DALAM kemasan kaca serat, gambar-gambar yang terbuat dari tinta di kertas sejengkalan tangan itu menegaskan wujudnya. Di situ terlihat: garis-garis tipis berlalu-lalang, meluncur ke kiri ke kanan, meliuk-liuk dan menyusur ke bawah, untuk kemudian berhenti di sudut. Di sana tertatap: garis-garis amat halus bergerak perlahan bagai benang layangan yang disapa angin melantun. Ia bagai menuliskan ihwal yang tak terbaca, atau melukiskan sesuatu yang mustahil terlihat. Di situ tersimak: garis-garis yang hitam dan tegas mendadak bergetar, seismografik, berkelebat bagai puyuh, meluncur ke ujung bidang. Ia berhenti ketika membentur tepian garis lain yang tengah membentang. Itulah garis-garis Roedjito yang dipamerkan sebagai gambar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 20-30 Juni 2003.
Pameran yang diberi juluk Gelar Karya Roedjito itu segera melahirkan tanda tanya dan mungkin sesal bagi sementara orang: betapa sebentang tempat serta serentang kesempatan hanya diisi oleh "benang ruwet" yang membisikkan nihilisme serta menyesatkan mereka ke hutan rambut! Namun, dalam kesempatan yang sama, pameran itu juga segera menawarkan pemandangan yang menikmatkan serta panorama yang memerdekakan.
Menikmatkan, lantaran yang ditawarkan adalah konstelasi atau aransemen dari sebuah elemen seni rupa yang bernama garis. Sebuah perangkat pokok seni rupa superfleksibel, yang acap mengajak penikmat seni rupa dengan gampang memahami keindahan irama. Memerdekakan, karena segaris, seratus garis, atau sejuta garis itu oleh Roedjito dilepaskan dari beban konvensional yang selama ini disandangkan secara semena-mena oleh para perupa. Sehingga garis harus membatasi bidang, mencitrakan bentuk, berbicara tentang hal-hal tertentu. Dalam karya Roedjito, garis memang dipersilakan hadir sendiri sebagai garis, seperti kredo puisi Sutardji Calzoum Bachri yang membebaskan kata dari makna. Namun, sejauh-jauh pemerdekaan atas makna itu dilakukan, presentasi "himpunan rambut" tersebut tetap tertangkap sebagai bentuk catatan harian yang merekam perasaan-perasaan personal dan hadir interpretatif.
Pilihan Roedjito pada manifestasi abstrak ini mungkin agak mengherankan bagi banyak orang. Sebagai karya seorang seniman yang aktif menata panggung pementasan Rendra, Sardono W. Kusumo, Yulianti Parani, Putu Wijaya, Arifin C. Noer, sampai Tom Ibnur, "seharusnya" (dalam tanda petik) gambar-gambar Roedjito merekam aksi pentas yang berada di panggung-panggung ciptaannya itu. Seperti keterpesonaan perupa lain atas hal yang sama: Surono yang menggambar ketoprak, Srihadi yang membuat sketsa wayang wong, dan Yusuf Susilo Hartono yang merekam sendratari Gusmiati Suid sampai Teater Koma. Namun eksentrisitas Roedjito memang memilih beda. Peristiwa yang terjadi di panggung yang didirikannya bagai dianggap realitas artifisial, seperti tak pernah ada, semata-mata fana. Dunia abstrak semayam teka-teki itu pun muncul.
Roedjito, yang biasa dipanggil Mbah Djito, dilahirkan di Purworejo pada 1932. Seperti gambar-gambarnya yang abstrak, ia jenis manusia yang tak ingin terbentuk jadi apa-apa, jadi siapa-siapa. Karena itu, meski belajar melukis sejak 1956, ia tak pernah merasa bercita-cita menjadi seniman. Sehingga ia pun tak menolak masuk sekolah yang baginya ganjil, seperti Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia, 1954-1957. Di hari kemudian, sepulang dari belajar di East West Center, Hawaii, ia tersesat di komunitas seniman. Dan berkutatnya Roedjito di Taman Ismail Marzuki juga bukan karena niat yang dikristalkan. Bahkan suksesnya sebagai penata artistik panggung yang memboyong dirinya ke sekujur Amerika, Eropa, Jepang, dan Filipina juga disebutnya sebagai bagian dari perjalanan hidup yang tan kiniro atau tak terduga.
Itu lantarannya, janganlah terkejut bila pada suatu kali Roedjito memamerkan karya-karyanya yang nyata bentuk, dengan kompleksitas warna, dengan tema gemerlap panggung yang pernah digubahnya. Siapa tahu, siapa menduga. Ojo lali, dia kan Roedjito namanya.
Agus Dermawan T.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini