Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI bawah langit biru Kota Tal Abyad, Provinsi Ar-Raqqah, Suriah, bendera hitam mengombak ditiup angin musim gugur. Tiangnya setinggi menara masjid, berdiri di dalam tembok kota berwarna kecokelatan.
Aksara Arab putih yang bermakna "Tiada tuhan selain Allah" di panji-panji memang tak jelas terlihat dari pinggir Kota Akcakale, Provinsi Sanliurfa, Turki, yang berbatasan langsung dengan Tal Abyad. Toh, semua mafhum, pataka itu merupakan penanda bahwa wilayah sudah dikuasai Negara Islam yang dikenal juga sebagai Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS.
Pada Rabu pekan lalu, ketika Tempo datang ke Akcakale, kawasan terluar provinsi yang dikendalikan penuh oleh kelompok pimpinan Abu Bakr al-Baghdadi tersebut terlihat sepi. Tal Abyad-Akcakale menjadi salah satu pintu keluar-masuk warga Suriah menuju dan dari Turki. Para pemuda dari suku Kurdi dengan kaus berkerah biru setia menunggu warga Suriah di depan gerbang perbatasan Akcakale. Mobil-mobil berpelat nomor Suriah juga berseliweran di kawasan tersebut. Banyak toko kini menempelkan tulisan dalam bahasa Arab untuk mendulang laba dari migrasi ini.
Sejak Tal Abyad dikuasai para milisi ISIS pertengahan tahun lalu, Akcakale juga menjadi gerbang utama bagi mereka yang ingin bergabung dengan kelompok itu. Tapi warga Akcakale-didominasi suku Kurdi dan keturunan Arab-tak tertarik mengomentari ihwal membanjirnya calon "mujahid" dari berbagai negara. Pemilik hotel yang letaknya sekitar 50 meter dari pintu perbatasan, yang semula dengan ramah menawarkan kamar, langsung menggeleng ketika ditanyai soal kedatangan mereka. "Tidak, tidak," ujarnya sambil pergi.
Tentara Turki memperketat penjagaan di wilayah Akcakale. Sejumlah panser ditempatkan di sekitar perbatasan yang berpagar kawat berduri dengan tinggi hampir 20 meter. Terlihat kosong dari luar, melalui pengeras suara, tentara di dalam panser memerintahkan mobil yang ditumpangi Tempo menjauh ketika mendekati pagar perbatasan.
Toh, sejumlah penghubung menyebutkan tak susah menyeberang ke Tal Abyad pada malam hari. Semakin menjauh dari gerbang perbatasan, penjagaan kian longgar. Seorang penduduk memberitahukan, mereka yang ingin menembus perbatasan bisa menggunakan jasa pengantar dengan biaya 10-50 lira atau sekitar Rp 50-250 ribu. Sedangkan mereka yang datang berombongan, kata dia, "Biasanya ditempatkan di salah satu rumah di sini sebelum menyeberang. Malam hari, semua berangkat. Begitu mudah."
Turki diperkirakan menjadi pintu masuk utama bagi jihadis yang masuk ke Suriah. Terbentang lebih dari 800 kilometer, perbatasan Turki dan Suriah tak selalu dijaga ketat. Kepada Tempo, Selasa pekan lalu, Duta Besar Indonesia untuk Turki, Wardana, mengatakan aparat keamanan Turki pun sudah menyatakan kesulitan menjaga perbatasan yang panjangnya melebihi jarak Jakarta-Surabaya tersebut. "Mereka sudah memperketat pengawasan, tapi dengan jarak sepanjang itu tentu sulit menjaganya," ujar Wardana.
Kondisi alam di sekitar perbatasan, yang sebagian berbukit-bukit, juga mengakibatkan pengawasan menjadi agak sulit. Sejumlah sumber yang bekerja di kawasan perbatasan mengatakan banyak jalur tikus yang bisa dimanfaatkan untuk menembus Suriah. Ada beberapa perbatasan yang memiliki jalur tikus, yaitu di Kota Kilis, Provinsi Kilis, dan Kota Reyhanli di Provinsi Hatay. Hanya, Kilis hampir tidak menjadi pilihan bagi mereka yang ingin bergabung dengan ISIS. Musababnya, Kota Azaz, yang berbatasan langsung dengan Kilis, dikuasai milisi yang berlawanan dengan ISIS.
Seorang penghubung di Reyhanli mengatakan kawasan tersebut kerap menampung orang asing yang ingin bertempur melawan tentara Suriah dalam tiga tahun terakhir. Awalnya, mereka bergabung dengan sejumlah grup pemberontak yang berada di Kota Idlib dan Aleppo, Suriah. "Cukup banyak yang bergabung dengan Jabhat al-Nusra," ujarnya.
Al-Nusra merupakan kelompok pemberontak yang berafiliasi dengan Al-Qaidah. Kelompok itu menguasai sebagian wilayah Idlib dan Aleppo. Salah satu yang bergabung dengan Al-Nusra adalah Ridwan Abdul Hayyie, anak Abu Jibril, yang pernah dikaitkan dengan teror bom JW Marriott dan Ritz-Carlton. Bergabung pada pertengahan 2014, Ridwan dikabarkan tewas di Idlib pada Kamis pekan lalu.
Menurut sumber tersebut, para calon mujahid berasal dari berbagai negara, seperti Prancis, Amerika Serikat, Malaysia, juga Indonesia. Biasanya jihadis asal Indonesia datang berkelompok dengan anggota lebih dari lima orang. Di sana, mereka ditempatkan di safe house sebelum menyeberangi perbatasan dan memasuki medan perang. "Saya beberapa kali melihat mereka," ujarnya.
Sekitar setahun terakhir, kata si sumber, para "calon mujahid" mulai enggan bergabung dengan kelompok penentang Presiden Bashar al-Assad. Mereka justru memilih bergabung dengan ISIS. Salah satu sebabnya, "Gaji yang ditawarkan ISIS lebih besar." Pengamat terorisme, Noor Huda Ismail, menyebutkan milisi asal Indonesia yang bergabung dengan ISIS bisa mendapatkan US$ 250 per bulan. Belakangan, sebagian besar calon mujahid yang ingin bergabung dengan ISIS tak lagi melewati Reyhanli dan memilih masuk melalui Akcakale.
Tidak hanya karena rentang perbatasan yang tak terjaga penuh, mereka yang ingin bergabung dengan jihadis di Suriah lebih nyaman masuk melalui Turki. Noor Huda memperkirakan salah satu alasannya adalah tak susah mengurus visa ke Turki. Tak perlu repot, visa bisa didapat dalam hitungan menit melalui sistem online yang diberlakukan pemerintah negara itu.
Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian tersebut memperkirakan calon mujahid yang masuk lewat Turki biasanya beralasan menjadi turis. Toh, tak mudah bergabung dengan ISIS. Menurut Noor Huda, ISIS hanya merekrut mereka yang direkomendasikan oleh jaringannya di negara asal. "Tanpa rekomendasi, jangan harap bisa masuk Suriah dan bergabung dengan ISIS," ujar Noor Huda.
Selain menggunakan sistem rekomendasi, ISIS sangat berhati-hati membawa calon anggota jemaahnya menyeberangi perbatasan. Biasanya calon jihadis dihubungkan dengan orang kepercayaan ISIS di Turki. Para kaki tangan ISIS inilah yang mengatur tempat pertemuan dan cara menyeberang.
Umumnya, calon mujahid masuk ke Turki melalui Istanbul. Dari kota terbesar di Turki tersebut, mereka naik bus menuju Kota Gaziantep. Di kota inilah para "perwakilan" ISIS menjemput. Caranya sama. Kepala rombongan menelepon penghubung di Gaziantep setelah mendapat taksi. Penghubung tersebut lalu berbicara dengan sopir taksi. Instruksinya jelas: bawa ke alamat yang disebutkan, terima duit, dan tinggalkan penumpang segera.
Sejumlah sopir taksi yang ditemui Tempo menyatakan pola tersebut telah berjalan lebih dari setahun terakhir. Mereka pun berulang kali mengantar orang asing yang diduga ingin menyeberang ke Suriah. "Lokasinya selalu berubah-ubah. Yang menelepon pun berbeda-beda," kata seorang sopir taksi. Sopir lain mengaku pernah mengantar sekelompok orang Indonesia. "Kulitnya sama dengan kamu," ujar sopir yang mengklaim bisa membedakan orang Indonesia dengan warga negara Malaysia itu.
Beyhan Tutan, 39 tahun, warga Gaziantep, juga menyatakan bertemu dengan sejumlah warga Indonesia, Sabtu empat pekan lalu. Saat itu, Beyhan-lima tahun tinggal di Indonesia-melihat delapan orang bertengkar dengan dua sopir taksi di Jalan Caddesi, sekitar empat kilometer dari Terminal Gaziantep.
"Saya turun dari mobil dan bertanya dalam bahasa Indonesia, ada masalah apa. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang berbicara," katanya. Menurut Beyhan, rombongan itu terdiri atas tiga anak kecil, tiga perempuan berkerudung, serta seorang pria dewasa dan satu remaja. Mereka membawa tas dan koper yang cukup banyak. Sopir taksi lalu bercerita bahwa rombongan tersebut tak bisa membayar.
Akhirnya, remaja laki-laki yang ada di dalam rombongan mengatakan tak ada masalah apa pun. "Kami turis. Nanti ada keluarga menjemput," ujar Beyhan menirukan omongan remaja tersebut. Beyhan memilih berlalu. Cerita tersebut dibenarkan oleh Mahmoud, penjaga toko detergen di Jalan Caddesi.
Menurut Mahmoud, satu mobil Ford Transit-bisa menampung 18 orang-datang ke lokasi tersebut setelah sopir taksi pergi. Mahmoud sempat melihat pelat depan Ford Transit itu berangka 21 atau berasal dari Diyarbakir, sekitar 300 kilometer dari Gaziantep dan tiga jam dari Akcakale. Dalam hitungan detik, Ford Transit tersebut meninggalkan Jalan Caddesi. Tak satu pun sopir taksi mengatakan pernah melihat wajah perantara calon mujahid.
Pola yang sama agaknya diterapkan untuk 16 warga Indonesia-11 di antaranya tak berpaspor-yang tertangkap di Gaziantep pada 29 Januari lalu. Duta Besar Indonesia di Turki, Wardana, mengatakan polisi keburu menangkap mereka sebelum dijemput perantara. Sumber Tempo yang mengetahui pemeriksaan 16 orang tersebut mengatakan mereka berkukuh datang sebagai turis.
Mahasiswa Indonesia di Turki juga lahan perekrutan. Salah satunya Wijangga Bagus Panulat. April tahun lalu, mahasiswa jurusan teknik komputer di Izmir Institute of High Technology, Kayseri, tersebut menyeberang ke Suriah. Ia bergabung dengan ISIS. "Dia mengaku sudah bergabung dengan ISIS dan Januari lalu dia bilang akan menikah," kata seorang kawan dekat Bagus.
Menurut rekan SMA-nya di Kayseri yang juga satu kampus, Bagus menyatakan berminat menuruti jejak adik kelas mereka, Yazid Ulwan Falahuddin, 19 tahun. Akhir 2013, Yazid kabur dari sekolahnya dan bergabung dengan kelompok pemberontak yang menjadi cikal-bakal ISIS. "Aku juga pinginlah," ujarnya menirukan keinginan Bagus. Jadilah Bagus tiba-tiba menghilang. "Dia kirim pesan pergi ke Sanliurfa," ujarnya.
Yazid dan Bagus-keduanya mendapat beasiswa ke Turki-dikenal pendiam dan punya hobi sama: nge-game. Menjelang Yazid pergi ke Suriah, beberapa kawannya kerap melihat dia mengunduh video perang di negara itu. Sepekan sebelum kabur, Yazid menjual laptopnya dan mengganti telepon selulernya ke model lawas. Jumat ketiga Desember 2013, Yazid naik bus menuju Hatay, 20-an kilometer dari Reyhanli, yang berbatasan langsung dengan Suriah. Tak lama, muncul foto-foto soal jihad di akun Facebook Yazid.
Kini, Yazid dan Bagus kerap berhubungan melalui Twitter. Dalam bahasa Jawa, keduanya saling menanyakan kabar. Keduanya tak merespons permintaan wawancara Tempo yang dilayangkan melalui akun Facebook dan dititipkan kepada seorang kawan yang menjadi pengikut akun Twitter mereka. Tempo mendatangi alamat Yazid yang tertera di paspornya, di Pakuwon City, Surabaya. Tapi ketua rukun tetangga setempat, Cory, menyatakan keluarga Yazid sudah cukup lama pindah.
Menurut seorang kawannya, Yazid beberapa kali mengajak teman-temannya ikut berperang di Suriah. Sumber Tempo yang pernah berkomunikasi dengan Yazid bahkan mengatakan dia kini aktif menjadi perekrut warga Indonesia yang berambisi ikut berjihad di Suriah.
Noor Huda Ismail dan terpidana terorisme Imran Baihaqi alias Abu Tholut-berseberangan dengan ISIS-menilai salah satu alasan mudahnya ISIS merekrut anak-anak muda adalah mengandalkan jejaring sosial. "Tak perlu kaget, sekarang Internet mudah diakses. Berbeda dengan saat perang Afganistan, yang beritanya hanya dari mulut ke mulut," kata Abu Tholut, yang kini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Kedungpane, Semarang.
Duta Besar Indonesia untuk Turki, Wardana, menyatakan aparat keamanan Turki belum bisa memastikan posisi Yazid dan Bagus. Yang jelas, foto profil di nomor WhatsApp Bagus memperlihatkan ia menyandang Automatic Kalashnikov 47.
Pramono (tal Abyad), Maya Nawangwulan, Sohirin (semarang), Agita Sukma Listyanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo