Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Abdurrauf al-Singkili alias Syiah Kuala belajar 19 tahun di Timur Tengah kepada 19 guru.
Ia menjadi Kadhi Malikul Adil Kesultanan Aceh, pemegang otoritas hukum dan agama tertinggi.
Abdurrauf al-Singkili mendamaikan dua mazhab yang bertikai selama lebih dari dua dasawarsa.
BANGUNAN itu hanya berjarak sepelemparan batu dari bibir pantai Desa Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Berdiri di atas lahan seluas tiga hektare, bangunan itu terdiri atas kompleks permakaman, sebuah musala, dan tempat tetirah para peziarah. Di situlah tempat peristirahatan terakhir Syekh Abdurrauf al-Singkili.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makam Syekh Abdurrauf al-Singkili tampak mencolok dibanding makam lain. Pondok dengan atap kayu dan pagar besi membentengi pusaranya. Kain putih menutupi seluruh sisinya. Di kedua ujung makam terpacak dua batu andesit sebagai nisan yang juga berbalut kain putih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat gelombang tsunami menerjang Aceh pada 2004, hampir seluruh bangunan kompleks makam porak-poranda. “Waktu itu hanya makam Syekh yang tidak rusak, yang lain berserakan,” ujar Tengku Abdul Wahid, generasi ketujuh penjaga makam Syekh Abdurrauf al-Singkil, saat ditemui pada Sabtu, 9 Mei lalu. Menurut Wahid, Pemerintah Provinsi Aceh mendukung pemeliharaan makam lantaran kawasan itu ditetapkan sebagai situs cagar budaya.
Masyarakat Aceh menyebut Abdurrauf al-Singkili dengan Syiah Kuala. Gelar itu juga diabadikan sebagai nama kampus negeri tertua di Aceh, yaitu Universitas Syiah Kuala. “Beliau ulama besar, guru bagi banyak wali,” kata Azyumardi Azra, guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang mempelajari sejarah dan peradaban Islam, pada awal Mei lalu.
Makam Syeikh Abdurrauf Al-Singkili di Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, 9 Mei lalu. TEMPO/Iil Askar Mondza
Syiah Kuala bernama lengkap Aminuddin Abdurrauf bin Ali al-Jawi Tsumal Fansuri al-Singkili. Nenek moyangnya berasal dari Persia yang datang pada masa Kesultanan Samudera Pasai, abad ke-13. Samudera Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara. Ayahnya, Syekh Ali Fansuri, seorang ulama di Lipat Kajang, Simpang Kanan, Aceh Singkil. Meski informasi makam menyebut dia lahir pada 1591, sejumlah peneliti peradaban Islam di Nusantara, seperti Azyumardi, Peter Riddell, dan T. Iskandar, meyakini Syiah Kuala lahir pada 1615. Tahun kelahiran itu diambil dari pelacakan setelah Syiah Kuala kembali dari Timur Tengah.
Dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah karya Azyumardi Azra disebutkan, Syiah Kuala menempuh pendidikan selama 19 tahun di Timur Tengah. Sebelumnya, ia mengenyam pendidikan di dayah atau madrasah Oboh Simpang Kiri. Kuala Kitab Umdat al-Muhtajin ila Suluk Maslak al-Mufridin, catatan Syiah Kuala, menunjukkan ia sempat berinteraksi dengan 19 guru dari berbagai disiplin ilmu.
Salah satu guru yang paling intens berkomunikasi dengannya adalah Syekh Ahmad Qusyasyi, ulama sufi pemimpin tarekat Syattariah yang menggabungkan disiplin syariah dengan ajaran tasawuf. “Ia terhubung langsung dengan jaringan inti ulama di Timur Tengah,” ujar Azyumardi. Menurut dia, Syiah Kuala akhirnya menjadi perintis ajaran tarekat Syattariyah di Nusantara. Dua muridnya yang ikut menyebarkan tarekat ini adalah Syekh Burhanuddin Ulakan di Pariaman dan Syekh Abdul Muhyi di Tasikmalaya.
Foto udara kompleks makam Syeikh Abdurrauf Al-Singkili di Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, 9 Mei lalu. TEMPO/Iil Askar Mondza
Syiah Kuala sempat berkelana ke berbagai wilayah Kesultanan Aceh sebelum menetap di Pantai Kuala Krueng, Aceh. Kawasan itu dulu merupakan pusat perdagangan dan tempat menetap bangsa asing. Di sana terdapat Gampong Biduen, yang oleh Muhammad Yunus Jamil dalam bukunya, Gerak Kebangkitan Aceh, dikenal sebagai kompleks pelacuran.
Sejarawan Aceh dari Universitas Syiah Kuala, Muhammad Adli Abdullah, menjelaskan, Syiah Kuala tak serta-merta mengajarkan Islam di kawasan tersebut. Dia pernah menyamar sebagai seorang yang memiliki kesaktian untuk menyebarkan dakwahnya dan menghilangkan pelacuran. “Menarik simpati banyak orang, Syiah Kuala berperan sebagai tabib yang bisa menyembuhkan penyakit,” ucap Adli.
Cara itu, kata Adli, perlahan mampu mengubah kondisi sosial-budaya masyarakat Aceh. Perilaku dan tatanan masyarakat yang menyimpang dari ajaran Islam berangsur-angsur hilang. Menurut dia, ketenaran Syiah Kuala terdengar oleh Sultanah Safiatuddin Syah. Ia mengundang Syiah Kuala ke istana untuk menghadiri perayaan Maulid Nabi Muhammad pada 1665.
Guru besar Universitas Islam Negeri Jakarta, Oman Faturrahman, mengatakan keterpikatan Sultanah Safiatuddin membuat dia menjadikan Syiah Kuala sebagai Kadhi Malikul Adil Kesultanan Aceh. Jabatan ini terbilang tinggi karena sistem pemerintahan Aceh terbagi dua kamar, yaitu otoritas politik dan agama. Kadhi merupakan pemegang otoritas tertinggi di bidang hukum dan keagamaan. Oman menyamakan jabatan ini seperti Ketua Mahkamah Agung.
Menurut Oman, Syiah Kuala saat itu menghadapi tugas berat karena terjadi perpecahan di kalangan pemeluk Islam. Adalah pengikut Syekh Nuruddin ar-Raniri yang membawa paham Wahdatus Syuhud dengan pengikut Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin al-Sumatrani yang membawa paham Wihdatul Wujud. Konflik itu berlangsung hampir dua dasawarsa.
Dalam artikel berjudul “Ulama Santun dari Serambi Mekah” yang tertulis di buku Seribu Tahun Nusatara,, Oman menuliskan pertentangan kedua mazhab ini berangkat dari perbedaan konsep mengenal diri dan Allah terkait dengan ritual ibadah dan interaksi sosial. Ar-Raniri menuduh pengikut Wihdatul Wujud sesat dan menyimpang karena mempercayai banyak Tuhan. Pengikutnya diminta bertobat. Konflik ini merembet pada pembakaran karya-karya Syekh Hamzah Fansuri, disusul pengejaran dan pembunuhan para pengikutnya.
Syiah Kuala akhirnya berhasil mendamaikan dua mazhab pemikiran itu lewat pendekatan kompromistis. Menurut Oman, Syiah Kuala tak menghakimi salah satu ajaran, tapi mengajak orang lain, terutama kepada pengikut Ar-Raniri, tak mudah melabeli orang lain sesat atau kafir hanya karena perbedaan mazhab.
Pintu gerbang makam Syekh Abdurrauf al-Singkili di Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, 9 Mei 2020. TEMPO/IIL ASKAR MONDZA
Dalam artikel yang sama, Oman menyebutkan bahwa Syiah Kuala selalu menggunakan kata-kata yang samar dan bersifat umum dalam mengemas kritik. Namun sikap tersebut justru dianggap relevan untuk kondisi Aceh saat itu. Menurut Oman, masyarakat menilai pernyataan Syah Kuala sebagai bentuk sopan santun dan toleransi yang tinggi. Tak hanya menjadi pejabat kerajaan, Syiah Kuala juga membuat sejumlah karya tulis. Azyumardi Azra mengatakan karya Syiah Kuala mengulas berbagai topik keagamaan, seperti fikih, tafsir, kalam, dan ilmu tasawuf.
Syiah Kuala meninggal pada 1696. Ia dimakamkan di hilir Sungai Aceh, sekitar 8 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh. Di tempat itu juga terkubur kedua istri dan murid-murid kesayangannya. Tengku Abdul Wahid, generasi ketujuh penjaga makam Syekh Abdurrauf al-Singkili, mengatakan para peziarah dari dalam dan luar negeri tak henti mengunjungi makam Syiah Kuala.
Di bagian atas gapura yang didirikan di depan pintu makam Syiah Kuala tertulis: “Adat Bak Po Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala”. Artinya, kurang-lebih, aturan adat bersumber dari pemimpin, penerapan hukum pada Syiah Kuala.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo