Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sore itu menjelang Natal 2009. Dahlan Iskan membuka rapat direksi pertamanya di kantor pusat PT PLN (Persero) dengan satu pertanyaan: Apa penyebab PLN sulit maju? Beberapa jam sebelumnya, bos Grup Jawa Pos itu baru saja dilantik sebagai perusahaan Âsetrum milik negara. "Jawaban utama kami adalah pengambilan keputusan yang bertele-tele," kata seorang direktur PLN yang enggan disebut namanya.
Dalam rapat pertama itu pula Dahlan dan anggota dewan direksi sepakat mengubah model lama pengambilan keputusan yang birokratis—mulai perencanaan di level menengah manajemen, surat-menyurat dan koordinasi lintas divisi, hingga keputusan rapat direksi, dan kembali lagi ke bawahan. Kini setiap keputusan langsung dibahas di meja direksi dan harus segera dieksekusi.
Semangat perubahan manajemen PLN di bawah Dahlan menular ke urusan lainnya, terutama di bagian pengadaan dan pelayanan. Pada bagian pengadaan, perseroan memang dituntut efisien sekaligus mengurangi potensi korupsi di tubuh perusahaan yang modal kerjanya setahun rata-rata Rp 50 triliun ini.
Dalam proyek trafo, misalnya, Dahlan menarik kewenangan unit-unit di daerah yang biasanya menangani pengadaan secara terpisah-pisah. Dengan dikelola kantor pusat, pembelian bisa dilakukan sekaligus dalam jumlah banyak, sehingga bisa lebih murah. Selain itu, aturan main tender hanya boleh diikuti oleh produsen. Selama ini pengadaan selalu lewat perusahaan perantara, bukan pabrikan.
Hasilnya mengejutkan. Harga trafo 500 kilovolt (kV), yang biasanya dibeli seharga lebih dari Rp 100 miliar per unit, ternyata bisa dibeli dari produsen Rp 40-50 miliar. Begitu pula trafo 110 kV hanya Rp 6 miliar dari sebelumnya Rp 15 miliar.
Untuk urusan pelayanan, manajemen menggenjot jumlah pelanggan dengan memangkas prosedur pemasangan listrik. Sebelumnya, masyarakat yang memohon sambungan listrik baru harus melalui berbagai persyaratan, seperti mengantongi surat laik operasi (SLO) dan desain instalasi. "Itu semua hanya bisa diperoleh lewat kontraktor listrik dan Konsuil," kata sumber tadi.
Celakanya, persyaratan tersebut memperpanjang proses pemasangan sambungan. Biayanya pun membengkak. Untuk memasang listrik 450 volt ampere (VA) contohnya, pelanggan harus merogoh kocek Rp 2-3 juta. Padahal perhitungan PLN seharusnya tak lebih dari Rp 700 ribu. "Sering kali permainan ini melibatkan oknum PLN di unit layanan," katanya. Walhasil, Dahlan menghapus persyaratan SLO bagi pelanggan yang telah mendaftar dan membayar sambungan listrik baru. Hasilnya?
Setahun pertama Dahlan memimpin, PLN mampu menggaet 2,5 juta pelanggan baru dari biasanya hanya 1,3 juta per tahun. Tahun lalu bahkan 3,5 juta pelanggan baru, sehingga kini perseroan memiliki 46 juta pelanggan.
Tapi sebagian kalangan gerah dengan terobosan Dahlan. Asosiasi Kontraktor Listrik Indonesia (AKLI) menilai kebijakan Dahlan cacat hukum karena melanggar Undang-Undang Ketenagalistrikan, yang mewajibkan berbagai persyaratan pada pemasangan listrik. Tahun lalu, dua kali mereka menemui Dahlan untuk memprotes. "Dahlan bilang pokoknya ingin cepat, dan menuding kami memperlambat," kata Adang Surachman, Ketua Umum AKLI. Adang mengaku siap mendukung niat Dahlan meningkatkan jumlah pelanggan. "Tapi harus sesuai dengan aturan, dong."
SEPATU kets hitam yang dikenakannya dalam pelantikan kabinet di Istana Negara, pertengahan Oktober tahun lalu, Âseolah-olah hendak menunjukkan niat Dahlan tak akan berubah meski menjabat Menteri Badan Usaha Milik Negara. Sejak menjabat Chief Executive Officer PLN, Dahlan memang tak sekali pun terlihat mengenakan sepatu mengkilap dalam acara resmi.
Benar saja. Hari-hari Dahlan berikutnya sebagai pembantu Presiden dipenuhi gebrakan—terkadang kontroversial. Yang paling sederhana, dia menolak kendaraan dinas dan mewajibkan semua direktur BUMN menggelar rapat di kantor masing-masing setiap Selasa—tradisi yang sama dia terapkan ketika di PLN—untuk memantau berbagai persoalan yang dihadapi perseroan. Beberapa kali Pak Menteri turun ke lapangan untuk inspeksi mendadak (lihat infografis).
Dahlan juga tak segan merombak susunan kepengurusan beberapa BUMN yang dianggap kurang cakap. Belakangan, sebagian di antaranya memancing persoalan di lingkaran Istana karena dilakukan tanpa mekanisme pembahasan Tim Penilai Akhir.
Puncaknya, baru saja menjabat sebulan, Dahlan menerbitkan surat keputusan pendelegasian sebagian kewenangannya sebagai menteri kepada Deputi Kementerian BUMN, komisaris, dan direktur perseroan. Aksi korporasi pelat merah seperti mengubah anggaran dasar, penerbitan obligasi, dan penyertaan atau pelepasan modal anak perusahaan yang nilainya Rp 500 miliar-Rp 1 triliun cukup disetujui Deputi Teknis atau Deputi Bidang Restrukturisasi dan Perencanaan Strategis BUMN.
Beleid baru Dahlan langsung memancing protes Dewan Perwakilan Rakyat. "Boleh saja (seperti) koboi, tapi jangan bentrok dengan undang-undang," kata Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, beberapa waktu lalu.
Pernyataan politikus Partai Golkar itu dilontarkan sehari setelah 38 anggota Dewan dari tujuh fraksi—minus Partai Demokrat dan Partai Kebangkitan Bangsa—menyodorkan proposal interpelasi alias hak bertanya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas tingkah polah Dahlan. Mereka menuding Dahlan, lewat aturan barunya, mempermudah penjualan aset BUMN yang seharusnya memerlukan persetujuan Dewan, Presiden, atau Menteri Keuangan.
Semula Dahlan berkukuh mempertahankan strateginya. Dia berdalih pendelegasian tak lebih dari niatnya memangkas birokrasi. Dengan pembagian tugas, Kementerian bisa berfokus terhadap hal yang lebih strategis, seperti revitalisasi BUMN yang berkinerja buruk dan asetnya tidak produktif. "Silakan saja, itu hak mereka," katanya beberapa waktu lalu, menanggapi ancaman interpelasi DPR.
Tugas Dahlan memang tak mudah. Hingga kini, 22 dari total 141 perusahaan pelat merah masih merugi. Kontribusinya juga masih rendah. Tahun lalu total laba BUMN hanya Rp 125 triliun dengan dividen kepada negara sekitar Rp 28 triliun. Padahal total asetnya mencapai Rp 2.962 triliun.
Akhirnya, setelah sekretariat gabungan partai pendukung pemerintah berembuk, Dahlan harus legawa membatalkan keputusannya pada April lalu dan menggantinya dengan aturan pendelegasian wewenang yang lebih ketat—meski akhirnya kembali dicabut pada Mei lalu dengan alasan yang sama.
Aria Bima, penggagas interpelasi, mengaku heran dengan gerakan Menteri Dahlan. Alih-alih menyampaikan cetak biru BUMN masa depan kepada DPR, Dahlan malah genit mengejar popularitas lewat aksi-aksi simpatik, seperti jualan karcis, naik kereta api, atau marah-marah atas kemacetan antrean di pintu jalan tol. "Ketika dikoreksi, malah kami dituding ingin intervensi," kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang juga Wakil Ketua Komisi Bidang BUMN di DPR ini.
Dia mengakui Dahlan lebih cekatan ketimbang menteri-menteri sebelumnya. Tapi BUMN, Aria mengingatkan, bukan milik Dahlan, melainkan milik negara, yang pengelolaannya diatur undang-undang. "Saya berharap gebrakannya selama ini benar untuk BUMN," kata Aria. Maklum, nama Dahlan akhir-akhir ini memang santer diisukan maju dalam bursa calon presiden pada Pemilihan Umum 2014. "Tak tahu juga apa motifnya selama ini."
Dahlan memilih realistis menanggapi kecurigaan tersebut. Hingga kini dia tak terÂikat dengan partai apa pun. Mencalonkan diri dari jalur independen juga tak mungkin. "Tapi saya percaya pada takdir," katanya seusai peluncuran Dahlan Juga Manusia di Surabaya, Rabu pekan lalu.
Agoeng Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo