Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jarum Jam Tak Jalan Mundur

29 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMARAU mulai menampakkan kehadirannya setelah musim pancaroba yang sering membawa angin ribut lewat. Hujan jarang turun dan udara kering mulai semilir dari tenggara. Alam seperti siap memasuki masa istirahat, tapi kehidupan para petani di desa malah mengawali masa sibuk. Panen padi. Lelaki, perempuan, bahkan anak-anak ikut terlibat. Semua orang mengerahkan tenaga: mengetam padi, menjemur, dan—bila sudah kering—menyimpannya di lumbung. Semua bekerja dengan gembira. Semangat gotong-royong benar-benar hidup, terutama bila ada tetangga yang mulai menjemur atau ngater, yakni mengisi lumbung dengan padi yang sudah selesai dijemur. Siang hari di musim panen bagi para petani adalah saat keringat bercucuran. Namun mereka bergembira dan bersyukur. Maka di malam hari secara ragawi mereka membutuhkan hiburan. Dan dalam hal rohani, mereka memerlukan wahana untuk pengucapan syukur kepada dewi kesuburan yang telah memberkati mereka dengan panen melimpah. Untuk memenuhi kedua kebutuhan itu, petani di kampung-kampung memilih menggelar pentas tayub. Dalam pentas yang diiringi tembang dan musik calung ini semua lelaki yang datang punya kesempatan menari berpasangan dengan sang ronggeng, yang di tempat lain bisa disebut lengger atau ledhek. Dan kegembiraan para petani itu, lelaki, perempuan, dan anak-anak akan memuncak pada saat ada hidung menempel di pipi ronggeng atau ada tangan jahil menyusupkan uang ke balik kain penutup dadanya. Kegembiraan itu bisa pula berkembang menjadi hiruk-pikuk yang lepas kendali bila ada lelaki mabuk dan merasa haknya untuk ikut menari terhambat. Meski jarang terjadi, keributan dan perkelahian di pentas tayub pada masa lalu bukan hal yang aneh. Maka kosakata tayub sendiri konon diyakini berasal dari kependekan ungkapan ditata amrih guyub atau "ditata agar rukun". Di Banyumas dan sekitarnya, tayub merupakan bagian pentas ronggeng atau lengger. Tradisi kesenian ini sudah berusia berabad-abad. Dalam bukunya yang sangat terkenal, The History of Java, Raffles sudah menulis ronggeng. Sir Thomas Stamford Raffles, yang menjadi Letnan Gubernur Jenderal Inggris di Jawa (1811-1816), menulis, ronggeng adalah tradisi seni yang sangat populer di tengah kehidupan petani Jawa. Dalam berbagai variasinya, seni ronggeng dan tayub terdapat dari Banten hingga Banyuwangi. Di Betawi ada ronggeng yang dikenal sebagai cokek, di pantai utara Jawa Barat ada dongbret dan sintren, dan di tanah Priangan ada ronggeng gunung. Di Jawa Tengah ada lengger dan ledhek, di Banyuwangi ada gandrung. Dan sementara di Jawa Tengah dan di Jawa Timur dikenal tayub, di Jawa Barat dan Betawi ada ngibing. Kepopuleran tayub pada masa lalu boleh jadi disebabkan oleh kemampuan dan kejujurannya mewakili ungkapan gairah seni masyarakat tani. Tariannya sederhana dan spontan dengan mengandalkan improvisasi gerak. Tetabuhan atau musiknya demikian juga. Maka para petani mudah menguasainya. Tak diperlukan pembelajaran yang lama bagi seorang gadis petani untuk menjadi penari tayub. Demikian juga bagi para lelakinya. Bisa dikatakan mereka tak memerlukan guru agar mampu ngibing bersama si ronggeng. Begitulah, pada masa lalu para petani memiliki ruang berkesenian dan mereka sungguh hadir di dalamnya. Dan tayub adalah sebentuk kesenian yang sangat mereka akrabi. Kepopuleran ronggeng dengan tayubnya juga disebabkan oleh kenyataan bahwa kesenian rakyat ini memiliki nilai sakral bagi para petani. Ada pendapat mengatakan tayub berawal dari sebuah tradisi pemujaan terhadap dewi kesuburan yang dilakukan oleh sebuah sekte agama di India Selatan. Sekte itu memuja dewi kesuburan dengan upacara unik yang diselenggarakan di kuil-kuil. Dalam upacara itu, mereka mendatangkan perempuan-perempuan ke kuil. Dan di sana para pendeta dan para perempuan berpesta, menari, menyanyi, dan seterusnya. Karena pada masa lalu pengaruh India sangat kuat, tradisi budaya itu menjalar sampai ke Jawa. Tinggal Kenangan Saat ini tayub sudah jarang dipentaskan. Hanya sisa-sisanya yang masih ditemukan di balik hutan-hutan jati daerah pinggiran Blora. Di Banyumas, lengger lebih sering hadir tanpa tayuban. Ngibing di Jawa Barat atau tari gandrung di Banyuwangi juga hanya tersisa sedikit di kampung-kampung. Kehadiran kesenian modern yang menjadi bagian budaya global telah mengusir tayub jauh ke wilayah pinggiran. Berbagai kesenian modern yang gemerlap dan meriah serta didukung oleh kekuatan dan kepentingan pemodal menggeruduk rumah para petani. Ruang berkesenian para petani tempat tayub ada di dalamnya telah direbut. Dan sebagai konsekuensi logisnya, para petani tak bisa lagi menjadi pelaku kesenian. Mereka hanya bisa menjadi penonton berbagai kesenian baru yang masih asing tapi membelenggu dengan kemasannya yang gebyar-gebyar. Saat-saat indah ketika petani ikut menjadi pelaku seni—dan tayublah yang paling bisa mewakili mereka—tinggal menjadi kenangan. Namun tidaklah jujur jika dikatakan kesenian modernlah satu-satunya penyebab terpinggirkannya seni tayub. Sebab, sebelum seni modern hadir, seni tayub telah tererosi oleh perubahan-perubahan yang terjadi di tengah masyarakat petani. Perubahan itu terasa terutama sejak ada kebangkitan untuk menjalankan syariah agama, yang menyebabkan penebalan garis batas antara kaum santri dan kaum abangan. Dalam pemisahan ini, budaya tayub hanya mendapat tempat di kalangan abangan, sementara kelompok santri, yang jumlahnya kian mengembang, mengharamkannya. Dengan demikian, ranah pertayuban menyempit dan terus menyempit. Padahal, pada masa sebelumnya, seorang wali seperti Sunan Kalijaga dalam penyebaran agamanya tidak meminggirkan seni tayub. Bahkan ada cerita sang Sunan ikut menari tayub meskipun bersembunyi di balik topeng. Masih sebelum kesenian modern tiba, seni tayub juga sudah mengalami pemiskinan, kali ini oleh kepentingan politik orang komunis. Orang-orang komunis secara cerdik mengklaim ronggeng atau lengger sebagai kesenian rakyat, sehingga kelompok-kelompok kesenian ini harus masuk Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). Di bawah payung Lekra, pentas ronggeng dilarang menyelenggarakan tayub karena dikatakan mirip dansa-dansi kaum kapitalis dan bisa melemahkan semangat progresif revolusioner. Bila mereka membolehkan tayub, tujuannya adalah pelecehan terhadap lawan politik, yakni mereka yang menganggap kesenian ini sebagai tradisi yang diharamkan. Hampir di seluruh Jawa seni tayub bisa dikatakan nyaris punah setelah geger tahun 1965. Karena dianggap menjadi anggota Lekra, banyak seniman tayub, baik penari maupun penabuhnya, ditahan. Tayub seakan menanggung dosa dan harus dihukum. Karena hukuman itu, seni tayub mengalami masa mati suri cukup lama. Dan ketika mampu sedikit bersemi kembali pada tahun 1970-an, seni tayub seakan sudah kehilangan geregetnya. Masa kejayaan tayub rupanya sudah lewat. Maka, meski banyak upaya dilakukan untuk menghidupkannya kembali, seni tayub tak kuasa bangkit dan tetap terengah-engah di pinggiran. Memang beberapa daerah telah berupaya agar seni tayub hadir kembali dan dijadikan dagangan wisata. Maka kesenian itu muncul di layar televisi dengan seorang pejabat atau tokoh masyarakat ikut bertayub. Sekolah Menengah Karawitan Indonesia di Kota Banyumas juga mengajarkan tari lengger yang dimodifikasi menjadi gambyong banyumasan. Juga ada kreasi tayubnya. Namun, agaknya benar, sungguh sia-sia memutar jarum jam ke belakang karena jarum jam memang tak jalan mundur. Tayub yang pada masa lalu mampu mewadahi gairah seni para petani dan sekaligus punya bobot sakral itu agaknya sudah mendekati akhir masa edarnya. Hal ini tentu menyedihkan. Namun lebih menyedihkan bila ternyata berakhirnya masa edar tayub menjadi tanda hilang pula ruang bagi petani untuk ikut menjadi pelaku seni. Ahmad Tohari Pengarang novel "Ronggeng Dukuh Paruk", tinggal di Banyumas, Jawa Tengah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus