan," kata sumber ini meniru ucapan Nasaruddin. Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Bahrul Hayat membantah kabar ini. Pun Nasaruddin enggan berkomentar banyak. "Anda nilai sendirilah," katanya.

Pramono, Setri Yasra, Gadi Makitan, Syailendra Persada, Elliza Hamzah (Jakarta), Arihta U. Surbakti (Bogor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus