Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rumah Aman Teungku Meulaboh

Umi Hanisah adalah perempuan pertama Aceh yang mendirikan dan memimpin pesantren. Di dayah milik Hanisah, anak-anak korban kekerasan seksual, kekerasan rumah tangga, hingga konflik bersenjata menemukan perlindungan.

25 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Hanisah di Dayah Diniyah Darussalam, Meulaboh, Aceh Barat, NAD, 16 Juli 2020.TEMPO/Iil Azkar Modza

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Dayah Diniyah Darussalam adalah pesantren pertama di Aceh yang menjadi rumah aman untuk penyintas kekerasan.

  • Pada saat konflik Aceh merdeka memuncak pada 2003, anak-anak GAM dan TNI belajar bersama di bawah bimbingan Hanisah.

  • Lembaga internasional Ashoka memberi penghargaan atas pengabdian dan kerja keras Hanisah dalam membangun kesadaran persamaan hak perempuan di Aceh.

SATU dekade berlalu, tapi seruan penuh rasa berang itu masih dapat diputar ulang oleh Hanisah. Suatu malam pada 2010, sejumlah warga Desa Meunasah Mancang, Kecamatan Kawai, Kabupaten Aceh Barat, memaksa Hanisah meninggalkan dayah (pesantren) yang ia bangun pada 10 Oktober 2000. “Umi turun sekarang, turun! Anak itu juga. Dia mengandung anak hasil zina!” begitu warga desa meneriaki perempuan yang biasa dipanggil Umi itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Dayah Diniyah Darussalam yang dia pimpin, Hanisah kala itu sedang menampung anak perempuan 13 tahun dalam keadaan hamil. Sebagian warga menganggap tindakan itu aib. Padahal anak itu adalah korban pemerkosaan ayahnya sendiri. Anak yang berasal dari salah satu desa di Nagan Raya itu dititipkan sementara oleh Yayasan Kelompok Kerja Sosial Perkotaan Aceh Barat di Dayah Diniyah Darussalam. Trauma anak itu belum lagi sembuh. Namun sejumlah oknum gelap mata tak mau terima sekalipun Umi menjelaskan bahwa dia telah mengantongi izin dari perangkat desa untuk menerima penyintas anak itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak mau menyulut api lebih besar, Hanisah mengalah. Dia meninggalkan pesantren yang dibangunnya dari nol itu. Sebanyak 35 santri mengikuti langkahnya sambil menangis. Di antara para santri itu adalah anak korban kekerasan dalam rumah tangga, korban kekerasan seksual, penyintas konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Tentara Nasional Indonesia, serta korban tsunami. “Kami mau ikut ke mana pun Umi pergi,” ujar Muali, santri yang menyaksikan peristiwa itu dan masih belajar bersama Hanisah hingga kini, kepada Tempo yang menemuinya pada pertengahan Juli lalu.

Di desa yang bersebelahan dengan lokasi pesantren lama, seorang mantan anggota GAM yang pernah menjadi santri di Dayah Diniyah Darussalam menawarkan penampungan untuk Hanisah, staf pengajar, dan para murid. Mereka pun tinggal di Kantor Cabang Partai Aceh, Desa Meunasah Buloh, Kecamatan Kawai XVI, Meulaboh. Bangunan itu berdinding kayu dengan atap daun rumbia seluas 45 meter persegi. Selama tiga bulan pertama, saat hujan mengguyur, air menerobos celah atap dan membuat mereka kuyup. Situasi yang jauh sekali dibanding dayah sebelumnya yang berdiri di atas tanah wakaf seluas 2 hektare dan sudah dilengkapi beragam fasilitas. “Masa-masa itu membuat hati saya hancur,” ucap Hanisah.

Barak itu pada akhirnya diwakafkan untuk Hanisah. Di lokasi tersebut, Hanisah dan para santrinya pelan-pelan membangun dayah baru. Dengan bantuan donatur, sebuah bangunan permanen didirikan persis di sebelah barak kayu. Dinamai sama, Dayah Diniyah Darussalam di Desa Meunasah Buloh itu bertahan hingga kini, kendati belum dapat menjadi sebesar pesantren terdahulu yang pernah menampung hingga seratus santri.

Peristiwa pada 2010 itu bukan pertama kali Hanisah menerima korban kekerasan seksual sebagai santri. Bekerja sama dengan Yayasan Kelompok Kerja Sosial Perkotaan sejak 2005, Hanisah menyediakan pesantrennya menjadi rumah aman bagi anak penyintas kekerasan rumah tangga dan seksual. Dayah juga membuka pintu bagi anak yatim-piatu dan telantar. Di samping mengajarkan ilmu agama, pesantren itu menyediakan program penyembuhan trauma bagi para penyintas.

Setelah pemulihan trauma berjalan, Hanisah—yang juga sering disapa Teungku oleh santrinya—mengenalkan berbagai keterampilan hidup kepada santrinya, seperti membuat batik khas Aceh, berkebun, dan beternak. Di lokasi pesantren yang lama, terdapat sawah luas yang dapat dikelola santri. Hanisah setiap hari juga turun langsung untuk membajak sawah dan menanam padi. Di lokasi yang baru, lahan bercocok tanam terletak sekitar 1 kilometer jauhnya. Hasil mengolah lahan itu dapat dikantongi santri setelah digunakan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari di dayah.

Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh, Suraiya Kamaruzzaman, menyebutkan Hanisah adalah pemimpin dayah pertama di antara ribuan pesantren di seluruh Aceh yang bersedia memberikan perlindungan kepada anak dan perempuan korban. Saat Hanisah mulai melakukan inisiatif ini, bahkan pemerintah kabupaten dan kota ataupun provinsi belum mengalokasikan cukup anggaran untuk menyediakan rumah aman bagi korban kekerasan. “Gagasan Umi untuk menjadikan dayah sebagai tempat perlindungan baru perempuan dan anak korban kekerasan, terutama pascakonflik dan tsunami, merupakan sebuah terobosan berani,” tulis Suraiya dalam laporan tentang Umi Hanisah yang disusun untuk lembaga Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak-hak Perempuan Rahima. Suraiya dan Hanisah sama-sama alumnus pendidikan ulama perempuan yang digelar Rahima.

Saat konflik Aceh merdeka memuncak pada 2003, santri yang belajar di dayah ini lebih beragam. Anggota GAM dan anak-anak aparat TNI belajar bersama-sama di bawah bimbingan Hanisah. Sejumlah anggota GAM, termasuk yang sudah berusia dewasa, mendatangi pesantren Hanisah untuk mencari perlindungan. “Ada santri yang datang dengan luka tembak di kaki. Mereka bilang tak tahu harus lari ke mana lagi,” tutur Hanisah.

Santri dari latar belakang berbeda itu diperlakukan sama oleh Hanisah. Agar tak bentrok, dia melarang mereka mengungkap identitas politik masing-masing. Hanisah menanamkan kepada santri bahwa setelah memasuki pesantren, maka ayah dan ibu mereka hanyalah Hanisah. Nilai-nilai yang paling ditekankan saat mengajari santri-santri GAM dan keluarga TNI ini adalah akhlak Islam yang menjunjung perdamaian. “Tanpa memahami teori-teori conflict resolution ataupun konsep keberagaman secara lebih luas, Umi telah mengembangkan proses tersebut menggunakan nilai-nilai dasar dari ajaran Islam,” kata Suraiya.

Keteguhan Hanisah tertempa sedari kecil. Lahir di Gampong Peunia, Meulaboh, pada 3 Juli 1968, dia tak lagi tidur di rumah orang tuanya sejak usia 8 tahun. Hanisah memilih tidur di rumah guru mengaji untuk belajar agama.

Hanisah mengajarkan membaca Al Quran kepada para santri di Dayah Diniyah Darussalam, Meulaboh, Aceh Barat, NAD, 15 Juli 2020. TEMPO/Iil Azkar Mondza

Saat sekolah menengah pertama, Hanisah menemukan kecintaan kepada mengajar. Banyak teman sekelasnya yang ternyata belum pandai mengaji, bahkan belum menguasai tata cara ibadah dasar, seperti wudu dan salat. Setiap jam istirahat pukul 10, teman-temannya akan berkumpul dan minta diajari oleh Hanisah, murid satu-satunya yang menguasai kitab Masailal Muhtadin sejak di sekolah dasar.

Hanisah melanjutkan pendidikan tinggi di Jurusan Tarbiah Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh. Tamat kuliah, dia berkeliling ke Sumatera, Jawa, dan Bali untuk tur belajar. Dalam perjalanan itu, dia singgah di Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang, Sumatera Barat. Kunjungan ini yang memantapkan tekad Hanisah untuk membuka pesantren di kampungnya sendiri. Saat mimpi itu terwujud, Hanisah menjadi ulama perempuan pertama yang mendirikan dan memimpin pesantren di seluruh Aceh.

Sebagai perempuan yang memimpin pesantren, dia sering merasa langkahnya dijegal. Saat turun sumbangan untuk pembangunan pesantren dari donatur, dana itu dapat mendadak dialihkan ke pesantren lain yang dipimpin laki-laki. Begitu juga untuk urusan penerimaan murid. “Pernah ada panitia gampong yang mencegat murid-murid saat ingin daftar ke sini, lalu diarahkan ke pesantren lain. Saya ikhlas saja,” tutur Hanisah.

Perjuangan Hanisah mendapat pengakuan dari banyak pihak. Pemerintah Aceh Barat menjadikannya tokoh perlindungan perempuan dan anak. Pada 2010, dia dianugerahi Perempuan Aceh Award oleh Balai Syura Ureung Inong Aceh alias Gerakan Perempuan Aceh. Tiga tahun kemudian, lembaga internasional Ashoka memberinya penghargaan atas pengabdian dan kerja keras dalam membangun kesadaran persamaan hak perempuan di Aceh. Profil Umi Hanisah disertakan dalam booklet Ashoka yang berjudul A Special Power for Gender Equity bersama sejumlah penggerak perempuan terpilih dari Amerika Serikat, India, Cile, dan Italia. Tapi yang membuatnya paling bangga adalah saat berbicara tentang santri-santrinya: “Ada yang sudah buka pesantren sendiri, ada yang belajar ke Tunisia. Alhamdulillah....”

MOYANG KASIH DEWIMERDEKA, IIL ASKAR MONDZA (MEULABOH)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moyang Kasih Dewi Merdeka

Moyang Kasih Dewi Merdeka

Bergabung dengan Tempo pada 2014, ia mulai berfokus menulis ulasan seni dan sinema setahun kemudian. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ini pernah belajar tentang demokrasi dan pluralisme agama di Temple University, Philadelphia, pada 2013. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk belajar program master Social History of Art di University of Leeds, Inggris. Aktif di komunitas Indonesian Data Journalism Network.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus