Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cahaya Baru Kampung Santri

Najmatul Millah dan suaminya membangun pesantren yang dilengkapi fasilitas pendidikan formal di Jember, Jawa Timur. Melebarkan dakwah pemenuhan hak perempuan.

25 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Najmatul Millah di Pondok Pesantren Nurul Jadid Al Islami, Jember, 15 Juli 2020. Heru Putranto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pondok Pesantren Nurul Jadid Al-Islami di Kecamatan Sukowono, Jember, Jawa Timur memelopori pendirian sekolah formal di dalam pondok pesantren.

  • Najmatul Millah dan suaminya mendirikan sekolah di dalam pesantren karena banyak santri perempuan putus sekolah dan menikah dini.

  • Semula orangtua santri protes karena anak-anak mereka menolak pernikahan dini, sesepuh pesantren juga sempat menolak pengajaran matematika dan bahasa asing.

AZAN seolah-olah menjadi bel sekolah di kompleks Pondok Pesantren Nurul Jadid Al-Islami, Desa Sumberwringin, Kecamatan Sukowono, Jember, Jawa Timur. Seperti siang itu, Rabu, 15 Juli lalu, seruan salat baru selesai dikumandangkan ketika puluhan santri putri berseragam hijau berhamburan keluar dari ruang kelas. Mereka bergegas mengambil perangkat ibadah untuk menunaikan sembahyang zuhur berjemaah. “Mbak, tolong pakai maskernya!” kata Najmatul Millah kepada seorang santri putri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Najmatul adalah orang nomor satu di yayasan yang menaungi Nurul Jadid Al-Islami. Sekitar 200 santri yang tinggal di sini, sebagian besar perempuan, biasa memanggilnya Nyai. Seperti di lingkungan pesantren Jawa lain, sikap hormat para santri terhadap pemimpin pondok begitu terasa. Seperti siang itu, setiap murid menundukkan kepala ketika berpapasan dengan Najma—panggilan Najmatul—di selasar pesantren.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menempati lahan 7.500 meter persegi di pojok utara Sumberwringin, Nurul Jadid Al-Islami bukan seperti pesantren salafiyah yang melulu mengajarkan kajian kitab. Pondok yang didirikan Najma bersama suaminya, Abdul Muhaimin, pada 2008 ini juga memelopori lahirnya sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas di desa yang terletak sekitar 20 kilometer sebelah utara Jember tersebut.

Semua bermula pada 2005, ketika Najma diboyong Muhaimin tinggal di kompleks Pondok Pesantren Bustanul Ulum, Sumberwringin—sekitar 300 meter di sebelah barat lokasi Nurul Jadid Al-Islami. Muhaimin adalah putra Kiai Fauzi, generasi kedua pendiri Bustanul Ulum. Kakeknya, Kiai Ali Wafi, ialah anak Kiai Ahmad Syukri, pendiri Raudlatul Ulum, pesantren yang berdiri di desa tersebut lebih seabad lalu.

Kala itu, Najma muda yang belum lama mengantongi gelar sarjana dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Malang dikejutkan oleh banyaknya anak putus sekolah di lingkungan barunya. Desa Sumberwringin yang dipenuhi pondok pesantren—semuanya diasuh oleh kerabat suaminya—sungguh berbeda dengan kampung halamannya di Desa Wonorejo, Lumajang, Jawa Timur, yang juga basis santri.

Najmatul Millah saat mengajar para santri di Pondok Pesantren Nurul Jadid Al Islami, Jember, 15 Juli 2020. Heru Putranto

Warga Sumberwringin banyak yang mengirimkan anak mereka ke pesantren, tapi tidak ke sekolah. Sedangkan di Wonorejo, santri tetap bersekolah hingga ke tingkat pendidikan lebih tinggi.

Pesantren memang bukan lingkungan baru bagi perempuan 37 tahun ini. Najma juga anak kiai. Ayahnya, Kiai Abdul Ghoni Halim, adalah pendiri Pondok Pesantren Nurut Tauhid, Lumajang. Warga di sekitar pesantren cukup sadar akan pentingnya pendidikan formal.

Di matanya, bocah perempuan Sumberwringin bernasib paling malang. Banyak di antara mereka tak melanjutkan sekolah, kerap kali karena dipaksa duduk di pelaminan pada usia sangat belia. “Saat itu, mbak-mbak di pesantren ini sering menghadiri undangan pernikahan temannya yang baru lulus sekolah dasar,” tutur Najma mengenang.

Setahun tinggal di Sumberwringin, Najma bisa menyimpulkan penyebabnya. Satu di antaranya: tak ada sekolah formal lanjutan di sana. Setelah berembuk, ia dan suaminya bertekad membangun sekolah memanfaatkan ruangan tak terpakai di Pondok Pesantren Bustanul Ulum. Itu sebabnya, layanan pendidikan formal yang hingga kini berlangsung di Nurul Jadid Al-Islami dulu bernama Sekolah Menengah Pertama Islam Bustanul Ulum. Di masa awal, sekolah tersebut hanya memiliki sembilan siswa, semuanya bukan anak Desa Sumberwringin.

Seiring dengan waktu, warga desa yang semula antipati perlahan mulai mendukung sekolah anyar ini. Siswa Najma bertambah. Hingga tiga tahun berlalu, sembilan murid angkatan pertama akhirnya lulus. Kebutuhan mengembangkan sekolah menengah atas datang kemudian. Berbekal tanah wakaf mertua pula Najma dan Muhaimin mendirikan pondok pesantren sendiri yang kini dikenal dengan nama Nurul Jadid Al-Islami. Najma memimpin yayasan yang menaungi pondok pesantren. Muhaimin menjadi kepala sekolah untuk pendidikan formal berupa SMP dan sekolah menengah kejuruan.

Bagi Ulfatul Hasanah, pesantren termuda di Sumberwringin ini benar-benar seperti arti dari nama tersebut: cahaya baru Islam. Alumnus Nurul Jadid Al-Islami ini ingat betul bagaimana Najma dulu tak henti mencekokinya. “Nyai selalu bilang santri perempuan harus mendapat pendidikan lebih baik. Tidak berhenti di sekolah dasar, apalagi karena terpaksa dinikahkan,” kata Ulfatul.

Wejangan itu pula yang membuat Ulfatul berani menolak beberapa kali paksaan untuk menikah dini. Perempuan 24 tahun ini baru membangun biduk rumah tangga selepas lulus dari Institut Agama Islam Negeri Jember.

Sebenarnya tak mudah juga bagi Najmatul mengawali dakwahnya. Lebih seabad kental dengan pesantren salafiyah, warga Sumberwringin sempat resistan terhadap pondok pesantren yang dipimpin seorang perempuan.

Keberadaan sekolah formal di dalam pesantren pun menjadi biang penentangan dari masyarakat sekitar, termasuk di antara keluarga besar suaminya yang sempat khawatir bakal merusak tradisi. “Katanya di akhirat tidak akan ditanyai soal matematika, bahasa Inggris itu haram karena bahasa nonmuslim,” ucap Najma.

Perhatian besar Najma terhadap masalah pernikahan dini juga tak luput dari penolakan masyarakat. Tak terhitung para orang tua yang mengamuk, baik datang ke pesantren maupun lewat surat, karena menganggap Najma telah mempengaruhi anak-anak mereka agar menolak dinikahkan.

Dihujani kritik, Najma tak ciut. “Saya merasa ini tidak tepat, melanggar hak mencari ilmu,” ujar ibu tiga anak yang kini sedang mengandung delapan bulan ini.

Walhasil, Najma melebarkan arena pengajarannya. Di luar jadwal mengajar para santri, dia mulai mengisi pengajian ibu-ibu di kampung. Ceramah di pondok dan masjid sekitar desa dilakukan dua pekan sekali—belakangan terhenti sementara karena pandemi.

Lewat majelis taklim itu, dia menyelipkan berbagai isu perempuan, dimulai dari pentingnya pendidikan hingga masalah kesehatan reproduksi dan ancaman perdagangan manusia. Tiga topik ini dekat dengan persoalan perempuan desa, terutama di Jember.

Kawin usia dini, misalnya, berpotensi memicu masalah pada kesehatan reproduksi yang mengancam keselamatan kaum perempuan. Dua hal ini juga kerap menjadi pintu masuk terjadinya kekerasan seksual dalam rumah tangga.

Itu sebabnya, Najma tak henti berupaya menghapus anggapan umum di masyarakat yang menyebutkan bahwa setinggi apa pun perempuan menempuh pendidikan akhirnya bakal kembali ke dapur juga. Bagi Najma, pendidikan pula yang semestinya bisa mengurangi risiko perempuan menjadi korban penipuan berkedok tawaran kerja. Materi serupa menjadi bahan diskusi dengan para santri Nurul Jadid Al-Islami.

Dua belas tahun berdiri, pondok pesantren ini sudah menelurkan ratusan alumnus. Masalah lama belum usai sepenuhnya, tantangan baru justru mulai datang. Para lulusan SMK, menurut Najma, cenderung tertarik langsung bekerja agar cepat menghasilkan uang. “Saya ingin mereka lebih bersabar menimba ilmu agar tak melakoni pekerjaan kasar,” katanya.

AISHA SHAIDRA, DAVID PRIYASIDHARTA (JEMBER)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Aisha Shaidra

Aisha Shaidra

Bergabung di Tempo sejak April 2013. Menulis gaya hidup dan tokoh untuk Koran Tempo dan Tempo.co. Kini, meliput isu ekonomi dan bisnis di majalah Tempo. Bagian dari tim penulis liputan “Jalan Pedang Dai Kampung” yang meraih penghargaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus