Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Romantika Pernikahan Beda Agama

Sejumlah pasangan beda agama berjuang mendapatkan restu agar bisa menikah. Ada juga yang risau karena terbitnya edaran MA. 

6 Agustus 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi pernikahan beda agama. TEMPO/Nita Dian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Vibri dan Hendrik menikah setelah 16 tahun pacaran.

  • Rumah tangga Maria dan Nurul harmonis setelah 23 tahun menikah.

  • Tren perkawinan pasangan beda agama meningkat setiap tahun.

Sudah 28 tahun Vibriyanti dan Hendrik Hutabarat bersama. Mereka berpacaran selama 16 tahun, lalu menikah dan membina rumah tangga. Tepat di tahun ini, usia pernikahan keduanya sudah 12 tahun. Kendati sudah lebih dari satu dasawarsa, Vibri masih ingat betul betapa sulitnya perjuangan untuk bisa menikah dengan lelaki idamannya itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cinta keduanya sempat terhalang restu orang tua lantaran perbedaan agama. Vibri seorang muslim dan Hendrik pemeluk Kristen. "Semua hal di cerita sinetron yang lebay-lebay itu kami alami," kata Vibri kepada Tempo, Rabu, 2 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ibu dua anak ini menceritakan, setiap kali Hendrik datang ke rumahnya, ada saja insiden yang bikin ia tak habis pikir. Dari ban sepeda motor Hendrik dikempesi, sandalnya hilang, sampai minuman yang disuguhkan sudah diludahi oleh adiknya karena suruhan ayahnya. "Segitu ekstremnya orang tua aku enggak setuju," ujarnya.

Vibri juga tak berani datang ke rumah Hendrik untuk berkenalan dengan keluarganya. Bisa dibilang, 10 tahun mereka berpacaran diam-diam, dan lima tahun terakhir sebelum menikah barulah Vibri berani bertatap muka dengan calon mertuanya kala itu.

Pasangan beda agama, Vibriyanti yang beragama Islam dan Hendrik Hutabarat yang beragama Kristen. Dok. Pribadi

Sempat Meruncing Menentukan Agama Anak 

Titik balik hubungan keduanya terjadi ketika ibu Vibri memberi restu. Vibri, yang merupakan anak perempuan satu-satunya, memutuskan kabur dari rumah begitu mulai bekerja. Ibunya lantas datang ke rumah kos dan memohon agar Vibri kembali ke rumah. Ia pun berjanji akan merestui hubungannya dengan Hendrik. "Kenapa kami direstui, karena kami bersahabat dengan waktu," tutur Vibri.

Begitu pula sang ayah, akhirnya luluh dan menerima Hendrik mempersunting Vibri. Sedangkan ibu mertua Vibri memberi restu dengan syarat mereka dinikahkan oleh pendeta dari suku Batak. 

Di masa itu, informasi mengenai pernikahan pasangan beda agama belum banyak. Ia dan Hendrik hanya tahu bahwa menikah di luar negeri merupakan satu-satunya jalan. Keduanya pun giat bekerja dengan niat mencari uang agar bisa menikah secara resmi di luar negeri. Hingga suatu hari, Vibri menemukan grup percakapan di Facebook yang membahas tentang pernikahan campuran. 

Di sinilah Vibri akhirnya berkenalan dengan orang-orang yang senasib. Satu di antaranya adalah Ahmad Nurcholish, yang kini menjabat Direktur Program Pusat Studi Agama dan Perdamaian (ICRP) dan kerap membantu pasangan beda agama untuk bisa menikah.

Melalui Ahmad, Vibri berkenalan dengan seorang pemuka agama yang menjadi penghulu di akad nikahnya. Ia mendapat penjelasan bahwa pernikahan beda iman di Indonesia belum diizinkan, tapi ada sela yang bisa diisi tanpa harus menikah di luar negeri atau membohongi publik, seperti berpura-pura pindah keyakinan agar mudah dalam pencatatan perkawinan di kantor pencatatan sipil. "Waktu itu aku dan suami punya prinsip, menikah tidak mau didasari kebohongan walaupun untuk kebaikan," kata perempuan berusia 44 tahun itu.

Sejak awal, Vibri dan Hendrik mantap menikah dengan tetap memegang teguh agama masing-masing. Dari keterangan yang disampaikan Ahmad, kata Vibri, selagi kelurahan bersedia mengeluarkan berkas N1-N4 (surat nikah), pernikahan lintas iman bisa didaftarkan ke lembaga yang mau menikahkan mereka secara keagamaan. 

Mendapat secercah harapan bisa menikah di dalam negeri, Vibri dan Hendrik segera mengurus dokumen-dokumen pendukung. Baik ayah Vibri maupun ibu Hendrik turun membantu pengajuan permintaan berkas ke kelurahan. 

Setelah berkas sudah lengkap, Ahmad Nurcholish membantu mereka mencarikan penghulu dan pendeta yang mau menikahkan pasangan beda agama. Impian Vibri dan Hendrik pun terwujud. Mereka bisa menikah dengan menjalani akad dan pemberkatan.

Namun, untuk pencatatan pernikahan, Vibri disarankan mendaftarkan akta perkawinan Kristen ke kantor pencatatan sipil. "Sebab, kalau lewat KUA, suami harus mengucapkan dua kalimat syahadat dan tertulis Islam," ucapnya.

Selama membangun bahtera rumah tangga, Vibri mengungkapkan hubungan keduanya jarang terjadi gesekan karena perbedaan agama. Seperti pasangan seiman pada umumnya, konflik rumah tangga Vibri dan suami hanya seputar perekonomian. 

Vibri menuturkan, ia dan suami sama-sama menghormati dan mendukung kegiatan ibadah masing-masing. Misalnya, ketika bulan puasa, Hendrik yang membangunkan Vibri untuk sahur dan mengantarkan Vibri ke masjid untuk tarawih. Bahkan, saat salat id, Vibri dan keluarganya diantar sampai gerbang masjid dan ditunggu hingga selesai.

Dukungan serupa dilakukan Vibri kepada suaminya. Saat Natal dan tahun baru, Vibri menemani sang suami menghadiri misa dan kebaktian tengah malam. "Aku suka duduk walau enggak ikut baca doanya. Aku juga enggak pantang masuk gereja." 

Konflik mengenai perbedaan agama hanya sempat meruncing ketika masuk usia pernikahan 4-5 tahun atau saat menginginkan anak. Keduanya bingung menentukan agama untuk anak. Tapi, tanpa berlarut-larut, masalah ini bisa mereka atasi. Keduanya sepakat anak laki-laki ikut agama yang dianut Hendrik. Sedangkan anak perempuan ikut agama Vibri. 

Menurut Vibri, penentuan agama ini sebatas formalitas untuk memudahkan anaknya mendaftar sekolah. Ia tetap memberikan pendidikan agama Islam dan Kristen kepada kedua anaknya. Namun mereka juga terbuka bila suatu saat anaknya mau menentukan sendiri keyakinan yang akan dianut. 

Pasangan beda agama, Maria Anggraini yang beragama Kristen dan Nurul Hidayat yang beragama Islam dalam prosesi pernikahan di Ngawi, Jawa Timur, 2000. Dok. Pribadi

Diterima Keluarga Setelah 10 Tahun Menikah

Kisah berbeda dialami Maria Anggraini, pemeluk agama Kristen asal Ngawi, dan Nurul Hidayat, seorang muslim dari Madura. Keduanya hanya berpacaran selama 9 bulan sampai akhirnya menikah pada Februari 2000.

Keluarga Maria tak mempersoalkan perbedaan agama keduanya. Sang ibu hanya mengingatkan Maria akan risiko menikah dengan pasangan yang berbeda keyakinan. Sebaliknya, keluarga Nurul menunjukkan penolakan dengan tidak menghadiri pernikahan keduanya.

Maria dan Nurul bertemu di sebuah lembaga pelatihan di Yogyakarta pada 1999. Awalnya, Maria tak tahu bahwa Nurul beragama Islam. Tapi, setelah mengenal sosok pria itu lebih dalam dan mengetahui keyakinan yang dianutnya berbeda, Nurul hanya berpikir untuk menjalaninya dulu. "Saya berpikir perbedaan cuma tata cara ibadah. Saya ke gereja, dia ke masjid," kata perempuan berusia 47 tahun itu.

Mereka pun memutuskan menikah pada 15 Februari 2000 dengan pemberkatan di gereja sesuai dengan kemauan ibu Maria. Nurul tak keberatan menikah secara Kristen demi mendapat akta perkawinan dan diakui negara. Setelah menikah, keduanya masih tetap meyakini agama masing-masing.

Maria mengungkapkan, di awal pernikahan, keluarga Nurul sama sekali enggan mengajak suaminya berbicara setiap kali mereka ke Madura untuk mudik Lebaran. Bahkan keberadaan Maria seperti tak dianggap. Baik Nurul maupun Maria memutuskan untuk legawa dan menerima perlakuan tersebut. "Kami enggak berusaha menjelaskan. Biar mereka tahu sendiri. Prinsip kami seperti itu," ujarnya.

Seiring dengan berjalannya waktu, hubungan dengan keluarga suaminya membaik. Maria menyebutkan, di usia pernikahan ke-10, mertuanya sudah bisa menerima Maria sebagai menantunya. 

Kini, setelah berjalan 23 tahun, kehidupan rumah tangga Maria dan Nurul tetap harmonis. Masalah agama anak pun sudah mereka diskusikan sejak masih pacaran. Keduanya sepakat bahwa agama anak akan mengikuti kepercayaan Maria. "Supaya enggak ada tengkar di akhir-akhir. Jadi, dari awal dibicarakan," ujar ibu tiga anak ini.

Ilustrasi pernikahan beda agama. TEMPO/Nita Dian


Peluang Menikah Beda Agama Kian Tertutup

Pernikahan pasangan beda agama di Indonesia bukanlah perkara mudah. Selain sejumlah pandangan agama yang menentang, para pasangan lintas iman terbentur birokrasi hukum. Misalnya, pada 31 Januari 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi atas Pasal 2 ayat 1 dan 2 juncto Pasal 8 huruf F UU Perkawinan yang mengatur definisi pernikahan. 

Jalan bagi pasangan beda agama untuk bisa menikah kian tertutup sejak Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. Dalam warkat yang terbit pada Juli lalu itu, MA melarang pengadilan seluruh Indonesia mengabulkan pernikahan pasangan beda agama.

Padahal sebelumnya ada harapan bagi pasangan lintas iman karena beberapa pengadilan mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama. Pada Juni lalu, misalnya, PN Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pria berinisial JEA, beragama Kristen, yang mempersunting perempuan muslimah, untuk dapat mencatatkan berkas status pernikahan ke pencatatan sipil.

Sebelumnya, hakim PN Jakarta Selatan juga mengizinkan pencatatan perkawinan pasangan beda agama. Dalam putusan pada 1 September 2022, hakim Alimin Ribut Sujono menyebutkan, berdasarkan ketentuan penjelasan Pasal 35 UU Nomor 23 Tahun 2006, pelaksanaan perkawinan beda keyakinan atau agama harus mendapat penetapan dari pengadilan. "Sangat ironis bilamana perkawinan umat beda agama di Indonesia tidak diperbolehkan karena tidak diatur dalam suatu undang-undang," ujarnya.

Di luar Jakarta, PN Surabaya juga mengabulkan permohonan penetapan pencatatan pernikahan beda agama yang diajukan pasangan RA dan EDS. Hakim mengizinkan mereka melangsungkan perkawinan di hadapan pejabat kantor Dinas Dukcapil Kota Surabaya. Dalam putusannya, hakim yang meneliti perkara ini merujuk pada Pasal 21 ayat 3 UU Perkawinan dan Pasal 35 UU Administrasi Kependudukan.

Penjelasan Pasal 35 huruf a UU Adminduk menyatakan hal yang dimaksudkan dengan "perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan" adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat berbeda agama. Adapun Pasal 21 ayat 3 UU Perkawinan menyebutkan mereka yang perkawinannya ditolak pegawai pencatat perkawinan berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan.

Warga Negara Indonesia Dwinita Rosalina Widyati yang beragama Islam dan kekasihnya asal India Kumar yang beragama Hindu. Dok. Pribadi

Kabar beberapa pengadilan mengizinkan pasangan beda iman melangsungkan perkawinan sempat menjadi angin segar bagi Nita. Pemeluk agama Islam ini sudah memiliki rencana untuk menikah tahun ini dengan sang kekasih, Kumar, yang merupakan warga India sekaligus pemeluk agama Hindu.

Namun perempuan bernama lengkap Dwinita Rosalina Widyati ini kecewa setelah terbitnya surat edaran MA yang melarang pegadilan mengabulkan nikah beda agama. Menurut Nita, sepahit-pahitnya, kemungkinan cara agar mereka bisa menikah adalah konversi agama. Entah itu Nita mengikuti agama sang suami atau sebaliknya. "Tapi memutuskan untuk pindah agama itu suatu keputusan besar," kata dia.

Saat ini, ia dan calon suami masih berfokus mempersiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan. Apalagi ada banyak persyaratan bagi warga negara asing seperti Kumar bila hendak melangsungkan pernikahan di Indonesia. Hal itu pulalah yang membuat Kumar sudah pesimistis sejak awal. "Dia dari awal pesimistis dengan sistem Indonesia yang serba documented. Sebab, di India, memang kebetulan nikah di sana lebih mudah," ujar Nita.

Ahmad Nurcholish menyebutkan persyaratan menikah di Indonesia cukup menjelimet. Ditambah dengan regulasi yang ada, ia menilai negara sudah terlalu jauh mencampuri pernikahan. 

Ahmad menuturkan SEMA terbaru justru bertentangan dengan putusan MA Nomor 1400 K/PDT/1986 yang menyatakan bahwa perkawinan pasangan beda agama sah di Indonesia dengan jalan penetapan pengadilan. Meski SEMA tak memiliki kekuatan hukum, pengadilan negeri secara struktural ada di bawah MA. "Jadi, tidak mungkin dia tidak tunduk," kata Ahmad.

Menurut Ahmad, sehari setelah SEMA terbit, sudah ada pasangan Katolik dan Hindu di Bali yang permohonannya ditolak dengan alasan SEMA tersebut. Padahal, kata Ahmad, menikah beda agama di Indonesia sudah menjadi konsekuensi sebagai negara majemuk.

Apalagi Ahmad melihat tren perkawinan pasangan beda agama terus meningkat setiap tahunnya. Dari data ICRP, kenaikan jumlah pernikahan lintas iman ini dimulai sejak tujuh tahun terakhir. Pada 2016 tercatat 64 pasangan. Pada tahun berikutnya jumlahnya bertambah menjadi 76. Kemudian 111 pasangan pada 2018; 137 pasangan pada 2019; 147 pasangan pada 2020; 169 pasangan pada 2021; dan 177 pada 2022. Total sepanjang 2005-Juli 2023 ada 1.645 pasangan beda agama yang menikah.

Ahmad mengungkapkan pelaku pernikahan beda agama ini paling banyak dari pasangan Islam-Kristen, lalu Islam-Katolik, Islam-Hindu, Islam-Buddha, dan Islam-Konghucu. Berikutnya Kristen-Buddha, Kristen-Konghucu, dan Kristen-Katolik. 

Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Teguh Setyabudi, mengatakan, sepanjang pengadilan tak mengabulkan permohonan perkawinan beda agama, tidak akan pernah ada pencatatan perkawinan beda agama di Dinas Dukcapil. 

FRISKI RIANA 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Friski Riana

Friski Riana

Reporter Tempo.co

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus