Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pukul empat sore, 31 Mei 1984 itu, mantan wakil presiden Adam Malik datang berobat ke Jalan Bima 76, Bandung, tempat praktek Dokter Gunawan Simon. "Kondisinya agak parah karena kanker lever," kata Gunawan, dokter yang waktu itu menyandang predikat "terkun", dokter dukun.
Tiga ajudan dan menantu Adam mengiringinya ke ruang periksa seluas 2,5 x 3 meter persegi itu. Baru saja berobat di London lima hari sebelumnya, kini Adam berbincang sampai larut malam di ruang praktek dokter umum lulusan Universitas Padjadjaran tahun 1972 itu. "Dia tahu banyak soal medis dan penyakitnya, hanya minta penyelesaiannya," ujarnya. Dan ketika sang dokter menawarkan metode terapi alternatif, Adam Malik pun menyambut setuju.
Malam itu, ada antrean panjang pasien di ruang tunggu dr Simon. Tapi tak ada yang tahu bahwa tokoh nasional yang sering dipanggil si Bung ini berada di bilik periksa sang dokter; tidak juga pers. Dua kali mengunjungi tempat itu, kondisi Adam membaik.
Keadaan ini bertahan sampai dua setengah bulan. Bahkan, pada Agustus 1984, mantan Menteri Luar Negeri ini sempat mengunjungi Hong Kong dan Tokyo. "Bisa jalan-jalan. Sebelumnya (kondisinya) parah, enggak bisa turun dari tempat tidur," tutur Gunawan. Bersama dokter pribadinya, Gunawan ikut mendampingi Adam Malik. Sang pasien terlihat sehat dan mau makan. Di Tokyo, di depan pers, Adam Malik sempat memuji racikan Gunawan.
Pada 5 September 1984 pagi, sesuatu yang tak terduga menimpa Adam Malik. Menurut keluarganya, begitu bangun tidur Adam langsung mengalami sesak napas, lalu tak sadar lagi. Hari itu, pukul delapan pagi Adam Malik, 67 tahun, meninggal. "Kena serangan jantung," ujar Gunawan. Kejadian itu, menurut Gunawan, bisa menimpa siapa saja, termasuk yang tak punya riwayat sakit jantung seperti Adam Malik.
Dalam tempo singkat, Gunawan yang namanya sempat dipuji tinggi-tinggi itu menjadi sasaran kecaman. Kalangan dokter dan pemerintah mempertanyakan racikan yang diberikan kepada Adam. Statusnya sebagai dokter umum (baca: bukan ahli kanker, bukan spesialis) juga tak luput dari kritik tajam.
Pada Februari 1985, Ikatan Dokter Indonesia Cabang Bandung di Rumah Sakit Hasan Sadikin menyidangkannya. Gunawan dinilai bersalah karena memberikan langsung obat kepada pasien, dan ia tak bisa menjelaskan secara ilmiah obat yang telah ia berikan kepada Adam Malik.
Puncaknya, Menteri Kesehatan saat itu, Soewardjono Soerjaningrat, atas rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia, mencabut izin praktek Gunawan. Dari hasil penyelidikannya, Laboratorium Farmasi Institut Teknologi Bandung tak menemukan formula baru atau bahan obat tradisional dalam obat-obatan yang dipakai Gunawan. Sebaliknya, lembaga itu menjumpai kandungan opium, sitostatika (pencegah pembelahan sel kanker), preparat kortikosteroid (obat yang memiliki sejumlah khasiat untuk beberapa penyakit), antibiotik, dan beberapa obat lain yang cukup dikenal.
Ia hanya memakai kembali obat-obatan yang bisa dibeli di apotek, dan meraciknya sendiri dengan komposisi yang tidak konvensional. Dan, "Kalau (opium) ada di sini, pasti saya sudah digerebek polisi," katanya.
Sejak izin prakteknya dicabut pada 1985, Gunawan menurunkan plang dokter di depan rumah. Walaupun begitu, pasien lamanya tetap mengalir datang-kendati ia memperingatkan pasiennya bahwa izinnya telah dicabut. "Saya tak bisa menolak. Orang saja datang ke dukun enggak apa-apa. Kan, (menerima pasien) itu hak asasi saya."
Senin pekan lalu, saat Tempo berkunjung ke kediamannya yang juga merupakan tempat praktek anaknya di Bandung, sepasang suami-istri keluar dari ruang praktek. "Itu tamu jemaat saya di gereja," kata dokter yang kini aktivis Gereja Methodist Indonesia Bandung itu. Ya, Gunawan yang tak muda lagi itu-usianya kini 66 tahun-masih buka praktek, meski tak seaktif dulu. Apalagi sejak ia terpeleset jatuh di kamar mandi dan lehernya dioperasi empat tahun lalu.
Kini uban sudah mendominasi rambut di kepalanya, juga berewok putih pada kedua pipinya. Gunawan Simon jauh berbeda dengan penampilannya pada foto setengah badan dalam bingkai oval di atas meja di ruang kerjanya. Seorang lelaki berambut hitam dengan berewok lebat tersenyum menghadap kamera. Di sebelahnya berdiri tokoh yang sangat terkenal, tampak menahan sakit. Ia wakil presiden 1978-1983, Adam Malik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo