Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada suatu hari datanglah seorang pasien ke poliklinik akupunktur Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo di Jakarta Pusat. Dia mengaku merasa pening hampir setiap hari, dan meminta terapi tusuk jarum. Dokter poliklinik itu tak langsung memenuhi permintaannya. Mula-mula dia diperiksa untuk mengetahui penyebab sakitnya.
Diagnosis menunjukkan, pening pasien itu dipicu tekanan darah tak normal. Tusuk jarum atau akupunktur lalu diberikan, tapi penyebab awal pening ditangani secara medis. ”Kami beri obat. Akupunktur untuk meredakan nyerinya saja” kata Kepala Departemen Akupunktur RSCM Dr Dharma Kumara Widya kepada Tempo.
Dharma memimpin Departemen Akupunktur RSCM sejak 2004. Dan dia amat tegas mengawal praktek akupunktur di rumah sakit ini agar tidak sekadar tusuk jarum lalu selesai. Dokter-dokter yang berpraktek akupunktur di RSCM adalah spesialis yang telah menunaikan studi akupunktur selama tiga tahun. Saat ini ada tujuh dokter spesialis. ”Sebagai dokter, prinsip medis harus kami kedepankan,” Dharma menjelaskan.
Dia mencontohkan penanganan pasien lain dengan keluhan nyeri punggung parah. Awalnya pasien didiagnosis, lalu di-roentgen. Hasilnya? Rasa nyeri pasien ternyata hanya dipicu oleh otot yang tegang. Maka penanganannya pun dengan tusuk jarum saja, untuk mengendurkan ketegangan. ”Kalau di luar kompetensi akupunktur, harus ada tindakan operasi,” kata Dharma.
Akupunktur yang diterapkan di RSCM adalah akupunktur medis yang sinergis dengan metode pengobatan konvensional—dan bukan tusuk jarum tradisional. Istilah akupunktur medis merujuk pada metode tusuk jarum berbasis prinsip medis. Juga, berdasarkan temuan yang bisa dipertanggungjawabkan (evidence based). ”Bukan yang berdasarkan yin-yang, unsur kayu, api, dan sebagainya, tapi yang benar-benar evidence based,” katanya.
Dharma mulai memperkenalkan praktek akupunktur di RSCM sejak 1980-an. Menurut dia, sebagian dokter ketika itu belum memahami metode akupunktur. Alhasil, meski mereka tak menentang, sebagian koleganya tidak bersimpati. Para pasien pun masih kerap bertanya, ”Apakah terapi ini seperti suntik? Apa ada obat di jarumnya?” Dharma menirukan pertanyaan mereka.
Akupunktur dikenal sejak ribuan tahun lalu sebagai bagian dari pengobatan Cina tradisional. Berasal dari kata acus yang berarti jarum dan punktura, penusukan. Metodenya, menusuk titik-titik di permukaan tubuh untuk mengobati penyakit maupun meningkatkan kondisi kesehatan.
Dharma lulus dari Kedokteran Universitas Indonesia pada 1976, lalu mengambil spesialisasi akupunktur di RSCM pada 1983. Sebelumnya, dia bertugas di Serang, Banten. ”Saya ingin mencari metode aman yang mendukung kedokteran konvensional,” Dharma memberikan alasan. Ketertarikannya juga dipicu aspek keamanan: terapi ini praktis tanpa efek samping.
Tapi dia mengakui, seperti halnya semua metode pengobatan, akupunktur pun tetap ada risikonya. ”Kalau ditusuk di titik berbahaya, ya berisiko, makanya harus tahu soal medis,” ujarnya. Hal ini betul-betul dia tekankan pada para dokter yang mengambil spesialisasi akupunktur.
Akupunktur masuk ke Indonesia pada 1963, setelah Presiden Soekarno menginstruksikan pengembangan terapi ini. RSCM kemudian menjadi proyek percontohan dan terus berkembang, hingga menjadi departemen medik seperti saat ini. Mulai 1976, Departemen Kesehatan mengirimkan dokter dari instansi pemerintah dan swasta untuk mengikuti pendidikan akupunktur di Rumah Sakit Cipto.
Dharma menyimpan angan-angan lebih jauh tentang penerapan terapi akupunktur di Indonesia. Misalnya membantu proses bayi tabung atau rehabilitasi kecanduan narkoba. Cita-cita itu bukan tanpa alasan. Kata Dharma, ”Di Amerika Serikat sudah ada klinik yang memberikan tusukan pereda sakaw.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo