DI sebuah pasar di utara Jakarta. Seorang pedagang sipit, cuma bersandal jepit, duduk di bangku kayu, memutar telepon. Lalu bicaralah ia, haiya, lalala . . . dalam bahasa Tionghoa. Tahukah Anda, di kios pasarnya yang tak lebih dari 4 meter persegi itu ia sedang melakukan negosiasi dengan pedagang di Hong Kong? Ya, Pasar Pagi, nama pusat perdagangan itu, memang pasar grosir terbesar, konon di seluruh Indonesia. Konon, banyak pedagang Hong Kong dan Singapura akrab dengan tempat ini. Tapi akhir Maret ini sejarah Pasar Pagi yang sudah berputar 200-an tahun berpindah. Sekitar 3.000 pedagang kelas kakap dan asongan harus hengkang ke tempat penampungan sementara di Jalan Mangga Dua, dua-tiga kilometer ke arah timur. Di bekas pasar seluas 2 ha itu akan dibangun jalan layang dengan dana dari Bank Dunia. Apa boleh buat, keresahan pun muncul. "Para pedagang Pasar Pagi ini sebenarnya kurang suka pindah ke Mangga Dua," kata Pak Tua Thio. "Mangga Dua itu 'kan bekas kuburan," tutur pedagang yang merangkap juru ramal di kelenteng Budi Darma ini. Pada perhitungan feng-shui -- inilah ilmu Cina kuno untuk mengetahui sebuah tempat, apakah mendatangkan keberuntungan atau tidak--konon, berdagang di bekas kuburan tidak mendatangkan hoki. Sementara itu, lokasi Pasar Pagi kini, oleh hampir seluruh pedagan yang memang keturunan Cina, dianggap sangat menguntungkan. Yah, feng-shui atau bukan, yang jelas hubungan antarpedagang, atau pedagang-konsumen, di sini boleh dikata telah melembaga dengan unik. Kepercayaan untuk membawa dulu barang, bayar kemudian, sudah jadi ciri. Secarik kertas rokok dengan tulisan kanji cukup dipercaya untuk ditukar dengan uang jutaan rupiah, atau ditukar dengan satu truk barang apa saja - dari ikan asin, celana dalam, sampai karpet Persia. Zaman memang berubah. Pasar Pagi yang menghidupi banyak mulut - dari si tauke bermobil mewah sampai kuli pengangkut barang dan tukang ojek - bakalkah tamat riwayatnya? Burhan Piliang, Linda Djalil & Agung Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini