Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERSETERUAN Presiden Grup Media Nusantara Citra Hary Tanoesoedibjo, 45 tahun, dan Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut, 61 tahun, memanas. Lewat berbagai iklan di media, termasuk running text di tiga stasiun televisi yang kini di bawah kendali Hary, Global TV, Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), dan Rajawali Citra Televisi Indonesia, pihak Hary berkukuh merekalah yang paling berhak atas kepemilikan TPI.
Hary menegaskan kepemilikan sahamnya di TPI berjalan sesuai dengan prosedur dan kesepakatan yang telah ia tanda tangani dengan Siti Hardijanti Rukmana. Master bisnis lulusan Carlton University, Kanada, ini juga menegaskan tak akan menjual 75 persen saham yang dibelinya dari Tutut. Kamis dua pekan lalu, didampingi sejumlah petinggi TPI, Hary datang ke kantor Tempo. Berikut ini wawancara Tempo dengan Hary.
Bagaimana sebenarnya perjanjian awal Anda dengan Tutut?
Pada 2002 kami dari PT Berkah Karya Bersama diminta membantu masalah keuangan yang dihadapi Mbak Tutut yang waktu itu sedang terlilit utang, baik utang pribadi maupun perusahaan. Kami memutuskan membantu, dengan limit US$ 55 juta. Kompensasinya, kami diberi 75 persen saham di TPI.
Selain US$ 55 juta itu, dalam kesepakatan tersebut apakah diatur kewajiban Anda yang lain?
Tidak ada. Komitmen hanya sampai US$ 55 juta. Apabila (nilai) penyelesaiannya di atas itu, itu adalah tanggung jawab pribadi Mbak Tutut.
Tutut bermaksud mengambil kembali 75 persen saham yang sekarang Anda kuasai?
Ya, setelah TPI membaik, Mbak Tutut meminta TPI dikembalikan. Mbak Tutut mengirim surat tertanggal 20 Desember 2004. Isinya, karena kondisi keuangannya sudah membaik, bermaksud membayar kembali biaya yang dikeluarkan PT Berkah guna menyelesaikan utang-utang TPI dan Citra Group tersebut.
Apa yang membuat Anda berkeberatan?
Kami di jajaran direksi terus berkomunikasi, sampai pada 7 Maret 2005 di rapat board Bimantara disepakati menggelar rapat umum pemegang saham (RUPS) dan memanggil Mbak Tutut. Kami memberikan tiga alternatif kepada Mbak Tutut. Pertama, kami jual saham dengan harga Rp 630 miliar. Kedua, kami beli saham Mbak Tutut di TPI yang 25 persen senilai Rp 210 miliar. Atau kembali ke perjanjian awal, 75 : 25 persen.
Keputusan itu langsung dilaporkan ke Tutut?
Ya, keesokan harinya, 8 Maret 2005, saya bersama rekan-rekan Grup Bimantara melapor ke Mbak Tutut di kediamannya. Kami minta Mbak Tutut mengambil sikap sampai 17 Maret, satu hari sebelum digelar RUPS pada 18 Maret. Namun, sampai RUPS digelar, kami tidak menerima tanggapan Mbak Tutut. RUPS pun memutuskan seperti semula, yakni tetap 75 : 25 persen, se suai dengan perjanjian awal. Beberapa hari setelah RUPS, kami menerima surat dari Mbak Tutut yang intinya dia berminat membeli saham kami senilai Rp 630 miliar.
Anda tidak menyetujui permintaan Tutut itu?
Sulit bagi kami. TPI ini kan bagian dari perusahaan publik. Keputusannya, sesuai dengan RUPS 18 Maret itu, tidak akan kami jual. Kalau kami mau menjual, harus mengubah RUPS.
Tutut juga menggelar RUPS sehari sebelumnya, Anda tidak mengetahui?
Bisa saya katakan, kalau itu ada, itu tidak sah dan ilegal.
Tapi kemudian Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia membatalkan RUPS yang Anda gelar, apa tanggapan Anda?
Itu sepihak. Seharusnya Direktorat Jenderal Perdata tidak menge luarkan surat seperti itu sebelum ada penjelasan dari kami. Kalaupun sampai ada pembatalan, berarti terjadi suatu penipuan dan penggelapan oleh Mbak Tutut. Kami telah melaksanakan kewajiban kami, melunasi semua utang Mbak Tutut. Hak kami mendapat 75 persen saham di TPI.
Anda yakin dalam posisi yang kuat?
Sangat kuat, dan apa yang saya sampaikan ini bukan cerita. Ada datanya semua. Ada panggilan RUPS-nya, ada surat Mbak Tutut, dan ada surat kuasanya. Semua lengkap. Ada juga dokumen notaris untuk RUPS.
Selama ini yang sebenarnya tidak ingin menyelesaikan masalah itu secara baik-baik Anda atau Tutut?
Sejak RUPS 2005 sampai detik ini, saya tidak bisa bertemu dengan Mbak Tutut. Meskipun telah saya upayakan berkali-kali, baik secara langsung, lewat SMS, maupun melalui orang.
Kenapa kemudian Anda membawa kasus ini ke polisi?
Banyak gerakan yang membahayakan TPI, antara lain adanya percobaan untuk mengubah specimen dari reke ning bank. Ini dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan membawa surat dari Kementerian Hukum dan HAM yang ditandatangani oleh pelaksana hariannya, Rieke Amarita. Rekening TPI sekarang diblokir. Karena itu, TPI akan mensomasi bank tersebut. Kenapa hanya gara-gara selembar surat itu, rekening diblokir?
Kami mendapat informasi, salah satu yang membuat Tutut marah kepada Anda adalah Anda akan menjual aset tanah TPI di Taman Mini Indonesia Indah?
Begini. Ini dari rapat direksi. TPI itu kan tanahnya luas sekali. Banyak yang nganggur, kenapa tidak dijual saja, untuk membangun studio yang besar atau melengkapi peralatan. Tapi, karena keputusan menjual itu tidak bulat, tidak dijalankan. Ini pembusukan, seakan-akan dikesankan kami mau jual tanah.
Apa harapan Anda sekarang?
Intinya, kami harus bertemu dengan Mbak Tutut. Kalau setiap hari hanya menghadirkan pengacara ataupun orang ketiga, tidak akan selesai.
Anda akan terus melawan dalam perkara ini?
Tentu kami akan bertahan.
Bambang Hary Iswanto Tanoesoedibjo
NAMANYA muncul ketika konglomerat lain bangkrut dihajar krisis ekonomi 1997. Lewat PT Bhakti Investama Tbk., Hary mengakuisisi banyak perusahaan yang kolaps atau membeli aset-aset perusahaan yang dijual murah di Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Bentoel, Astra, Salim Oleochemical, Indomaret, dan AGIS (agen Sony) adalah sebagian yang dibeli Hary.
Hary mendirikan Bhakti pada usia 26 dengan modal Rp 200 juta, sepulang menggondol bachelor of commerce dari Carleton University dan master business administration dari Ottawa University. Kedua universitas itu ada di Kanada.
Hoki bisnis laki-laki kelahiran Surabaya, 26 September 1965, ini kian moncer setelah bergabung dengan Bimantara Group milik Bambang Trihatmodjo. Tahun lalu, majalah Forbes memasukkan namanya ke daftar ”40 Orang Terkaya Indonesia” dengan jumlah harta mencapai Rp 4,1 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo