Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Irwan Masduqi pernah disidangkan oleh puluhan kiai karena dituding melakukan kristenisasi.
Ia menerjemahkan surat Al-Kafirun untuk melawan mereka yang kerap mengkafirkan orang lain.
Irwan Masduqi menggandeng pemuda dan tokoh agama lain untuk masuk ke kampung yang rawan gesekan.
MENJELANG Idul Adha, Irwan Masduqi, 37 tahun, selalu mengingat pengalamannya delapan tahun lalu. Pondok Pesantren Assalafiyah Mlangi di Desa Nogotirto, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, yang diasuhnya, nyaris dibakar sekelompok orang. Sebab, Irwan dituding melakukan kristenisasi.
Pada malam hari kedua Idul Adha, yang jatuh pada akhir Oktober 2012, para santrinya mengikuti lomba teater dan menampilkan berbagai peristiwa pengorbanan dari berbagai agama. Sebagian santrinya berperan sebagai ulama, pendeta, dan rabi. Ada pula yang menjadi mantan presiden Abdurrahman Wahid serta simpatisan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). “Ide pementasannya datang dari para santri sendiri,” kata Irwan menceritakan peristiwa itu kepada Tempo pada Rabu, 15 Juli lalu.
Menurut lulusan Jurusan Tafsir Al-Quran Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, itu, lakon yang dipentaskan para santrinya ingin menyampaikan pesan bahwa sejarah kurban juga ada di sejumlah agama selain Islam. Namun malam itu juga foto seorang santri membawa salib beredar di media sosial, disertai keterangan bahwa peristiwa itu terjadi dalam pawai takbiran. Beredar pula pesan berantai untuk membakar pesantren yang didirikan pada 1936 oleh kakek Irwan, Haji Masduqi, itu.
Sehari kemudian, Pesantren Assalafiyah Mlangi didatangi sekelompok orang. Papan nama pondok dilempari batu hingga rusak. Penduduk sekitar pun memelesetkan nama Assalafiyah menjadi “Asalibiyah”. Muzaki, juru kunci makam keraton Masjid Pathok Negoro Mlangi, yang terletak sekitar setengah kilometer dari pesantren itu, menjadi saksi penyerangan pondok tersebut. Muzaki bercerita, tudingan terhadap Irwan ikut menyulut kemarahan warga Desa Mlangi. “Waktu itu penolakannya keras dan frontal,” ujar Muzaki.
Irwan pun disidangkan oleh sekitar 20 ulama tua dan muda di salah satu pesantren di Sleman. Pertemuan itu berjalan panas. Irwan menjelaskan dengan tenang bahwa pentas itu membawa pesan kerukunan antar-umat beragama. Drama itu juga memunculkan pesan Abdurrahman Wahid tentang menghormati perbedaan. Isu kristenisasi itu sampai pula ke Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, tempat Irwan pernah menimba ilmu. Lulusan pascasarjana Jurusan Tafsir Al-Quran Universitas Islam Negeri Yogyakarta itu pun datang ke sana memberikan penjelasan.
Peristiwa itu tak membuat Irwan kapok. Ia tetap menyuarakan toleransi seperti sebelumnya. Tak hanya di dalam pesantren, pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu juga rajin masuk-keluar kampung untuk mengajarkan toleransi. Agar lebih mudah diterima masyarakat, Irwan kerap menyelipkan guyonan dalam ceramahnya. Ia pun memadukan bahasa Jawa, Indonesia, dan Arab dalam berbagai ceramahnya.
Irwan kerap menyitir surat Al-Kafirun saat membicarakan toleransi. Ia menilai surat tersebut kerap dijadikan pembenaran untuk mendiskriminasi orang lain. Padahal, kata Irwan, surat itu justru mengakui keberagaman. “Toleransi bukan berarti mencampuradukkan keyakinan agama, tapi mengakui kebinekaan,” ujar putra Suja’i Masduqi, mursyid yang menjadi guru spiritual tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah yang mengajarkan cinta dan kasih sayang dalam Islam, ini.
Melawan kelompok Islam garis keras yang memimpikan khilafah, Irwan kerap menyuarakan pendapatnya melalui tulisan. Ia, misalnya, mengkritik penggunaan bendera hitam yang diyakini sebagai panji Nabi Muhammad. Dalam tulisan yang dimuat di situs Jaringan Santri, Irwan menyatakan pengibaran bendera hitam dalam berbagai unjuk rasa seolah-olah membuat Merah-Putih tak sesuai dengan hadis. Merujuk pada berbagai kitab, Irwan menyebutkan warna bendera yang digunakan Muhammad berbeda-beda dan bendera itu hanya merupakan strategi perang untuk mengintimidasi lawan.
Irwan juga menggandeng pemuda dan tokoh lintas agama untuk menyuarakan toleransi. Mereka menggagas The City of Tolerance atau Kota Toleransi pada 2012. Gerakan yang mengedepankan keanekaragaman budaya ini menyasar kampung-kampung di Yogyakarta yang dianggap rawan gesekan antar-agama. Ia juga kerap tampil dalam acara Angkringan Kebangsaan yang disiarkan TVRI. Irwan mengisi pengajian bertema Islam yang damai, ramah, dan menerima perbedaan.
Pedro Indharto, aktivis keberagaman di Yogyakarta, mengaku kerap bekerja sama dengan Irwan dalam gerakan Kota Toleransi. Pedro menilai Irwan cukup diterima di kalangan kristiani karena membawa spirit perdamaian. “Kami kerap mengundang Gus Irwan (panggilan Irwan sebagai keturunan kiai) karena, meskipun masih muda, dia memiliki literasi kuat dan berhasrat membangun perdamaian,” tutur Pedro, yang kini menjadi anggota Badan Pengawas Pemilu Kota Yogyakarta.
Pengajian bertema toleransi yang digelar Irwan pun menjalar ke daerah lain di Yogyakarta. Tokoh pemuda Desa Potorono, Banguntapan, Kabupaten Bantul, Alit Dharma Putra, mengaku pernah mengundang Irwan mengisi acara Ramadan yang melibatkan tokoh lintas agama pada 2014. Acara tersebut juga menampilkan hadrah dan kesenian barongsai yang dipentaskan seniman Tionghoa. “Gus Irwan membawa semangat keterbukaan dan penghormatan pada keberagaman,” kata Alit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Irwan Masduqi (kanan) saat menerima mahasiswa luar negeri di Pondok Pesantren Assalafiyah Mlangi, Yogyakarta. (foto: Dok. Pribadi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Pesantren Assalafiyah Mlangi, Irwan juga membuka pintu bagi tamu dari berbagai kalangan, termasuk yang berbeda agama. Mahasiswa, peneliti, serta tamu nonmuslim dari dalam negeri dan mancanegara pernah datang ke pondoknya untuk belajar. Sejumlah kelompok nonmuslim bahkan tinggal di sana selama sepekan. Irwan mengaku kerap memberikan penjelasan ihwal berbagai tudingan terhadap kaum muslim. Misalnya soal pesantren yang dianggap sebagai sarang teroris.
Pesantren yang dikelola Irwan pun makin berkembang. Saat ia mulai mengelola pesantren itu pada 2012, jumlah santri laki-laki dan perempuan di sana hanya 50 orang. Kini jumlahnya mencapai seribu orang. “Penduduk di sekitar pondok yang semula menolak Irwan juga menitipkan anak mereka di pesantren ini,” ujar Dalwanudin Abdusalam, pengasuh pondok yang juga teman Irwan saat bersekolah di Lirboyo. Keberadaan pesantren itu juga berdampak terhadap kehidupan ekonomi masyarakat. Mereka berjualan makanan ringan ke pesantren serta membuka jasa cuci baju dan warung makan.
Menurut Dalwanudin, sejumlah ulama yang sebelumnya berseberangan dengan Irwan juga mulai berhubungan baik. Beberapa kali Irwan diundang ke pesantren yang dulu ikut menudingnya melakukan kristenisasi. Irwan tak dendam atas perlakuan yang dulu diterimanya. Ia mengaku tetap bersikap baik seturut pesan kakeknya, pendiri Pesantren Assalafiyah Mlangi. “Kalau dilempar batu, balaslah dengan memberi (makan) tahu. Artinya, balaslah kejahatan dengan kebaikan,” kata Irwan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo