Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ustazah Ratna Ulfatul Fuadiyah mengaplikasikan program infak produktif untuk mengeluarkan jemaahnya dari jeratan bank plecit.
Membina sembilan santri di rumahnya yang bertransformasi menjadi pusat belajar agama dengan menggratiskan seluruh fasilitas dan membiayai sekolah sebagian santri.
Mendirikan majelis taklim untuk perempuan yang menyandang status janda supaya bisa mandiri dan produktif.
DUA tahun lalu, Ratna Ulfatul Fuadiyah dihubungi oleh penagih utang yang acap wira-wiri di desanya, Banyuurip, Purworejo, Jawa Tengah. Bukan untuk menagih kredit, tapi memprotes. “Ibu mematikan kehidupan orang,” ujar perempuan 39 tahun ini ketika mengingat kalimat penagih utang itu pada pertengahan Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penagih utang tersebut berang karena pinjaman masyarakat Borokulon berkurang sejak Ratna membuka infak produktif di majelis taklimnya. Di sekitar Purworejo, Ratna populer sebagai ustazah yang membuka majelis taklim untuk anak-anak dan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak Ratna membuka infak, pinjaman masyarakat ke bank plecit atau rentenir berkurang. Setiap bulan, tiap anggota jemaah memberikan infak Rp 5.000. Sewaktu infak produktif awal dibentuk pada 2018, ada 30 orang yang menyetor. Siapa saja boleh meminjam sesuai dengan kebutuhan dan mengembalikan ke kas majelis tanpa bunga, tanpa biaya administrasi, bahkan nilai pengembalian per pekan selama setahun sesuai dengan kemampuan peminjam.
Syarat bisa meminjam uang majelis hanya dua: aktif di pengajian dalam tiga bulan terakhir dan bersedia terus ngaji selama masa pengembalian. Dengan begitu, kata Ratna, ia bisa memberikan pemahaman kepada para peminjam dalam mengelola keuangan keluarga dan menjalankan hidup sederhana seperti diajarkan Nabi Muhammad. Karena itu, tema pengajian Ratna bukan sekadar nasihat umum. “Saya mengutip dalil dengan bahasa sederhana, sesuai dengan konteks sehari-hari,” ucapnya.
Infak produktif majelis pengajian telah membantu Sri Poniyati, yang terjerat utang kepada rentenir sebesar Rp 3 juta. Perempuan 64 tahun ini mesti mengembalikan Rp 250 ribu per bulan. “Saya kapok meminjam ke plecit,” katanya. Sri tertolong oleh infak pengajian Ratna. Ia kini membuka warung dari modal meminjam ke majelis.
Saat ini dana yang dikelola majelis sebesar Rp 1,7 juta. Ada belasan anggota jemaah yang lepas dari jerat rentenir berkat pinjaman ini. Karena itu, popularitas Ratna sebagai penggerak majelis taklim meluas.
Menurut Ratna, berdakwah lebih afdal jika diiringi dengan memberikan solusi bagi problem sehari-hari jemaah. Ia lebih senang disebut penyuluh agama ketimbang ustazah. “Penyuluh agama itu agen perubahan,” ujarnya. “Tidak hanya berdakwah ilmu agama, tapi juga memberikan penyuluhan urusan lain.”
Status sebagai penyuluh ia sandang sejak 2015. Waktu itu, alumnus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, ini diterima sebagai penyuluh di Kementerian Agama dari jalur non-pegawai negeri. Honornya Rp 300 ribu sebulan.
Secara formal, Ratna berkantor di Kantor Urusan Agama Kecamatan Banyuurip. Tapi sesungguhnya ia sudah “berkantor” di rumahnya sejak membuka pengajian bersama suaminya, Taufiq Hidayat, yang menjadi dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Nahdlatul Ulama Purworejo, pada 2007.
Taufiq meminang Ratna setelah lulus kuliah di Yogya. Tinggal sebentar di rumahnya di Mlangi, Yogyakarta, Taufiq memboyong Ratna ke Purworejo karena bertugas di sana. Ide membuka majelis taklim di rumah muncul ketika pasangan ini baru pindah ke Borokulon. Mereka melihat penduduk desa terbata-bata membaca Al-Quran ketika tadarusan.
Keduanya berinisiatif mengajarkan membaca Al-Quran, tafsir, fikih, dan akhlak. Mereka berbagi tugas. Ratna mengisi materi untuk anak-anak, ibu-ibu, dan remaja perempuan. Taufiq mengajari jemaah laki-laki. Sejak itu, Taufiq menamai forum pengajian tersebut Majelis Taklim Wal Quran Nur Iman.
Karena berbagi peran itu, Taufiq melarang Ratna memberi pengajian di luar rumah, terutama untuk laki-laki dewasa. Namun pengajian di rumah kontrakan sempat diprotes tetangganya karena gaduh. Ratna sudah kenyang akan protes masyarakat dengan aktivitas pengajiannya.
Kelas IV sekolah dasar di Malang, Jawa Timur, Ratna sudah menjadi guru ngaji. Murid-muridnya adalah teman sepermainannya. Penduduk sekitar yang suka berjudi dan mabuk menggeruduk rumahnya dengan membawa senjata tajam karena ia dianggap mengganggu.
Pengumpulan sampah melalui bank sampah yang dilakukan di Balai Rukun Warga Perum Pepabri, di Purworejo, Jawa Tengah, 21 Juli 2020. TEMPO/Yovita Amalia
Baru pada 2014, Ratna dan Taufiq pindah ke rumah milik sendiri yang diapit sawah. Jauh dari tetangga membuat mereka tak mendapat protes karena suara ramai jemaah. Lambat-laun, anggota jemaah Taufiq makin banyak. Rumah itu menjelma menjadi pondok pesantren dengan dua santri yang dititipkan salah satu sekolah. Taufiq dan Ratna tak mengutip bayaran. “Jikapun ada yang mau nitip uang, seikhlasnya saja,” tutur Ratna.
Pada 2015, Ratna mulai berjualan busana muslim di rumah. Uang hasil jualan ia pakai untuk membiayai aktivitas majelis taklim dan kehidupan para santri, termasuk kebutuhan sekolah mereka. “Biar tidak mengganggu keuangan rumah tangga,” kata ibu tiga anak ini.
Pada Juni 2016, Taufiq meninggal karena leukemia pada usia 44 tahun. Ratna sendirian mengelola majelis taklim, dengan gaji suaminya yang tak seberapa ditambah tiga anak serta santri yang harus ia urus. Majelisnya juga sepi karena muncul gosip Ratna akan pulang ke kampungnya di Malang.
Untuk mengatasi kebutuhan sehari-hari, Ratna mengajak anak-anak dan santrinya bercocok tanam. Aneka sayuran, seperti bayam merah, terung, bayam hijau, dan kemangi, hingga jambu dan pisang tertata di halaman rumahnya. Sejumlah bibit ia jual, sementara sisanya dibiarkan tumbuh agar bisa dipanen jemaah. Kadang-kadang ada yang diberikan kepada tetangga.
Sedekah ini adalah awal program one bag one garbage (OBOG). Ratna meminta jemaahnya membawa sampah setiap datang mengaji. Sampah itu dipilah: yang organik dijadikan pupuk, sampah plastik dijual ke pengepul. Hasil penjualan untuk membiayai majelis taklim dan pesantren.
Ratna juga membuka usaha katering. “Di masa pandemi virus corona seperti sekarang, katering jadi tumpuan,” ujarnya. Kadang ia menggelar bazar bahan kebutuhan pokok dengan menggandeng para petani yang ada di sekitar rumahnya.
Ratna juga masih berbisnis baju muslim. Meski ia telah dikenal sebagai pedakwah, status sebagai janda mengundang cibiran. “Ada yang cemburu ketika saya berbisnis dengan suami mereka,” kata Ratna. Ia lalu mengumpulkan para janda dalam sebuah majelis taklim yang diberi nama Arrohmah pada November 2019.
Majelis ini ternyata lebih besar ketimbang Nur Iman karena anggotanya se-Purworejo. “Majelis ini buat ngudarasa sesama single parent supaya bisa saling menguatkan dan membantu,” ucap Ratna. Ia mengaplikasikan konsep infak produktif dan OBOG ke dalam majelis ini.
Pandemi membuat kegiatan Arrohmah berhenti. Apalagi muncul tuduhan yang menggosipkan anggota pengajian tak akan menikah karena merasa nyaman. “Mereka yang menuduh seperti itu tak paham bagaimana kami pusing memikirkan makan untuk anak-anak besok,” kata Ratna. Belum selesai urusan gosip, pondoknya ambruk disapu angin puting beliung.
Ratna tak mau menyerah. Ia terus berdakwah sambil memperbaiki rumahnya. Anggota jemaah makin bertambah sehingga infak juga meningkat hingga melebar ke delapan desa. Jaringan Ratna dengan petani yang mendapat infak dan terlibat dalam OBOG makin luas.
Kepala Bidang Penerangan Agama Islam dan Zakat Wakaf Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Tengah, Ahyani, menyebutkan cara dakwah Ratna mudah diterima masyarakat. “Ia tahu kapan harus memakai bahasa milenial untuk jemaah muda, memakai bahasa sehari-hari yang mudah dicerna untuk jemaah yang lebih senior,” tuturnya.
Kementerian Agama menobatkan Ratna sebagai penyuluh agama terbaik se-Jawa Tengah pada 2019.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo