HUT Proklamasi Kemerdekaan RI masih lama. Tapi, di Kecamatan Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, sudah ada pawai -- diikuti dua gadis cilik (membawa spanduk), anak-anak, remaja, dewasa, orang tua berjalan santai dan penuh senyum. Mereka mengenakan pakaian warna-warni. "Jangan mengganggu lalu lintas!" seru sang komandan. Ia berpakaian adat Jawa lengkap: beskap hitam, blangkon, kain batik, selop hitam. Di tangannya terdapat sebuah pecut, yang sesekali diayunkan: tar! Warga Parakan baru tahu apa yang sebenarnya terjadi ketika iring-iringan kian mendekat. Spanduk itu bertuliskan: "11 Windu Niti Soedarmo". O, jadi ini HUT Mbah Niti. "Hari ini, tanggal 11 Februari 1986, merupakan hari yang sangat membahagiakan hidup saya," kata si Mbah. Ke-14 anaknya dari dua istri berturut-turut, ditambah 37 cucu dan empat cicit, berkumpul semua. Mereka itu sudah tersebar di berbagai kota, seperti Magelang, Yogya, bahkan Jakarta. "Saya sudah tua, sering kangen pada cucu dan cicit," tutur kakek yang jenggotnya sudah memutih ini. "Apalagi belum tentu setiap tahun kami bisa berkumpul." Itulah sebabnya muncul ide untuk mempertemukan semua keturunan -- lima tahun silam. Tapi baru sekarang terlaksana, ketika usia si Mbah (sebenarnya) sudah 90 tahun, alias terlambat dua tahun dari 11 windu. Maklumlah. "Yah, hitung-hitung pawai ini sebagai angon putu (menggembalakan cucu) beramai-ramai," ujar Mbah Niti. Tar! Dan pawai pun berjalan. Siapa yang mengayunkan pecut itu, gerangan? Siapa lagi, kalau bukan Mbah Niti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini