Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIRAI bambu bertulisan Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS dengan sapuan cat hitam tidak lagi tergantung di teras rumah Ririn Andrian Sawir di Kampung Kandang Semangkon, Kecamatan Paciran, Lamongan, Jawa Timur. Rumah ini ditinggali Ririn bersama tujuh anaknya, yang masih remaja dan bocah, sebelum terbang ke Turki, pertengahan Januari lalu.
Kepala dusun, Sutikno, menggambarkan, sebelum dicopot, tulisan itu sempat memikat perhatian warga di sekitarnya. "Saya tak tahu siapa yang memasang dan mencopotnya," ujar Sutikno kepada Tempo, Sabtu dua pekan lalu.
Ririn dan sebelas orang lain tiba dari Turki di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Kamis malam pekan lalu. Ririn adalah satu dari 16 orang yang ditangkap di Gaziantep, Turki, yang dekat dengan perbatasan Suriah, pada 12 Maret lalu. Mereka kemudian dibawa ke Markas Komando Brigade Mobil Kepolisian, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Meninggalkan Indonesia menuju Turki, dua bulan lalu, Ririn mengajak tujuh anaknya. Ia menyusul suaminya, Achsanul Huda, 40 tahun, yang lebih dulu berangkat pada bulan puasa tahun lalu. Huda ditengarai berada di Raqqah, Suriah, dan bergabung dengan ISIS. "Saya mendapat informasi dari jaringan intelijen saya di sana," kata As'ad Said Ali, mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara, yang sembilan tahun bertugas di Timur Tengah.
Sutikno menyatakan Huda pernah dikabarkan tewas di Suriah, tiga bulan lalu. Namun, dari sejumlah informasi yang dia terima, ternyata kabar tersebut tidak benar. As'ad pun yakin Huda masih hidup. "Dia masih ada di sana," ujarnya.
Menurut Sutikno, Huda bertemu dengan Ririn, yang berasal dari Situbondo, Jawa Timur, ketika mereka sama-sama bekerja di Malaysia. Setelah menikah, mereka kembali ke Lamongan dan berdagang ikan di tempat pelelangan ikan di Brondong. Mereka juga berdagang pala-wija. Huda meneruskan usaha yang dirintis orang tuanya. Penghasilan Huda terbilang lumayan sehingga ia bisa membeli rumah. Belakangan, rumah ini dijual istrinya ke seorang warga Lamongan dengan harga Rp 100 juta.
Di dalam rombongan Ririn, ikut adiknya, Tiara Nurmayanti Marlekan, 25 tahun, yang membawa bocah 2 tahun. Kepala Imigrasi Kelas 1 Khusus Surabaya di Waru, Sidoarjo, Enang Supriyadi Syamsi, mengatakan Tiara membuat paspor pada 13 Agustus 2014. Dua hari kemudian, paspor anaknya itu dibuatkan. Kepada petugas imigrasi, Tiara menyatakan akan berumrah ke Arab Saudi. "Eh, ternyata ke Turki," ujar Enang.
Tiara merupakan janda Muhammad Hidayah atau Dayat, yang tewas ditembak Detasemen Khusus 88 Antiteror di Tulungagung, Jawa Timur, pada Juli 2013. Ketika itu, Dayat bersama Riza atau Eko dituduh membawa senjata api revolver dan bom rakitan dalam tas punggung. Polisi menuduh mereka "teroris jaringan Poso yang dipimpin Santoso atau Abu Wardah". Santoso adalah pemimpin Mujahidin Indonesia Timur. Inspektur Jenderal Tito Karnavian, mantan Deputi Penindakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, menyebutkan kelompok ini telah mendukung ISIS. "Mereka sudah dibaiat," katanya.
Dalam rombongan yang dideportasi ini, ada juga Muhammad Ihsan Rais, 15 tahun, dan Aisyahnaz Yasmin, 26 tahun, dari Bandung. Empat dari 16 anggota rombongan ini masih berada di Turki. Keempatnya adalah suami-istri Daeng Stanzah-Ifah Syarifah dan dua anak mereka yang masih bocah, Aisyah Mujahidah dan Ishaq. Daeng selama ini dikenal sebagai pedagang jamu dan obat-obatan.
Wakil Kepala Kepolisian RI Badrodin Haiti menyatakan Ifah Syarifah sedang hamil tua. "Kami pulangkan setelah ibu itu melahirkan," ujar Badrodin. Catatan Ihsan Rais, Aisyahnaz, dan Daeng Stanzah dalam gerakan jaringan kelompok terorisme belum banyak. Menurut bekas anggota Negara Islam Indonesia, Al Chaidar, "Mereka pendatang baru."
Duta Besar Indonesia di Turki, Wardana, mengatakan kelompok ini tiba di Istanbul dalam dua kelompok pada 28 Januari lalu, masing-masing terdiri atas 12 dan 4 orang. Wardana tak tahu persis kelompok mana yang lebih dulu datang. Pada saat orang-orang itu tiba di Istanbul, kata Wardana, polisi Turki sudah mengamati mereka.
Dari Istanbul, mereka bergabung dalam satu bus menuju Gaziantep, yang berbatasan dengan Suriah. Polisi Turki menangkap mereka setelah tiba Gaziantep pada 29 Januari lalu. Menurut Wardana, dari informasi kepolisian Turki, mereka yang akan bergabung dengan ISIS selalu membuang kartu identitas ketika hendak ditangkap. "Itu sebabnya sebagian dari mereka tak memegang kartu identitas," ujarnya.
SETELAH keberangkatan rombongan Ririn Andrian Sawir, menyusul 16 orang lagi yang terbang ke Turki memakai jasa agen perjalanan Smailing Tour. Mereka adalah 10 orang asal Surabaya dan 6 dari Solo. Dari Surabaya antara lain ada nama Tsabita Utsman Mahdamy, Salim Muhammad Atamimi, Fauzi Umarsalim, dan Jusman Army. Hingga Jumat pekan lalu, keberadaan mereka di Turki belum diketahui.
Dari Solo, ada kakak-adik Hafid Umar Babher dan Fauzi Umar Babher. Hafid mengajak istri beserta tiga anaknya. Juru bicara keluarga, Muhammad Arif, mengatakan perjalanan mereka ke Turki adalah untuk berwisata. "Baru pertama kali mereka ke luar negeri," ujar Arif, kakak kandung Hafid dan Fauzi. Arif menyatakan yakin adiknya tak terlibat gerakan militan.
Rombongan Surabaya dan Solo ini berangkat ke Turki pada 23 Februari lalu dari Bandar Udara Soekarno-Hatta, menumpang pesawat Turkish Airlines TK 67. Setiba di Bandara Turkish International Ataturk, Istanbul, mereka pamit kepada pemimpin rombongan untuk berpisah dan berjanji kembali bergabung pada 26 Februari di Kota Pamukkale, Turki.
"Tapi, hingga tanggal yang dijanjikan, 16 peserta tur itu menolak untuk kembali bergabung dengan rombongan tur," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir. Padahal rombongan ini dijadwalkan balik ke Indonesia melalui Jakarta pada 4 Maret 2015 pukul 00.40 menggunakan Turkish Airlines TK 66.
Belasan orang yang memisahkan diri itu tidak muncul di bandara. Bersama Smailing Tour, mereka masuk satu paket rombongan yang anggotanya semula berjumlah total 24 orang. Setelah itu, mereka tak dapat dihubungi lagi. Walhasil, anggota rombongan yang lain lebih dulu balik ke Indonesia.
Muhammad Arif menyebutkan, pada 27 Februari lalu, Fauzi Umar Babher menelepon menggunakan nomor lokal Turki. Ketika itu, pemimpin Majelis Tablig Muhammadiyah ini sedang mengendarai sepeda motor sehingga suara kurang jelas. Dari ujung telepon, kata dia, Fauzi menyatakan akan menelepon kembali. Hingga Jumat pekan lalu, Fauzi tidak pernah lagi melakukannya.
Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ansyaad Mbai tak percaya mereka berwisata, apalagi berdagang. Pernyataan Ansyaad senada dengan mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara As'ad Said Ali. Menurut As'ad, kepergian dua rombongan warga negara Indonesia yang anggotanya masing-masing berjumlah 16 orang itu atas peran Helmi Alamudin, Abdul Hakim Munabari, dan Achmad Junaedi, yang ditangkap di Malang, Rabu pekan lalu. Ketiganya mengurus paspor dan mengatur perjalanan rombongan Ririn.
Menurut As'ad, Helmi dan Hakim merupakan binaan Salim Mubarok Attamimi alias Abu Jandal Al Yemeni Al Indunisi. Kini, Abu Jandal berada di wilayah ISIS. Ia pernah muncul di YouTube pada Desember tahun lalu dengan menyiarkan perlawanannya terhadap Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Moeldoko, petinggi Kepolisian RI, dan Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama.
Tito Karnavian mengatakan 16 warga Indonesia yang menggunakan jasa Smailing Tour itu diduga berasal dari Jamaah Ansharut Tauhid. "JAT merupakan kelompok yang telah mendeklarasikan diri sebagai pendukung ISIS," ujar Tito, yang sekarang menjabat Asisten Perencanaan Kepala Polri.
Penangkapan tiga orang di Malang berkaitan dengan penggerebekan lima orang di Jakarta dan sekitarnya. Kepala Bagian Penerangan Umum Markas Besar Polri Rikwanto menyatakan mereka yang ditangkap diduga kuat terkait dengan pengiriman warga Indonesia ke Turki untuk selanjutnya masuk wilayah ISIS di Suriah dan Irak. Mereka yang ditangkap di Jakarta dan sekitarnya adalah Muhammad Fachri, Aprianul Henri, Engkos Koswara, Amin Mude, dan Furqon, pada Sabtu dua pekan lalu. "Mereka ini diduga memfasilitasi keberangkatan itu," ujar Rikwanto.
Pada Jumat pekan lalu, Detasemen Khusus 88 Antiteror juga menangkap Ridwan Sungkar alias Abu Bilal alias Ewok di Tulungagung. Menurut Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Anas Yusuf, Ridwan Sungkar bersama tiga orang yang ditangkap di Malang berperan merekrut beberapa orang dari berbagai daerah di Jawa Timur.
Selanjutnya, mereka akan mengirim rekrutan itu ke Suriah untuk berlatih militer bersama ISIS. Polisi mencatat sudah ada 18 warga Jawa Timur yang ikut jaringan ini. Ridwan Sungkar baru beberapa hari tiba di Indonesia dari Suriah. Jaringan yang diduga kuat sebagai pendukung ISIS ini telah berangkat ke Suriah sekitar setahun lalu.
Al Chaidar mengatakan kelompok Abu Jandal aktif merekrut pendukung ISIS, selain Santoso. Seorang bekas aktivis Islam militan Indonesia menyatakan ada lagi dua perekrut andal, yakni Abu Zaki di Medan, yang bergerak di seluruh Sumatera, dan seorang lagi yang disebut berinisial FI untuk wilayah Kalimantan. Keduanya anggota Jamaah Ansharut Tauhid. FI diduga merekrut Muhammad Alfian Nurzi, anak muda gaul di Pontianak yang kini diduga bergabung dengan ISIS.
Kepolisian mencatat 159 warga Indonesia dengan nama dan alamat jelas bergabung ke ISIS. Sedangkan pemerintah menyatakan setidaknya 514 orang Indonesia bergabung ke kelompok itu. Di wilayah yang dikuasai ISIS, menurut Al Chaidar, setidaknya 500 orang asal Indonesia tinggal di kamp Abdullah Azzam di Raqqah.
Amir Mahmud, yang pada pertengahan tahun lalu mendirikan Forum Pendukung Daulah Islamiyyah di Solo dan mendukung ISIS, menyatakan pemerintah Indonesia terlalu reaktif. Pembaiat seribu orang pendukung ISIS ini menyatakan warga negara Indonesia punya kebebasan pergi ke mana saja. Dia yakin mereka yang bergabung dengan ISIS tak akan peduli bila kewarganegaraannya dicabut. "Tinggal cabut saja."
Sunudyantoro, Dewi Suci, Prihandoko (jakarta), Ahmad Rafiq (solo), Sujatmiko (lamongan), M. Syarrafah (surabaya), Candra Nugraha (tasikmalaya), Eko Widianto (malang), Pramono (turki)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo