Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP pukul 19.00, Muhammad Athala Fawaztaqie duduk manis di depan pesawat televisi. Murid taman kanak-kanak itu selalu menunggu film animasi Upin-Ipin. ”Kalau dipindah ke acara lain, dia akan menangis,” kata Naning, ibu anak itu, Rabu pekan lalu.
Adalah stasiun televisi TPI yang me nayangkan cerita Upin-Ipin dan ka wan-kawan. Selama tiga puluh menit, tokoh anak kembar asal Malaysia itu meng hiasi layar kaca. Serial itu sudah diputar berulang-ulang tapi minat anak-anak menonton tetap tinggi. ”Meskipun ceritanya itu-itu saja, anak saya selalu nonton,” ujar warga di Peru mahan Sukun Pondok Indah, Malang, Jawa Timur, itu.
Sekretaris Perusahaan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia Wijaya Kusuma Subroto mengakui program acara di TPI lebih banyak ditujukan untuk anak-anak dan wanita. ”Kami menggarap pasar menengah ke bawah,” kata Wijaya Kusuma kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Selain menayangkan Upin-Ipin, stasiun televisi yang bermarkas di kawasan Taman Mini, Jakarta Timur, ini memiliki beberapa program unggulan untuk anak-anak. Misalnya film animasi Animalia yang diputar setelah Upin-Ipin, serta film kartun Tom and Jerry dan Bernard Bear.
Wijaya mengakui TPI sekarang jauh berbeda dibandingkan dengan ketika pertama kali siaran pada 1 Januari 1991. Mulanya, televisi yang dibangun Siti Hardijanti Rukmana itu berfokus me nyuguhkan program pendidikan. Mbak Tutut, panggilan putri sulung mantan presiden Soeharto, menargetkan acara pendidikan mendapat porsi terbesar, sekitar 33,2 persen. Disusul hiburan dan iklan. ”Iklan dan hiburan pun bersifat mendidik,” kata Siti, seperti dikutip majalah Tempo edisi 26 Januari 1991.
Pelajaran untuk siswa sekolah dasar hingga perguruan tinggi muncul seti ap pagi. Pelajaran yang ditayangkan anta ra lain matematika, fisika, biologi, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Paket siaran pendidikan itu disiapkan oleh Pusat Teknologi Komunikasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sekarang acara pelajaran formal sudah tidak ada bekasnya. Wijaya mengakui acara seperti itu sudah digusur dan diganti dengan pendidikan nonformal. ”Upin-Ipin itu kan juga mengajarkan pendidikan pada anak-anak, misalnya mengajak salat atau puasa,” ujarnya.
Menurut Wijaya, acara pendidikan itu mulai hilang pada 1997, ketika TPI berubah menjadi televisi swasta. Dengan status televisi swasta, kata Wijaya, TPI harus bersaing dengan televisi lain untuk memperoleh iklan. ”Pendidikan porsinya sudah tidak banyak, sekarang acara komersial lebih diutamakan,” katanya.
Wijaya menyodorkan data program TPI tahun lalu. Porsi terbesar diisi acara hiburan dan musik, hingga 48,2 persen. Tempat kedua, iklan, 20 persen. Disusul pendidikan dan kebudayaan 10,1 persen. ”Yang pendidikan sekitar 3 persen saja,” kata dia. Adapun berita 9,6 persen, agama 3,9 persen, dan olahraga 3,5 persen.
Musik dangdut hampir mendominasi acara musik di TPI. ”Dangdut itu identik dengan TPI,” ujar Wijaya. Televisi ini sukses menggelar Kontes Dangdut TPI, ajang pencarian bakat penyanyi dangdut terbesar di Indonesia. Acara dangdut lain yang disiarkan secara langsung dari studio TPI adalah Viva Dangdut Mania dan Dangdut Never Dies.
Tak aneh, kata Wijaya, TPI berdasarkan riset dipersepsikan sebagai televisi dangdut. Hasil survei TPI bekerja sama dengan Markplus juga menyebut masyarakat menganggap TPI sudah ke tinggalan zaman. ”Kami ingin mengubah image jadul itu,” kata Wijaya. Tahun ini, kata dia, perusahaan akan mengganti logo dan nama agar lebih banyak menggaet pengiklan. ”Tapi musik dangdut tetap sebagai ciri khas.”
Siti Hardijanti mengantongi izin penyiaran untuk TPI dari Menteri Penerangan pada 1 Agustus 1990. Empat bulan kemudian mereka sudah mulai siaran dengan menumpang di TVRI. Waktu itu Soeharto, sang ayah sekaligus presiden, meresmikan beropera sinya TPI di Studio 12 TVRI, Senayan. ”Ketika baru berdiri masih disokong pemerintah,” kata Wijaya.
Pada awal siaran, kata Wijaya, TPI hanya muncul empat jam tiap hari dimulai pukul 06.00. Acara dibuka dengan berita Selamat Pagi Indonesia. Program pendidikan disiarkan selama dua jam sejak pukul 08.00. Mulai 8 Juni 1991, tayangannya diperpanjang menjadi enam setengah jam. TPI diperkirakan bisa menjangkau 6,4 juta pemilik televisi di Indonesia atau ditonton 30 juta pasang mata. Sasarannya siswa sekolah dan ibu rumah tangga.
Siti Hardijanti mengatakan TVRI tidak menggratiskan fasilitas yang dipakai TPI tersebut. TPI harus menye rahkan 20 persen pendapatannya dari iklan untuk TVRI. ”Kami memakai sarana TVRI itu tidak gratis,” kata putri sulung Soeharto ini, sebagaimana dikutip majalah Tempo edisi 26 Januari 1991.
Penyisihan kontribusi iklan itulah yang hingga kini masih menimbulkan persoalan. Direktur Keuangan TVRI Antar Sianturi mengatakan TPI belum melunasi kewajiban membayar kontribusi iklan. ”Nilainya sekitar Rp 11 miliar,” kata Antar, Jumat pekan lalu.
Perjanjian kontribusi iklan itu bersumber dari Keputusan Menteri Penerangan pada 1990, yang menetapkan televisi swasta harus menyisihkan 12,5 persen pendapatan iklannya untuk Yayasan TVRI. Kebijakan itu berlaku 20 tahun untuk lima televisi swasta: TPI, RCTI, SCTV, ANTV, dan Indosiar.
Kebijakan ini berakhir pada Januari 2000, setelah TVRI diperbolehkan menayangkan iklan. Sewaktu perjanjian ini berakhir, lima stasiun televisi swasta itu masih memiliki tunggakan utang ke TVRI. ”Tapi RCTI dan SCTV sudah melunasi,” kata Antar.
Menurut Antar, pada 2007, TVRI menggugat TPI ke pengadilan agar membayar uang kontribusi iklan tersebut. Namun pengadilan hanya menga bulkan sebagian gugatan TVRI. Mengutip putusan pengadilan, kata Antar, TVRI hanya berhak memperoleh pembayaran kontribusi iklan dari TPI Rp 1,9 miliar.
Antar mengatakan TPI sebenarnya sudah mau membayar utang setelah putusan itu diketuk majelis hakim. Namun TVRI tidak mau karena jumlahnya jauh dari perhitungan. Badan Peng awasan Keuangan dan Pembangunan, yang mengaudit keuangan TVRI, menyebut utang TPI mencapai Rp 11 miliar. TVRI memilih meminta banding atas putusan tersebut. Namun majelis hakim banding menolak permohonan tersebut. Kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung pada 23 Juni 2008 juga ditolak.
Wijaya mengakui ada sengketa kontribusi iklan yang dibawa ke meja hijau. ”Sempat jadi masalah dibawa ke pengadilan, sudah kasasi. Sekarang sudah selesai,” ujarnya.
TPI memang tidak pernah sepi dari masalah. PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia pernah dipailitkan majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 14 Oktober 2009. Putusan pailit itu dibatalkan Mahkamah Agung. Baru-baru ini, pemegang saham bertempur di pengadilan memperebutkan kepemilikan saham. Sepertinya, TPI harus ”jatuh-bangun”—seperti judul lagu dangdut— di tengah persaingan televisi swasta di Indonesia.
Sutarto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo