Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJELANG matahari terbit pada Idul Fitri lalu, Tim Sepuluh Partai Golkar baru menuntaskan separuh dari tugasnya. Sudah tiga hari mereka berembuk mengkompilasi calon dari 269 wilayah yang akan berlaga dalam pemilihan kepala daerah serentak di 33 provinsi pada awal Desember nanti. "Ada 131 calon yang disepakati kedua belah pihak," kata Lamhot Sinaga, anggota tim sekaligus Wakil Sekretaris Jenderal Golkar kubu Agung Laksono, kepada Tempo, Senin dua pekan lalu.
Itu artinya masih 50 persen yang belum disepakati kubu Agung dan Ketua Umum Aburizal Bakrie, dalam rapat yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta Pusat. Kedua kelompok masih berkeras dengan jago masing-masing. Padahal pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum Daerah harus dilakukan pada 26-28 Juli mendatang.
Anggota dari kubu Agung adalah Yorrys Raweyai, Lawrence Siburian, Lamhot Sinaga, Ibnu Munzir, dan Gusti Iskandar. Sedangkan Aburizal mengutus Mohamad Suleman Hidayat, Nurdin Halid, Aziz Syamsuddin, Sharif Cicip Sutardjo, dan Theo L. Sambuaga.
Masih ada sengketa dua kubu di 59 daerah karena perbedaan calon. Menurut Lamhot, itu akan diselesaikan lewat hasil survei elektabilitas delapan lembaga independen pada 18-24 Juli. "Kami minta hasil dari lembaga-lembaga yang sudah melakukan survei." Sedangkan calon dari 43 daerah sisanya ditentukan berdasarkan dukungan koalisi terbanyak atau mendapat pasangan dari partai lain.
Beberapa anggota tim tak mau mengungkapkan daerah mana saja yang ketat perdebatannya dalam pembahasan. Lamhot dan Aziz Syamsuddin kompak mengaku lupa. Theo L. Sambuaga hanya menyebut Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai satu-satunya daerah yang calonnya disepakati kedua kubu. "Di Sulawesi Selatan menunggu hasil survei."
Di tubuh Golkar Sulawesi Selatan, pemenang dengan 20,09 persen suara dalam pemilihan umum provinsi pada 2014, suasana pemilihan calon yang akan diusung juga berlangsung panas. Kubu Agung mengajukan 8 calon bupati/wali kota untuk 11 daerah yang akan menggelar pilkada pada 9 Desember nanti. Sedangkan Aburizal menyorongkan 33 calon. Tak ada calon yang sama.
Masalah perbedaan calon juga dialami Sumatera Barat dan Kalimantan Barat. Sedangkan di Jawa Barat, kedua kubu sepakat mengusung calon inkumben.
Namun Bupati Bandung Dadang Naser memilih jalur independen karena ketidakjelasan ujung konflik di partainya. Bupati Pangkep, Sulawesi Selatan, Syamsuddin Hamid, yang juga Ketua Golkar setempat, pun maju lagi, tapi dengan bendera Partai Keadilan Sejahtera.
Tim Sepuluh baru bekerja setelah kubu Agung-Aburizal melakukan islah babak kedua di kediaman dinas Wakil Presiden Jusuf Kalla, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, pada 11 Juli lalu. Padahal tim ini sudah berdiri setelah islah pertama pada 30 Mei lalu.
Pertemuan di rumah Kalla merupakan kelanjutan dari perdamaian kedua kubu di partai pemenang kedua Pemilu 2014 itu pada 30 Mei lalu. Waktu itu mereka menyepakati empat poin yang intinya bersama menyiapkan Tim Sepuluh dan pencalonan pilkada. Tapi masih ada ganjalan karena belum dipastikan kubu siapa yang berwenang meneken pencalonan.
Aburizal berpegang pada kemenangan di Pengadilan Tata Usaha Negara pada 18 Mei lalu, yang menerima keberatan atas surat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly. Surat itu mengesahkan kepengurusan Agung hasil Musyawarah Nasional di Ancol. Pengadilan Negeri Jakarta Utara mengabulkan gugatan Aburizal pada Jumat pekan lalu. Munas Ancol dinyatakan tak sah.
Kelompok Agung bersenjatakan surat Menteri Laoly tertanggal 23 Maret 2015, yang mengakui kepengurusannya. Agung pun merasa di atas angin setelah putusan banding di PTUN mementahkan gugatan Aburizal tadi. Putusan itu terbit pada 10 Juli lalu, sehari sebelum islah kedua. "Tentu kami ajukan kasasi," ujar Aburizal.
Persoalan hukum semakin rumit setelah Pengadilan Negeri Jakarta Utara memenangkan gugatan kubu Aburizal pada Jumat pekan lalu. Majelis hakim memutuskan Musyawarah Nasional yang digelar Agung di Ancol tidak sah dan merupakan perbuatan melanggar hukum.
Nah, pada islah kedua, kedua kubu sepakat bisa mengajukan calon masing-masing asalkan sama. Proses hukum biarlah berjalan. Kondisi yang sama diberlakukan pada Partai Persatuan Pembangunan, yang juga terbelah menjadi kubu Djan Faridz dan M. Romahurmuziy.
Komisi Pemilihan Umum melegalkan "dua kubu teken bersama" dengan Peraturan Nomor 12 Tahun 2015 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Peraturan ini perubahan atas Peraturan Nomor 9 Tahun 2015.
Peraturan baru yang diteken pada 14 Juli itu juga menambahkan antara lain soal pencalonan bekas narapidana dan calon inkumben. "Revisi rampung tadi malam hingga pukul 23.00," ujar Ketua KPU Husni Kamil Manik.
Arif Wibowo, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat, menyebutkan tindakan KPU keliru karena mengacu pada undang-undang dalam hal pencalonan pengurus partai politik harus tunggal. Kubu Aburizal sependapat. "Buat kami pahit. Tak ada pilihan lain untuk ikut pilkada," ucap Ade Komarudin, Ketua Fraksi Golkar di DPR yang pro-Aburizal.
Ade mengatakan pihaknya disodori rancangan kesepakatan islah pada 6 Juli lalu dalam pertemuan di rumah Aburizal. Hadir pula Sekretaris Jenderal Idrus Marham, Nurdin Halid, M.S. Hidayat, Rambe Kamarul Zaman, Theo, dan Ketua DPR Setya Novanto. Ada dua opsi, yakni melebur menjadi satu kepengurusan atau islah terbatas. Opsi pertama tak mungkin diambil karena masih bersengketa secara hukum sehingga dipilih opsi islah terbatas.
Beberapa hari kemudian, KPU membawa materi yang sama dalam rapat dengan Komisi Pemerintahan DPR. Maka Ade menuding pemerintah berada di balik skenario ini untuk menyejajarkan kubu Agung dengan Aburizal. "Sejak awal JK maunya begitu," kata Ade.
Pihak Agung lebih positif memandang Jusuf Kalla. Menurut Lamhot, Kalla memang menginisiasi islah terbatas supaya Golkar bisa mengikuti pilkada. Bahkan, ketika memuluskan islah pertama, Kalla menggelar enam kali pertemuan.
Menjelang islah kedua, Presiden Joko Widodo bersama Kalla mengadakan rapat kabinet terbatas mengenai pilkada pada Selasa, 7 Juli lalu. Hadir menteri-menteri terkait dan KPU, Badan Pengawas Pemilu, serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Rapat terbatas itu diadakan antara lain karena santer wacana menunda pilkada dengan berbagai alasan. "Presiden bilang tak ada penundaan," kata Husni.
Presiden memerintahkan Kalla agar menjadi mediator islah terbatas di Golkar dan PPP untuk menjamin hak konstitusional rakyat. "Presiden ingin semua partai bisa ikut pilkada," kata anggota Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, Teten Masduki, Rabu dua pekan lalu.
Kalla lantas memanggil kedua belah pihak. Kubu Agung mengadakan rapat pada esok harinya, kemudian menyerahkan hasilnya ke Kalla pada Kamis dua hari sebelum islah kedua.
Pihak Aburizal mencoba menawar. Setelah islah kedua, mereka masih berupaya pilkada ditunda dengan memakai alasan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap penyelenggaraan pilkada serentak. "Saya usul diundur tiga bulan," ujar Rambe Kamarul Zaman. Ade bahkan mengingatkan potensi konflik di lapangan menyikapi hasil kerja Tim Sepuluh.
Jobpie Sugiharto, Indri Maulidar dan Fransisco Rosarians (Jakarta), Andri Faruqi (Padang), Aseanty Pahlevi (Pontianak), Ahmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo