Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sisa Diskriminasi di Mana-Mana

Warga keturunan Tionghoa masih tersandung SBKRI dan soal agama Konghucu. Apa upaya yang mereka lakukan?

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA ngetop Alan Budikusuma dan Susi Susanti ternyata tidak banyak berpengaruh di meja kantor imigrasi. Dua orang pertama Indonesia yang meraih medali emas Olimpiade (cabang bulu tangkis, di Barcelona, 1992) itu tetap saja ketanggor masalah ketika hendak mengurus paspor sebulan yang lalu. Pasangan suami-istri itu didaulat Konfederasi Olimpiade Internasional untuk membawa obor dalam Olimpiade Yunani di Athena yang dibuka pekan lalu. Inilah pertama kalinya warga negara Indonesia menerima penghormatan luar biasa itu. Tapi kehormatan sebagai duta bangsa di event paling akbar dunia itu tidak berarti banyak di mata petugas Kantor Imigrasi Jakarta Utara. Keduanya tetap diminta melampirkan surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI)—persyaratan lama yang sudah dicabut pemerintah. "Rasanya miris. Kok, masih ada diskriminasi," kata Susi Susanti, perempuan asal Tasikmalaya yang sudah 34 tahun hidup di Indonesia. "Saya orang Indonesia, lahir di Indonesia. Mengapa harus ditanya SBKRI?" ujar Susi dengan gundah.

Meski sempat diminta menunjukkan SBKRI—sebuah dokumen identitas berbentuk seperti buku paspor—urusan mereka akhirnya beres. Masih untung, keduanya tidak dimintai "uang pelicin" agar paspor mereka cepat kelar. Tak semua warga keturunan Tionghoa mendapat keistimewaan seperti itu. Menurut Harry Tjan Silalahi, 70 tahun, keturunan Tionghoa masih kerap menjadi obyek pemerasan aparat pemerintah. Wakil Direktur Center for Strategic and International Studies (CSIS) ini mengaku banyak mendapat informasi soal pemerasan itu. "Keturunan Tionghoa masih kerap jadi sapi perah," ujar Harry.

Pengalaman Adong Wijaya, 37 tahun, salah satunya. Warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Perumahan Taman Lopang Indah, Serang, Banten, ini gagal mengurus akta kelahiran anaknya yang baru berusia dua bulan. Soalnya, meskipun melampirkan SBKRI orang tuanya, Adong tak mampu menunjukkan SBKRI atas namanya sendiri. Adong sempat beradu argumentasi dengan petugas di Kantor Catatan Sipil Kabupaten Serang. Tapi segala argumentasi Adong membentur dinding. "Tak ada gunanya reformasi. Saya tetap dipandang sebelah mata," ujar Adong, yang tengah menjadi ketua panitia peringatan 17 Agustus di wilayah rukun tetangga tempat tinggalnya.

Diskriminasi itu adalah perbendaharaan kata dari zaman politik lama. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Kewarganegaraan Indonesia memastikan tempat kelahiran (ius soli) sebagai patokan penentuan status kewarganegaraan Indonesia. Tapi Presiden Cina Daratan, Chou En-lai, pada 1955 menetapkan Republik Rakyat Cina menganut sistem kewarganegaraan berdasarkan keturunan (ius sanguinis). Chou En-lai mengklaim semua etnis Cina di seluruh dunia sebagai warga negara Republik Rakyat Cina. Untuk keturunan Cina di Indonesia, Chou En-lai membujuk Presiden Sukarno agar membuat perjanjian bilateral. Bersamaan dengan Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung, Indonesia dan Cina membuat perjanjian "Dwi-Kewarganegaraan" bagi keturunan Tionghoa di Indonesia.

Setelah Orde Lama tumbang dan Orde Baru naik ke tampuk kekuasaan, Soeharto mengalihkan kiblat politik luar negerinya. Lewat UU Nomor 4/1969, Indonesia membatalkan perjanjian Dwi-Kewarganegaraan dengan Cina. Hubungan diplomatik dengan Cina membeku hingga titik yang paling dasar. Buntutnya, etnis Tionghoa seakan menjadi warga negara "kelas dua". Semua warga Indonesia keturunan Tionghoa harus membuat SBKRI—surat resmi yang menunjukkan identitas baru warga keturunan Tionghoa.

Kini, setelah 35 tahun berselang, SBKRI tetap menjadi momok bagi warga keturunan. Padahal, secara resmi, pemerintah telah menghapus keharusan menunjukkan SBKRI bagi warga keturunan dalam mengurus dokumen apa pun, termasuk paspor. Lewat Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1996, Pemerintah menetapkan bahwa SBKRI sudah tak berlaku lagi. Dalam pasal 4 ayat 2 keputusan itu tertulis, "WNI yang telah memiliki KTP, Kartu Keluarga, atau Akta Kelahiran tak lagi membutuhkan SBKRI."

Tapi aturan tinggallah aturan. Praktek di lapangan sungguh masih jauh panggang dari api. Para petugas imigrasi, misalnya, selalu menanyakan SBKRI saat warga etnis Tionghoa akan membuat atau memperpanjang paspor. Perlakuan yang sama masih diterima saat mereka mengurus kartu tanda penduduk, akta kelahiran, dan pembelian sebuah rumah. Apa komentar Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra atas penyimpangan itu? Meski mengakui SBKRI tak berlaku lagi, Menteri Yusril, yang juga guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia, menyatakan para petugas yang menanyakan SBKRI tak salah. "Mereka memang harus menjelaskan status kewarganegaraan mereka," ujar Yusril.

Dan itulah yang terjadi di lapangan. Para petugas imigrasi masih sering menanyakan SBKRI bagi warga keturunan Tionghoa. Tak cuma warga Tionghoa biasa, tokoh sekelas Harry Tjan Silalahi (bekas anggota DPA), Tan Joe Hok (maestro bulu tangkis), Hendrawan (pemain bulu tangkis), dan Lin Che Wei (analis keuangan) sempat "terganjal" dengan persoalan SBKRI itu. Presiden Megawati, misalnya, dua tahun silam sempat ternganga saat mendapat keluh-kesah Hendrawan yang belum juga mendapatkan SBKRI. Tapi tentu saja keluh-kesah seorang Hendrawan langsung mendapat reaksi. Dalam hitungan hari, pahlawan Piala Thomas tahun 2000 ini memperoleh SBKRI yang telah diidamkannya bertahun-tahun.

Selain SBKRI, ada soal lain lagi. Warga Tionghoa, setelah reformasi 1998 bergulir, mencoba menghidupkan kembali Konghucu, agama leluhur dari Negeri Tiongkok. Selama Orde Baru, warga negara Indonesia keturunan Tionghoa yang menganut Konghucu dipaksa memilih agama lain. Soalnya, pemerintah hanya mengakui lima agama "resmi": Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha. Bagaimana penganut Konghucu? "Kami dipaksa jadi munafik," ujar Budi S. Tanuwibowo, Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin).

Zaman "menjadi munafik" itu berlangsung sejak 1974. Lewat Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, negara seakan "melupakan" agama ini dengan hanya mengakui perkawinan sesama agama untuk umat "lima agama resmi". Di luar yang lima itu, jangan harap dapat melanjutkan proses perkawinan. Bila ada pasangan di luar "agama resmi" yang ngotot melangsungkan perkawinan, negara tak akan mengakuinya. Anak hasil perkawinan itu dipastikan tak mendapat akta kelahiran karena dianggap sebagai anak haram.

Perkembangan aturan pemerintah yang keluar setelah itu semakin menyudutkan posisi penganut Konghucu. Identitas agama Konghucu dan beberapa agama minoritas lainnya makin redup. Lewat Surat Edaran Menteri Dalam Negeri 477 tanggal 18 November 1978 soal pengisian "kolom agama" di kartu tanda penduduk (KTP), Konghucu tak terdaftar sebagai agama resmi. Secara eksplisit, surat edaran tersebut mematok hanya "lima agama resmi" yang dapat ditulis di KTP. Buntutnya, agar dapat memperoleh KTP, warga Tionghoa beragama Konghucu dipaksa memilih agama lain yang diakui negara. Umumnya umat Konghucu memilih agama Buddha atau Katolik sebagai agama di KTP mereka.

Kini Matakin tengah berjuang agar negara mengakui secara resmi agama Konghucu. Dasar pijakan mereka cukup kuat. Di dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa secara tegas mengakui 14 agama di dunia—termasuk Bahai, Sikh, Yahudi, dan Konghucu. Sesungguhnya, di Indonesia, Presiden Abdurrahman Wahid sempat mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang mengakui agama-agama minoritas.

Tapi prinsip usang "kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah" rupanya tetap berlaku. Hingga kini, pemeluk agama Konghucu masih belum dapat mencantumkan agamanya di KTP. Tak cuma itu, soal perkawinan pun masih menjadi urusan yang tak berujung. Bila sesama pemeluk agama Konghucu melangsungkan perkawinan, banyak kantor catatan sipil yang ogah memproses administrasinya. Dengan kata lain, ujar Budi S. Tanuwibowo, "Negara seperti lebih senang rakyatnya kumpul kebo."

Sebenarnya secercah harapan sempat muncul saat Abdurrahman Wahid terpilih menjadi presiden. Selain memperbolehkan perayaan Tahun Baru Imlek secara terbuka, Presiden Abdurrahman menyatakan Konghucu dapat menjadi agama resmi negara. Maklum, presiden yang akrab disapa "Gus Dur" itu dikenal sebagai tokoh dunia yang aktif memperkuat toleransi antar-agama. Sayang, sebelum Konghucu menjadi "agama resmi", Abdurrahman sudah diturunkan dari kekuasaan. Pemerintah Megawati Soekarnoputri sampai sekarang belum melanjutkan kebijakan yang sudah dirintis Abdurrahman. Maka status Konghucu masih agama nonresmi di mata negara. "Sekarang kami harus berjuang dari awal," ujar Budi S. Tanuwibowo.

Dan soal Konghucu ini pun masih mengisi daftar perlakuan diskriminatif terhadap keturunan Tionghoa—daftar yang seharusnya semakin pendek pada era baru ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus