MASKUP dan Fandholi bagai Mintuna dan Mintuna. Maaf, biasanya memang Mimi dan Mintuna, julukan tradisional untuk pasangan suami-istri yang sehidup semati. Maskup (58) mengenal Fandholi (48) sejak mondok bareng di pesantren di waktu muda. Keduanya cocok dalam segala hal -- termasuk peri laku seks. Singkat kata, mereka termasuk golongan gay -- dan begitu menyayanginya satu dengan yang lain, sampai-sampai mereka berikrar akan sehidup semati. Kematian itu ternyata datang menjemput Fandholi lebih dahulu, awal tahun ini. Ketika berita duka ini disampaikan kepada Maskup, ia langsung pergi ke rumah sahabatnya di Desa Loram Kulon (Kecamatan Jati, Kudus) itu, sambil meninggalkan pesan kepada Raspiah, istrinya: "Saya tidak pulang. Rumah dikunci saja dari dalam." Kepada para pelayat, Maskup menceritakan hubungannya dengan Almarhum -- termasuk ke-gay-an mereka dan sumpah sehidup semati itu. Tentu saja para hadirin pada kaget dan sangat tidak senang. Apalagi baik Maskup maupun Fandholi punya istri (perempuan, tentu) dan anak. Maskup tiga anak, Fandholi satu. Untung, menurut Maskup, tingkah seksual menyimpang itu telah dihentikan tatkala keduanya kawin. Selesai bercerita, Maskup mengeluh sakit. Ia meronta-ronta sambil memegangi perutnya -- di samping jenazah yang terbujur. Obat gosok segera dioleskan ke perut Maskup, tapi tak mempan. Sambil mengaduh Maskup berucap lirih, "Saya akan mendampingi Fandholi" - seperti yang ditirukan Muslich, kakak Maskup. Tasbih segera dibacakan, dan tubuh Maskup menjadi lemas. Dan, innalillahi, ia meninggal di samping Fandholi. Ikrar sehidup-semati telah membuktikan tuahnya - dengan sukses. Tak ada, misalnya, dugaan kalau-kalau Maskup sudah minum racun dari rumah. Tak mungkin, to? Maskup dimakamkan di Kaliputu, sedang Fandholi di pekuburan Loram, Kudus. Kurang romantis, memang: tidak berjejer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini