Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Diskriminasi Tulang Belulang

Memilih menjadi pengacara rakyat meski bergaji cekak. Dan tak mau disebut pejuang hak asasi manusia.

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI lintah, kenangan buruk itu melekat di ingatan Ester Indahyani Jusuf. Dia baru saja menikah tiga bulan saat Jakarta dilibas oleh kerusuhan Mei 1998. Di atas tempat tidur, cerita seorang saksi mata dari Jakarta Utara mengganggu mimpinya: "Seseorang berambut gondrong membakar toko ban. Langit hitam dan api menyambar kian-kemari. Dua orang sengaja dikunci si gondrong di dalam toko itu. Tubuh mereka pun hangus." Ester gundah. Dia tahu dua orang nahas itu warga Indonesia keturunan Cina. Tragedi bulan Mei enam tahun silam itu menyulut kesadaran baru Ester, yang terlahir dengan nama Sim Ai Ling. Dia membenci politik diskriminasi yang awet selama rezim Orde Baru berkuasa. Tapi dia juga menggugat ketertutupan warga Cina. Bagi Ester, akar persoalannya ada di dalam diri manusia. "Sikap menilai etnis (Cina) jauh lebih tinggi harus dihilangkan," ujarnya. Lalu Ester pun bergerak. Dia menerabas jalan sulit itu: membongkar sejarah. Sebelumnya, dia gadis peranakan Tionghoa yang lugu. Lahir di Malang 33 tahun silam, dia beruntung punya keluarga berpikiran maju. Ayahnya, Immanuel Jusuf, adalah seorang guru. Ibunya, Maria Tjandra, bekas guru. Sejak dia kecil, keluarga hoakiau itu hidup berpindah-pindah. Terakhir, mereka menetap di Jakarta. Ester kecil bergaul akrab dengan warga sekitar saat tinggal di Condet. "Saya sempat bersekolah di taman kanak-kanak Islam di sana," ujarnya. Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ester masuk ke dunia korps jubah hitam. Meski ada peluang, dia tak memilih jalur pengacara profesional. Ester bergabung dengan Divisi Hak Sosial dan Politik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Itu sesuai dengan pesan ayahnya, agar dia bekerja membela orang miskin. Menjadi "pengacara rakyat" adalah pengalaman baru bagi Ester. Sebelumnya, dia cuma aktif di gereja: "Ayah bilang, saya kebanyakan makan bangku gereja," ujarnya sembari tertawa. Pekerjaan di LBH memberinya gaji cekak. Suatu kali, duitnya tinggal beberapa ratus rupiah. Seharian dia belum makan dan tak punya ongkos pulang. Saat hari beranjak malam, Ester berdoa agar dia bisa makan dan pulang. "Eh, saya bertemu dengan Mas Teten Masduki (sekarang Ketua Indonesia Corruption Watch—Red.). Dia ngajak saya makan," ujarnya. Hari itu perutnya selamat. Dan ajaib, dia bisa pulang gratis karena sopir angkutan kota yang dinaikinya kelebihan setoran. Praktek pengadilan yang korup dia temukan selama bekerja di LBH. Ester juga berkali-kali bergesekan dengan kekuasaan. Dia pernah menjadi kuasa hukum Partai Rakyat Demokratik, yang dituding sebagai dalang kerusuhan 27 Juli 1996. "Dia tekun dan punya dedikasi tinggi," ujar Surya Tjandra, koleganya saat di LBH Jakarta. Menurut Surya, pada masa sulit itu, Ester termasuk pengacara muda yang bersuara lantang. Setelah Ester menikah dengan Arnold Fransiskus Purba, bekas aktivis mahasiswa Institut Teknologi Bandung, perjuangannya kian runcing. Arnold, yang akrab disapa Ucok, adalah aktivis "garis keras". Dia dipenjarakan gara-gara memprotes kunjungan Menteri Dalam Negeri Rudini ke kampus ITB pada 1989. " Ucok selalu memberi inspirasi buat saya," ujar Ester. Tiga tahun lalu, suaminya meninggal. Livernya rusak. Kepada Ester, Ucok meninggalkan dua orang putra. Bersama Ucok, Ester sempat merintis Solidaritas Nusa Bangsa. Lembaga itu berdiri tak lama setelah peristiwa Mei meletus. Mereka melawan praktek politik rasisme, antara lain dengan turut membongkar dan membela para korban kerusuhan Mei. Aktivitasnya menuai berbagai penghargaan, antara lain dari Forum for Human Rights, Yap Thiam Hien Award, serta Yayasan Inter-nasional Asoka. "Tapi jangan tulis saya pejuang hak asasi manusia," kata Ester. Hidup menjanda dengan dua anak tak membuatnya patah semangat. Terakhir, dia mengambil langkah berani dengan membidik isu tragedi politik 1965. Jutaan keluarga komunis dan pengikut Sukarno mati dalam babak sejarah paling berdarah itu. Dua tahun lalu, dalam rangka rekonsiliasi nasional, Ester turut menggali kuburan massal bekas anggota Partai Komunis Indonesia di Wonosobo, Jawa Tengah, dan di Blitar, Jawa Timur. Dari belulang yang berserakan tersebut, Ester seakan menemukan buhul persoalan itu. Katanya, "Perlawanan anti-diskriminasi berhenti total setelah 1965."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus