Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Matahari seharusnya sedang berada di belahan utara bumi; dan memang demikian. Tapi, di Amerika Serikat, musim di sepanjang 1816-1817 itu benar-benar aneh. "Ada salju di setiap bulan pada tahun itu, terjadi gagal panen dan migrasi dari Pantai Timur," tulis Alan Robock, ahli iklim di Rutgers University, New Jersey, dalam Volcanic Eruption, Tambora, Encyclopedia of Global Environment Change.
Kelaparan membayangi penduduk New England dan wilayah di sejumlah Pantai Timur Amerika Serikat setelah dua tahun berturut-turut gagal panen. "Suhu tanah menurun drastis dan membeku. Itu penyebab gagal panen," kata Chester Dewey, dosen matematika dan natural philosophy di Williams College, Massachusetts, Amerika Serikat.
Pada saat yang sama, penduduk pesisir timur mendengar kabar tentang adanya wilayah yang masih lumayan hangat, lahan yang lebih luas, subur, dan terbukanya peluang menjadi kaya di wilayah barat. "Kondisi itu lantas menyebabkan migrasi dari New England ke beberapa negara bagian lain yang bercuaca lebih hangat," ujar Alfred Inkiriwang, pengajar Program Pascasarjana Pusat Kajian Amerika Universitas Indonesia.
Akibatnya, sejumlah kota di Pantai Timur menjadi kota mati karena ditinggalkan penduduk. Sebaliknya, kota dan negara bagian baru terbentuk untuk mengakomodasi para pendatang. Sebutlah Ohio, Illinois, dan Iowa. Beberapa negara bagian baru juga diresmikan, seperti Indiana dan Illinois, masing-masing pada 1816 dan 1818.
"Tapi cuaca ekstrem itu jarang disebut sebagai alasan utama gelombang migrasi besar-besaran pada waktu itu," ujar Alfred. Dalam literatur, kata dia, migrasi disebutkan terjadi karena adanya kesempatan untuk menjadi lebih kaya di daerah baru. Iowa, Illinois, dan Nebraska, misalnya, merupakan daerah penghasil jagung dan kedelai. Adapun Chicago adalah kota perdagangan sapi. Pendek kata, negara-negara bagian ini menjadi sabuk penghasil pangan.
"Peluang membuka lahan pertanian dan menghasilkan tanaman pangan yang besar ini menjadi magnet bagi penduduk New England dan sekitarnya untuk melakukan migrasi," kata Alfred. Apalagi hasil panen dari wilayah ini terbuka untuk diperdagangkan di seluruh Amerika, bahkan diekspor ke Eropa, yang sedang mengalami krisis pangan dan muncul wabah penyakit. "Jadi mereka berbondong-bondong melakukan migrasi karena melihat ada pasar dan peluang membuka lahan baru," ucapnya.
Migrasi itu juga didorong oleh kebijakan coast-to-coast yang menjanjikan kehidupan yang lebih sejahtera dengan lahan luas dan tambang emas, selain kebijakan New Frontier dengan membuka 13 negara bagian baru pada periode pertama. Toh, Alfred mengakui, keterkaitan letusan Gunung Tambora dengan migrasi dan pembentukan kota-kota baru di Amerika Serikat tetap menarik untuk dikaji lebih dalam. "Rentetannya panjang, mungkin benar, dan memang menarik untuk ditelisik ulang," ujarnya.
Rentetan panjang itu setidaknya sudah memiliki penghubung. Para ilmuwan telah meyakini perubahan cuaca ekstrem di Amerika Utara pada masa itu sebagai akibat amuk Tambora. "Harus diakui bahwa di bagian utara bumi terjadi perubahan iklim secara tiba-tiba dan sangat ekstrem setelah terjadinya letusan Tambora, dan itu berlangsung selama tiga tahun berturut-turut," kata C.R. Harington dalam buku The Year Without a Summer: World Climate in 1816 terbitan Canadian Museum of Nature, 1992.
Apakah sejarah Amerika Serikat akan sedikit direvisi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo